Sabtu, 27 November 2010

Luka Bakar

DEFENISI
Luka Bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik ataupun radiasi.

PATOFISIOLOGI
1. Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terkena suhu tinggi rusak sel darah yang di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia
2. Meningkatnya permeabilitas, menyebabkan oedem dan menimbulkan bula dengan
membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume cairan
intra vaskuler. Tubuh kehilangan cairan antara ½ % - 1 %, “Blood Volume ”
setiap 1 % luka bakar.
Kerusakan kult akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan tambahan
karena penguapan yang berlebih (insensible water loss meningkat).
3. Bila luka bakar lebih dari 20 % akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang
khas yaitu : gelisah, pucat dingin berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah
menurun dan produksi urine menurun (kegagalan fungsi ginjal).
4. Pada kebakaran daerah muka dapat terjadi kerusakan mukosa jalan nafas karena
gas, asap atau uap panas yang terisa. Gejala yang timbul adalah sesak nafas,
takipneu, stridor, suara serak dan berdahak berwarna gelap karena jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga tak mampu mengikat oxygen lagi.
Tanda keracunan yang ringan adalah lemas, binggung, pusing, mual dan muntah.
Pada keracunan berat terjadi koma. Bila lebih 60 % hemoglobin terikat CO,
penderita akan meninggal.
5. Pada luka bakar yang berat terjadi ileus paralitik.
Stres dan beban faali yang terjadi pada luka bakar berat dapat menyebabkan tukak
di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama gejala tukak peptic.
Kelainan ini dikenal dengan “Tukak Curling” yang dikhawatirkan pada tukak
Curling ini adalah pendarahan yang timbul sebagai hematesis melena.

FREKUENSI :
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan
jumlah kematian 5 - 6 ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia belum ada
laporan tertulis.
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus
luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38 sedangkan di Rumah Sakit Dr.
Sutomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian 26, 41 %

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
o Secara klinis
o Laboratorium : Hb, Hematokrit, Elektrolit, dsb

KOMPLIKASI
1. Syok karena kehilangan cairan.
2. Sepsis / toksis.
3. Gagal Ginjal mendadak
4. Peneumonia

PROGNOSA :
 Tergantung derajad luka bakar.
 Luas permukaan
 Daerah yang terkena, perineum, ketiak, leher dan tangan karena sulit perawatan
dan mudah kontraktur.
 Usia dan kesehatan penderita.

FASE LUKA BAKAR
Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya
dibedakan dalam 3 fase akut, subakut dan fase lanjut. Namun demikian pembagian
fase menjadi tiga tersebuttidaklah berarti terdapat garis pembatas yang tegas diantara
ketiga fase ini. Dengan demikian kerangka berpikir dalam penanganan penderita tidak
dibatasi oleh kotak fase dan tetap harus terintegrasi. Langkah penatalaksanaan fase
sebelumnya akan berimplikasi klinis pada fase selanjutnya.

1. Fase akut / fase syok / fase awal.
Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di IRD /
Unit luka bakar. Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma
lainnya, akan mengalami ancaman dan gangguan airway (jalan napas), breathing
(mekanisme bernafas) dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway
tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma , inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian
utama penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan
keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang
berdampak sistemik. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut
dengan keadaan hiperdinamik yang masih berhubungan akibat problem
instabilitas sirkulasi.
Permasalahan dan penanganan pada fase ini akan menjadi bahasan utama dalam
makalah ini.

2. Fase Subakut
Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi. Luka yang
terjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu :
a. Proses inflamasi atau infeksi.
b. Problem penutupan luka
c. Keadaan hipermetabolisme.

3. Fase Lanjut
Fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat
jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.

PENYEBAB LUKA BAKAR
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis
penyebab, antara lain :
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena air panas
3. Luka bakar karena bahan kimia
4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas
4
7. Luka bakar karena ledakan bom.

DERAJAT KEDALAMAN
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas
sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Dahulu Dupuytren
membagi atas 6 tingkat, sekarang lebih praktis hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu
sebagai berikut:
1. Luka bakar derajat I :
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperficial), kulit hipermik berupa
eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.

2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi
disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi.
Dibedakan atas 2 (dua) bagian :
A. Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis.
Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak.
Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk cicatrik.
B. Derajat II dalam / deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan
epitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan
disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari
satu bulan.

3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan,
tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar
berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi
koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker. Tidak
dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung – ujung sensorik rusak.
Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

LUAS LUKA BAKAR
Wallace membagi tubuh atas bagian – nagian 9 % atau kelipatan dari 9 terkenal
dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace.
Kepala dan leher : 9 %
Lengan : 18 %
Badan Depan : 18 %
Badan Belakang : 18 %
Tungkai : 36 %
Genitalia/perineum : 1 %
Total : 100 %

Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan
penderita adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak dipakai
modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur 15
tahun, 5 tahun dan 1 tahun.

KRITERIA BERAT RINGANNYA
(American Burn Association)
1. Luka Bakar Ringan.
- Luka bakar derajat II <15 % - Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak - Luka bakar derajat III < 2 % 2. Luka bakar sedang - Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa - Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak - Luka bakar derajat III < 10 % 3. Luka bakar berat - Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa - Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak. - Luka bakar derajat III 10 % atau lebih - Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum. - Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain. PENATALAKSANAAN PENDERITA LUKA BAKAR FASE AKUT. Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada penderita trauma – trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik. I. Evaluasi Pertama (Triage) A. Airway, sirkulasi, ventilasi Prioritas pertama penderita luka bakar yang harus dipertahankan meliputi airway, ventilasi dan perfusi sistemik. Kalau diperlukan segera lakukan intubasi endotrakeal, pemasangan infuse untuk mempertahankan volume sirkulasi B. Pemeriksaan fisik keseluruhan. Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma abdomen dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung / spine. C. Anamnesis Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta ditanyakan penyakit – penyakit yang pernah di alami sebelumnya. D. Pemeriksaan luka bakar Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang atau ringan. 1. Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya. 2. Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman) II. Penanganan di Ruang Emergency 1. Diwajibkan memakai sarung tagan steril bila melakukan pemeriksaan penderita. 2. Bebaskan pakaian yang terbakar. 3. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan adnya trauma lain yang menyertai. 4. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas dapat dipasang endotracheal tube. Traheostomy hanya bila ada indikasi. 5. Pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak dianjurkan pemasanga scalp vein. Diberikan cairan ringer Laktat dengan jumlah 30-50 cc/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/jam untuk anak – anak di atas 2 tahun dan 1 cc/kg/jam untuk anak dibawah 2 tahun. 6. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk monitor jumlah urine produksi. Dicatat jumlah urine/jam. 7. Di lakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric dekompresi dengan intermitten pengisapan. 8. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena dan jangan secara intramuskuler. 9. Timbang berat badan 10. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid booster bila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir. 11. Pencucian Luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada hari ke 5 kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Salvon 1 : 30 12. Eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang jaringan yang mati (eskar)dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis demi lapis jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah. Fasiotomi dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar, agar bagian distal tidak nekrose karena stewing. 13. Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative superficial. Untuk luka bakar yang dalam pilihan yang tersering yaitu split tickness skin grafting. Split tickness skin grafting merupakan tindakan definitive penutup luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka tersebut tidak sembuh – sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter > 3 cm.

PENANGANAN SIRKULASI
Pada luka bakarberat / mayor terjadi perubahan permeabilitaskapiler yang akan diikuti
dengan ekstrapasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan
interfisial mengakibatkan terjadinya hipovolemic intra vaskuler dan edema
interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik tergangu sehingga
sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi / sel / jaringan /
organ.
Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hamper
menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan
kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami deficit, timbul
ketidakmampuan menyelenggaraan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan
ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat,
untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata
bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok dengan metode
resusutasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan
penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukkna perbaikkan prognosis,
derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi
dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki
nilai prognostic terhadap angka mortalitas.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka bakar dikenal beberapa formula
berikut :
- Evans Formula
- Brooke Formula
- Parkland Formula
- Modifikasi Formula
- Monafo Formula

RESUSTASI CAIRAN
BAXTER formula
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka ditambah kebutuhan faali.

Kebutuhan faali :
< 1 Tahun : berat badan x 100 cc 1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc 3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. ½ diberikan 16 jam berikutnya. Hari kedua Dewasa : ½ hari I Anak : diberi sesuai kebutuhan faali Menurut Evans - Brooke Cairan yang dibutuhkan : 1. RL / NaCl = luas combustio ……% X BB/ Kg X 1 cc 2. Plasma = luas combustio ……% X BB / Kg X 1 cc 3. Pengganti yang hilang karena penguapan D5 2000 cc Hari I : 8 jam I --> 1/2 (1+2+3)
16jam berikutnya --> 1/2 sisa
Hari II -->1/2 hari I
Hari ke III ---> 1/2 hari II

PENANGANAN PERNAPASAN
Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka
kematian. Kematian akibat trauma inhalasi terjasi dalam waktu singkat 8 sampai 24
jam pertama pasca operasi.
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah
muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau
uap panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa
hambatan jalan napas karena edema laring.
Trauma panas langsung adalah terhirup sesuatu yang sangat panas, produk produk
yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti bahan jelaga dan bahan khusus
yang menyebabkan kerusakan dari mukosa lansung pada percabangan
trakheobronkhial.
Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi
yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti
hydrogen sianida, nitrogen oksida, hydrogen klorida, akreolin dan partikel – partikel
tersuspensi. Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi
pada saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat adanya
tracheal bronchitis dan edem.
Efek intoksikasi karbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia
jaringan. Karbon monoksida (CO) memiliki afinitas yang cukup kuat terhadap
pengikatan hemoglobin dengan kemampuan 210 – 240 kali lebih kuat disbanding
kemampuan O2. Jadi CO akan memisahkan O2 dari Hb sehingga mengakibatkan
hipoksia jaringan.
Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar mengalami hal
sebagai berikut.
1. Riwayat terjebak dalam ruangan tertutup.
2. Sputum tercampur arang.
3. Luka bakar perioral, termasuk hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran termasuk confusion.
5. Terdapat tanda distress napas, seperti rasa tercekik. Tersedak, malas bernafas atau
adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan,
menandakan adanya iritasi mukosa.
6. Adanya takipnea atau kelainan pada auskultasi seperti krepitasi atau ronhi.
7. Adanya sesak napas atau hilangnya suara.
13
Bilamana ada 3 tanda / gejala diatas sudah cukup dicurigai adanya trauma inhalasi.
Penanganan penderita trauma inhalasi bila tanpa distress pernapasan maka harus
dilakukan trakheostomi. Penderita dirawat diruang resusitasi instalasi gawat darurat
sampai kondisi stabil.

MONITORING PENDERITA LUKA BAKAR FASE AKUT
Monitoring penderita luka bakar harus diikuti secara cermat. Pemeriksaan fisik
meliputi inspeksi, penderita palpasi, perkusi dan auskultasi adalah prosedur yang
harus dilakukan pada perawatan penderita. Pemeriksaan laboratoris untuk monitoring
juga dilakukan untuk mengikuti perkembanagn keadaan penderita. Monitoring
penderita kita dibagi dalam 3 situasi yaitu pada saat di triage, selama resusitasi (0-72
jam pertama)dan pos resustasi.
I. Triage – Intalasi Gawat Darurat
A. A-B-C : Pada waktu penderita datang ke Rumah sakit, harus dinilai dan dilakukan
segera diatasi adakah problem airway, breathing, sirkulasi yang segera diatasi life
saving. Penderitaluka bakar dapat pula mengalami trauma toraks atau mengalami
pneumotoraks.
B. VITAL SIGN : Monitoring dan pencatatan tekanan darah, repsirasi, nadi, rectal
temperature. Monitoring jantung terutama pada penderita karena trauma listrik,
dapat terjadi aritmia ataupun sampai terjadi cardiac arrest.
C. URINE OUTPUT : Bilamana urine tidak bisa diukur maka dapat dilakukan
pemasangan foley kateter. Urine produksi dapat diukur dan dicatat tiap jam.
Observasi urine diperiksa warna urine terutama pada penderita luka bakar derajat
III atau akibat trauma listrik, myoglobin, hemoglobin terdapat dalam urine
menunjukkna adanya kerusakaan yang hebat.

II. MONITORING DALAM FASE RESUSITASI
(sampai 72 jam)
1. Mengukur urine produksi. Urine produksi dapat sebagai indikator apakah
resusitasi cukup adekuat / tidak. Pada orang dewasa jumlah urine 30-50 cc
urine/jam.
14
2. Berat jenis urine. Pascatrauma luka bakar jenis dapat normal atau meningkat.
Keadaan ini dapat menunjukkna keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis
meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urine.
3. Vital Sign
4. pH darah.
5. Perfusi perifer
6. laboratorium
a. serum elektrolit
b. plasma albumin
c. hematokrit, hemoglobin
d. urine sodium
e. elektrolit
f. liver function test
g. renal function tes
h. total protein / albumin
i. pemeriksaan lain sesuai indikasi
7. Penilaian keadaan paru
Pemeriksaan kondisi paru perlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya
perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya secret, wheezing,
atau dispnae merupakan adannya impending obstruksi.
Pemeriksaan toraks foto ini. Pemeriksaan arterial blood gas.
8. Penilaian gastrointestinal.
Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk
mengetahui bising usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan pH
kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing Ulcer.
9. Penilaian luka bakarnya.
Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau
atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan
selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.
Luka Bakar yang Perlu Perawatan Khusus
1. Luka Bakar Listrik.
2. Luka Bakar dengan trauma Inhalasi
3. Luka Bakar Bahan Kimia
4. Luka Bakar dengan kehamilan

Luka Bakar listrik
Luka bakar bisa karena voltase rendah atau voltase tinggi. Kerusakan jaringan tubuh
disebabkan karena beberapa hal berikut :
1. Aliran listrik (arus bolak-balik, alternating current / AC) merupakan energi
dalam jumlah besar. Berasal dari sumber listrik, melalui bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah (cairan, darah / pembuluh darah). Aliran
listrik dalam tubuh menyebabkan kerusakan akibat yang ditimbulkan oleh
resistensi. Kerusakan dapat bersifat ekstensif local maupun sistemik
(otak/ensellopati, jantung/fibrilisasi ventrikel, otot/ rabdomiosis, gagal ginjal,
dan sebagai berikut).
2. Loncatan energi yang ditimbulkan oleh udara yang berubah menjadi api.
3. Kerusakan jaringan bersifat lambat tapi pasti dan tidak dapat diperkirakan
luasnya. Hal ini di sebabkan akibat kerusakan system pembuluh darah di
sepanjang bagian tubuh yang dialiri listrik (trombosis, akulasi kapiler)

PENANGANAN/SPECIAL MANAGEMENT
A. PRIMARY SURVEY
a. Airway – cervical spine.
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability-Pemeriksaan kesadaran GCS dan periksa pupil
e. Exposure-cegah penderita dari hipotermi.
B. SECOUNDARY SURVEY
1. Pemeriksaan dari kepala sampai kaki.
2. Pakaian dan perhiasan dibuka
a. Periksa titik kontak
b. Estimasi luas luka bakar / derajat luka bakarnya.
c. Pemeriksaan neurologist
d. Pemeriksaan traumalain, patah tulang/dilokasi.
e. Kalau perlu dipasang endotrakeal intubasi.
C. RESUSITASI
1. Bila didapatkan luka bakar, dapat diberikan cairan 2-4 cc/kg/ luas luka bakar.
2. Kalau didapatkan haemocromogen (myoglobin), urine output dipertahankan
antara 75-100 cc/jam sampai tampak menjadi jernih.
3. Sodium bicarbonate dapat ditambahkan pada ringer laktat sampai pH > 6,0
4. Monitor jarang dipergunakan.
D. CARDIAC MONITORING
1. Monitoring ECG kontinu untuk disritmia.
2. ventricular fibrilasi, asystole dan aritmia diterapi sesuai Advanced Cardiac Live
Support.

III. MONITORING POST RESUSITASI
(72 jam pascatrauma)
Hal hal yang perlu diobservasi setiap harinya secara sistematik dan teliti meliputi
observasi klinis dan data pemeriksaan laboratorium yaitu :
1. Cairan – elektrolit
2. Keadaan luka bakarnya
3. Kondisi potensial infeksi
4. Status nutrisi / gizi
Luka bakar dengan trauma inhalasi
 Pada kebakaran dalam ruangan tertutup (in door)
 Luka bakar mengenai daerah muka / wajah
 Dapat merusak mukosa jalan napas
 Edema laring  hambatan jalan napas.
Gejala
 Sesak napas
 Takipnea
 Stridor
 Suara serak
 Dahak berwarna gelap (jelaga)
Hati – hati kasus trauma inhalasi  mematikan
Mekanisme kerusakan saluran napas.
1. Trauma panas langsung
Terhirupnya sesuatu yang panas, produk dari bahan yang terbakar, seperti jelaga
dan bahan khusus menyebabkan kerusakan mukosa langsung pada percabangan
trakeobronkial.
2. Keracunan asap yang toksik
Akibat termodegradasi material alamiah dan material yang diproduksi 
terbentuk gas toksik (beracun), misalnya hydrogen sianida, nitrogen dioksida,
nitrogen klorida, akreolin  iritasi dan bronkokonstriksi saluran napas. Obstruksi
jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat trakealbronkitis dan edema.
3. Intoksikasi karbon monoksida (CO)
Intoksikasi CO  hipoksia jaringan. Gas CO memiliki afinitas cukup kuat
terhadap pengikatan hemoglobin (210-240 kali lebih kuat di banding dengan O2)
CO  memisahkan O2 dari Hb  hipoksia jarinagn. Peningkatan kadar
karboksihemoglobin (COHb) dapat dipakai untuk evaluasi berat / ringannya
intoksikasi CO.

KLINIS
Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar terdapat 3
atau lebih dari keadaan berikut :
1. Riwayat terjebak dalam rumah/ ruangan terbakar
2. Sputum tercampur arang
3. Luka bakar perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. penurunan kesadaran.
5. Tanda distress napas, rasa tercekik, tersedak, malas bernapas dan adanya
wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi mukosa)
6. Gejala distress napas. Takipea
7. Sesak atau tidak ada suara.
Pada fase awal  kerusakan saluran napas akibat efek toksik yang langsung terhirup
Pada fase lanjut  edema paru dengan terjadinya hpoksemia progresif  ARDS

Korelasi tingkat keracunan CO / presentase COHb dengan kelainan neurologist
Kadar Keracunan CO Kelainan Neurologis
10-20 % (ringan) sakit kepala, binggung, mual
20-40 % (sedang) lekas marah, pusing, lapangan
penglihatan menyempit
40-60 % (berat) Halusinasi, ataksia, konvulsi atau koma,
takipnea
Pemeriksaan tambahan :
1. Kadar karboksihemoglobin (COHb)
Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45 % (berat), bahkan setelah 3 jam dari
kejadian, kadar COHb pada batas 20-25 %. Bila kadar COHb lebih dari 15 %
setelah 3 jam kejadian  bukti kuat terjadi taruama inhalasi.
2. Gas Darah
PaO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%, FiO2 = 0,5)
mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal,
tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.
3. Foto Toraks  biasanya normal pada fase awal
4. Bronkoskopi Fiberoptic
Bila terdapat sputum beraran, edema mukosa, adanya bintik – bintik pendarahan
dan ulserasi  diagnosa trauma inhalasi.
5. Tes Fungsi paru
Scan Paru Xenon  tidak praktis.
Diagnosa Trauma Inhalasi :
1. Kecurigaan klinis
2. Riwayat kejadian
3. Pemeriksaan gad darh dan kadr COHb
4. Dikonfirmasi dengan bronkoskopi fiberoptic
5. pemeriksaan fungsi paru.

PENATALAKSANAAN
Tanpa Distres Pernapasan :
1. Intubasi / pipa endotrakeal.
2. Pemberian oksigen 2-4 liter / menit
3. Penghisapan secret secara berkala.
4. Humidifikasi dengan nebulizer.
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin ® inhalasi)
6. Pemantauan gejala dan tanda distress pernapasan
A. Gejala Subyektif : gelisah, sesak napas.
B. Gejala Obyektif : Frekuensi napas meningkat ( > 30 kali / menit), sianotik,
stridor, aktivitas otot pernapasan tambahan, perubahannilai hasil
pemeriksaan analisis gas darah (8jam pertama . 24 jam sampai 4-5 hari.
C. Pemeriksaan :
1. Analisa gas darah
a. pada saat pertama kali (resusitasi)
b. 8 jam pertama
c. Setelah 24 jam kejadian
d. Selanjutnya sesuai kebutuhan
2. foto toraks 24 jam pasca kejadian.
7. Pemeriksaan radiologik (foto toraks) dikerjakan bila ada masalah pada jalan
napas.
8. Posisi penderita duduk/etengah duduk, dirawat di bed observasi
9. Pelaksanaan di ruang resusitasi gawat darurat
Dengan Distres Pernapasan
Kasus ini diperlakukan secara khusus
Untuk mengatasi masalah distress pernapasan yang dijumpai :
1. Dilakukan trakeostomi dengan local anestesi, dengan atau tanpa kanul
trakeostomi.
2. Pemberian oksigen 2 - 4 liter /menit melalui trakeostomi.
3. Pembersihan secret saluran pernapasan secara berkala serta bronchial washing.
4. Humidifikasi dengan nebulizer.
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin ® inhalasi setiap 6 jam.
6. Pemantauan gejala dan tanda distress pernapasan.
A. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas (dispnea)
B. Gejala obyektif : frekuensi napas meningkat (30-40 kali / menit),
sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan tambahan, perubahan hasil
pemeriksaan analisis gas darah 98 jam pertama). Gambaran hasil
infitrat paru dijumpai > 24 jam samapi 4-5 hari.
7. Pemeriksaan radiologik (foto toraks) dikerjakan bila masalah pernapasan telah
diatasi.
8. kasus ini dirawat pada bed observasi dengan posisi duduk atau setengah
duduk.
9. Pelaksanaan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat.
Luka Bakar Kimia.
 Di Amerika Serikat terdapat 500.000 jenis kimia yang beredar. Sekitar 30.000
jenis yang berbahaya.
 Dilaporkan 2-6 % kejadian luka bakar karena bahan kimia
Klafisikasi Bahan kimia :
1. Alkalis/Basa
Hidroksida, soda kaustik, kalium amoniak, litium, barium, kalsium atau bahan –
bahan pembersih dapat menyebabkan liquefaction necrosis dan denaturasi protein.
2. Acids/Asam
Asam hidroklorat, asam aksalat, asam sulfat, pembersih kamar mandi atau kolam
renang dapat menyebabkan kerusakan coagulation necrosis.
3. Organic Compounds
Fenol, creosote, petroleum, sebagai desinfektan kimia yang dapat
menyebabkankerusakana kutaneus, efek toksis terhadap ginjal dan liver.
Berat / ringannya trauma tergantung :
1. bahan
2. Konsentrasi
3. Volume
4. Lama kontak
5. Mekanisme trauma
21
Penatalaksanaan :
1. Bebaskan pakaian yang terkena
2. Irigasi dengan air yang kontinu
3. Hilangkan ras nyeri
4. Perhatikan airway, breathing dan circulation
5. Indenifikasi bahan penyebab.
6. Perhatikan bila mengenai mata.
7. Penanganan selajutnya sama seperti penanganan luka bakar.
Luka Bakar dan kehamilan
 Hati –hati terhadap komplikasi
 Komplikasi pada ibu dan janin
 Pada luka 60 % atau lebih menimbulkan terminasi spontan dari kehamilan.
Penatalaksanaan:
1. Segera dilakukan stabilisasi airway. Hipoksia dapat terjadi pada ibu dan janin
2. Distress napas hipoksia dapat menimbulkan resistensi vaskuler pada uterus,
mengurangiuterus blood flow dan oksigen ke janin menurun.
3. Monitoring janin
4. Konsultasi dengan spesialis kandungan
KOMPLIKASI
1. Terminasi kehamilan akibat hipotensi, hipoksia serta adanya gangguan cairan dan
elektrolit.
2. Persalinan premature
3. Kematian janin intrauterine
KESIMPULAN
Mengingat kasus luka bakar merupakan suatu cidera berat yang memerlukan
penanganan dan penatalaksanaan yang sangat komplek dengan biaya yang cukup
tinggi serta angka morbiditas dan mortalitas karena beberapa faktor penderita, factor
pelayanan petugas, factor fasilitas pelayanan dan faktor cideranya. Untuk penanganan
luka bakar perlu perlu diketahui fase luka bakar, penyebab luka bakar, derajat
kedalaman luka bakar, luas luka bakar. Pada penanganan luka bakar seperti
penanganan trauma yang lain ditangani secara teliti dan sistematik. Penatalaksanaan
sejak awal harus sebaik – baiknya karena pertolongan pertama kali sangat
menentukan perjalanan penyakit ini.

27 Nov 2010
bek teuwo le luka bakar beuh, ndriy..

Minggu, 07 November 2010

DESKRIPSI FOTO X-Ray

 Foto Schedel AP/Lateral
o Besar dan bentuk calvaria  normal/tidak
o Tabula eksterna, diploe dan tabula interna  ada fraktur ?, kalsifikasi ?
o Vaskular marking (garis pembuluh darah)  ada/tidak, banyak/sedikit, melebar/terputus
o Convutional marking (bayangan girus dan sulkus)  ada/tidak
o Sutura coronalis, sutura sagitalis, sutura lambdoidea  terlihat/tidak
o Sella tursica, Proc. clinoideus anterior et posterior
o Garis fraktur  ada/tidak
o SOL (space occupaying lesion)

 Foto Sinus Paranasal (SPN) Water’s
o Sinus frontalis dextra et sinistra  cerah/ada perselubungan ?
o Sinus maxillaris dextra et sinistra  cerah/ada perselubungan ?
o Sinus ethmoidalis dextra et sinistra (sering tdk tampak)  cerah/ada perselubungan ?
o Septum nasi  ditengah/deviasi ?
o Concha nasalis inferior  hipertrofi/ normal

 Foto Cervical AP/Lateral
o Soft tissue  ada pembengkakan/normal
o Besar dan bentuk corpus Vt. Cervicalis  normal/tidak
o Pedicle dan Discus intervertebralis  tdp osteofit ?, discus normal/menyempit ?
o Curva  normal kurva Vt. Cervicalis, lordotik.
o Alignment  kedudukan corpus vertebra satu dg yg lain, bergeser/tidak ?
o Foramen intervertebralis  menyempit/ normal ?

 Foto Thorax PA/AP
o Soft tissue  ada pembengkakan/tidak
o Skeletal (os scapula, os clavicula, ossa costae)  tdp fraktur/destruksi/normal ?
o ICS  melebar/menyempit/normal ?
o Trachea ? deviasi (tertarik/terdorong ?)/ di tengah ?
o Cor  cardiomegali/ normal ? ( CTR ? diukur yo..)
o Aorta  elongasi/dilatasi
 Ukur jarak puncak aorta sampai ujung medial clavicula, jarak normal > 1 cm, < 1 cm berarti elongasi  Ukur jarak dari midline tubuh sampai pinggir arcus aorta (ke lateral sinistra), normal < 4 cm, > 4 cm berarti dilatasi.
o Sinus costophrenicus dextra et sinistra  tajam/tumpul
o Sinus cardiophrenicus dextra et sinistra  tajam/tumpul
o Diafragma
 normal hemidiafragma kanan lebih tinggi dari hemidiafragma kiri (2,5 – 4 cm )
 bentuk normal seperti kubah…abnormal diafragma tenting, scalloping atau bulging.
 Cara mengukur perbedaan diafrgama kanan dan kiri  tarik garis tegak lurus dari sinus cardiophrenicus diaphragma sinistra sampai ke bawah diaphragma dextra. Ukur jarak dari garis tersebut ke puncak diaphragma dextra secara tegak lurus.
o Pulmo
 Hylllus  normal/ kasar/melebar ?
 Corakan bronkovaskuler  normal atau bertambah ( > 2/3 lapangan paru)
 Infiltrat (bercak lunak)  ada/tidak
 Fibrotik tissue  ada/tidak
 Bayangan noduler opaque  ada/tidak
 Retraksi jaringan  ada/tidak
o Note : pada foto thoraks AP  cor dan aorta tidak bias dinilai.

 Foto BNO (Buik Nier Oversich)
o Preperitoneal fat line dextra et sinistra  tampak jelas/tidak ?
o Psoas line dextra et sinistra  tampak jelas, tidak ?
o Skeletal (Vt. Lumbalis)  Corpus vertebra dan Discus intervertebralis
o Kontur ginjal jelas/tidak jelas, letak, ukuran dan stuktur
 Normal, Ren dextra terletak setinggi Vt. Thoracalis XII – Vt. Lumbalis III dan Ren sinistra setinggi Vt.Thoracalis XI – Vt. Lumbalis II
o Distribusi udara colon  normal bayangan lusen udara terlihat pada fundus gaster, bulbus duodeni dan colon.
o Concermen opaque  bayangan opaque (gambaran batu) di sepanjang traktus urinarius.

 Foto Lumbosacral AP/Lateral
o Soft tissue  ada pembengkakan/normal ??
o Besar dan bentuk corpus Vt. Lumbalis  normal/tidak
o Pedicle dan Discus intervertebralis  terdapat osteofit/tidak, osteofit  spondilosis, discus normal/menyempit.
o Curva  normal kurva Vt. Lumbalis, lordotik, kalau kurva menjadi lurus  ada spasme otot
o Alignment  bergeser berarti spondilolistesis
o Foramen intervertebralis  normal/menyempit
o Titik berat badan  normal di promontorium os sacrum, di depan promontorium  unstable pelvic.
 Cara mengukur titik berat badan  tarik dua garis diagonal yang saling bersilangan dari sudut corpus Vt. Lumbalis III. Dari titik persilangan dua garis diagonal tersebut, ditarik garis vertikal ke arah promomtorium os sacrum. Normal, garis vertical (titik berat badan) akan jatuh/melalui promontorium os sacrum.

 Foto Pelvis AP
o Soft tissue  ada pembengkakan/normal ?
o Besar dan bentuk tulang pelvis
o Struktur tulang  regular/irregular
o Celah sendi  normal, menyempit, melebar ?
o Garis fraktur dan osteofit
o Caput femur, collum femur, acetabulum  fraktur, osteofit, permukaan rata/tidak
o Symphysis pubis  normal < 1 cm, > 1 cm berarti symphysiolysis

 Foto Genu AP/Lateral
o Soft tissue  pembengkakan/normal ?
o Besar dan bentuk tulang  femur distal, tibia dan fibula proksimal
o Celah sendi  normal, menyempit?
o Garis fraktur, osteofit
o Eminentia intercondylaris medial dan lateral  terdapat perkapuran ?
o Patella  fraktur, dislokasi, terdapat perkapuran ?

 Foto Shoulder AP, Foto Humerus AP/Lateral, Foto Antebrachii AP/Lateral, Foto Manus AP/Lateral, Foto Femur AP/Lateral, Foto Cruris AP/Lateral, Foto Pedis AP/Lateral, Foto Ankle Joint AP/Lateral
o Soft tissue  tdp pembengkakan/normal
o Besar dan bentuk tulang
o Celah sendi  menyempit, melebar/normal
o Garis fraktur, dislokasi dan osteofit


semoga bermanfaat…^^

Dengue Hemorrhagic Fever



1.1 Pendahuluan
Demam berdarah dengue merupakan penyakit pada masyarakat yang penting di dunia ini. Kasus penyakit demam berdarah dengue pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus demam berdarah dengue di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya tahun 1968 dan di Jakarta dengan jumlah penderita yang meninggal 24 orang. Konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1972 sejak pertama kali dikenal di Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini terutama penting pada kasus-kasus dengan komplikasi yang tidak mendapatkan pengobatan simtomatis yang memadai yang dapat menyebabkan kematian lebih dari 20%. Jumlah rata-rata kasus di berbagai negara sejak tahun 1955 setiap tahun semakin meningkat. Tercatat 514.139.000 kasus pertahun akibat virus dengue di berbagai negara dalam periode 1990-1998. Demam berdarah dengue bersifat endemik di Provinsi Sulawesi Selatan dengan pola terutama disekitar musim hujan dengan insidensi pada yahun 2001 sebanyak 3.888 kasus dengan jumlah kematian 1,88 % dari seluruh kasus yang dilaporkan.1,2
Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit ini menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan perdarahan dan terjadinya perembaesan plasma yang ditandai dengan hemokosentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.3,4
Penyakit demam berdarah dengue sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau demam typhoid. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan Demam berdarah dengue bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menunjukkan pasien demam berdarah dengue sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau demam typhoid sehingga diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis demam berdarah dengue serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.5

1.2 Definisi dan Etiologi 6,7
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Virus dengue mempunyai 4 serotipe DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe virus dengue ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Reaksi silang dapat terjadi antara serotipe dengue dengan Flavivirus yang lain seperti Yellow fever, Japanese Encephalitis dan West Nile virus.

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1),
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. Demam Berdarah Dengue (dengan atau tanpa renjatan)

1.3 Patogenesis 6
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2),



sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita demam berdarah dengue berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

1.4 Diagnosis
Demam dengue merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :
 Nyeri kepala
 Nyeri retroorbital
 Nyeri otot atau nyeri sendi
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan (ptechiae atau uji torniquet positif)
 Leukopenia dan pemeriksaan serologi positif.
Berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) pada tahun 1997,6,7 diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi,
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukos (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml). 4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma, yakni sebagai berikut :  Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Referensi lain menyebutkan,8 Untuk mendignosis penyakit demam berdarah dengue dipakai patokan kriteria klinik dari World Health Organization (WHO) (1999) sebagai berikut:
a. Demam mendadak tanpa penyebab yang jelas serta disertai penurunan aktifitas dan nafsu makan.
b. Timbul perdarahan baik di gigi, mulut, hidung, kulit, atau tinja.
c. Demam yang disertai kemerahan di wajah dan leher serta muntah.
d. Tiba-tiba terjadi penurunan suhu tubuh setelah beberapa waktu penderita mengalami demam. Gejala ini diiringi dengan rasa gelisah, sakit perut, dan badan lemas.
Spektrum klinis demam berdarah dengue mempunyai 4 derajat (WHO, 1999), yaitu :
o Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
o Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
o Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
o Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar berikut.



1.5 Pemeriksaan Penunjang 6,7
1.5.1 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah rutin meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
 Leukosit, dapat menunjukkan nilai normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15 % dari total jumlah yang pada fase syok akan meningkat.
 Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
 Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkata hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, biasanya pada demam hari ke-3.
 Hemostasis: pemeriksaan PT, aPTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
 Protein/albumin: hipoproteinemia dapat terjadi akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT: ini dapat meningkat.
 Ureum dan kreatinin: ini dapat meningkat bila terdapat gangguan fungsi ginjal.
 Elektrolit: parameter pemantauan pemberian cairan.
 Golongan darah dan cross match: ini dilakukan bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
 Uji HI: pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang perawatan yang bertujuan untuk kepentingan surveilans.

Uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular dapat dilakukan untuk membuktikan etiologi demam berdarah dengue. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

1.5.2 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis seperti foto dada dapat mendeteksi adanya efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan. Efusi pleura dapat ditemukan pada kedua hemithoraks bila terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan atau pasien tidur pada sisi sebelah kanan. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya asites dan efusi pleura.

1.6 Penatalaksanaan
Terapi demam berdarah dengue pada dasarnya bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.Hal terpenting yang perlu dilakukan dalam pemberian terapi cairan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Proses kebocoran plasma akan berkurang pada hari ke-7 dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun ascites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan demam berdarah dengue dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka demam berdarah dengue tanpa syok.
2. Pemberian cairan pada tersangka demam berdarah dengue dewasa di ruang rawat.
3. Penatalaksanaan demam berdarah dengue dengan peningkatan hematokrit >20%.
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada demam berdarah dengue dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Sabtu, 06 November 2010

Triple Antihypertensive Therapy With Amlodipine, Valsartan, and Hydrochlorothiazide A Randomized Clinical Trial (terjemahan jurnal)

ABSTRAK
Banyak pasien dengan hipertensi membutuhkan pemberian lebih dari 3 obat untuk mencapai target tekanan darah. Kemanjuran’/keamanan dari kombinasi dua jenis obat yaitu valsartan (val)/hidroklortiazid(HCTZ) dan Amlodipin(Aml)/val dalam hipertensi telah dilakukan. Penelitian klinis acak ini dengan metode double blind menilai kemanjuran/keamanan kombinasi tiga jenis obat dengan Aml/Val/HCTZ pada hipertensi sedang dan berat ( dengan nilai rata –rata tekanan darah sistolik ≥145 dan tekanan darah diastolik rata – rata ≥100 mmHg). Penelitian ini mencakup metode secara single-blind, dengan placebo, diikuti dengan metode double blind selama 8 minggu.; pasien dibagi menjadi 1 sampai 4 kelompok yang diberikan obat Aml/Val/HCTZ dengan dosis titrasi 10/320/25 mg, Val/HCTZ 320/25 mg, Aml/Val 10/320 mg atau Aml/HCTZ 10/25 mg satu kali sehari. Pasien yang menerima kombinasi dua jenis obat menerima setengah dari dosis target dari kedua obat selama dua minggu pertama, kemudian dosis dititrasi sampai ke dosis target selama 3 minggu. Pasein dengan kombinasi tiga jenis obat menerima Val/HCTZ 160/12,5 selama minggu pertama, Aml/Val?HCTZ 5,0/160/12,5 mg selama minggu kedua dan dosis target ketiga obat terdebut dalam minggu ketiga. Dari 4285 orang pasien, 2271 orang diberikan terapi secara acak, dan 2060 menyelesaikan penelitian sampai akhir. Kombinasi terapi tiga jenis obat memiliki peranan yang sangat tinggi dibandingkan dengan kombinasi dua jenis obat dalam menurunkan tekanan darah sistolik rata – rata dan tekanan darah diastolik rata – rata dari nilai dasar sampai ke nilai akhir. (keseluruhan P<0,0001). Lebih banyak pasien terlihat memiliki tekanan darah yang terkontrol dengan pemberian kombinasi tiga jenis obat antihipertensi (<140/90 mmHg; P<0,0001) dan tekanan darah sistolik dan diastolik yang terkontrol (P0,0002) dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapat kombinasi dua jenis obat. Aml/Val/HCTZ dapat ditoleransi dengan baik. Keuntungan menggunakan kombinasi tiga jenis obat dibandingkan dua jenis obat diamati tanpa memperhitungkan jenis kelamin, usia, ras, suku atau tekanan darah sistolik rata – rata dasar. Kesimpulan, penelitian ini menunjukkan kemanjuran/keamanan terapi dengan menggunakan Aml/Val/HCTZ dengan dosis 10/320/25 mg pada hipertensi sedang dan berat. Kata kunci : Amlodipin, Valsartan, Hidroklortiazid, hipertensi, kombinasi terapi tiga jenis obat. Pedoman terapi hipertensi merekomendasikan target tekanan darah < 140/90 mmHg pada hipertensi tanpa komplikasi. Tujuan target tekanan darah lebih rendah (<130/80 mmHg) pada pasien dengan hipertensi yang disertai komplikasi diabetes melitus atau penyakit ginjal atau pada pasien dengan resiko tinggi (contoh, riwayat stroke atau Infark Myocard). Untuk memfasilitasi pencapaian target pada pasien dengan resiko tinggi, pedoman terapi hipertensi menyarankan penggunaan terapi kombinasi dengan dua jenis obat pada penatalaksanaan awal. Bagaimanapun, selain bukti yang banyak dari efek negatif tekanan darah yang kurang terkontrol, dan jumlah obat antihipertensi yang tersedia, kira – kira hanya 1/3 pasien hipertensi dengan tekanan darah yang terkontrol di USA. Karena penyebab hipertensi bersifat multifaktorial, sebagian besar pasien ,e,butuhkan terapi dengan > 1 obat antihiertensi untuk mencapai target tekanan darah, sebagian besar pasien membutuhkan ≥ 3 jenis obat.
Regimen antihipertensi yang termasuk ≥ 2 jenis obat antihipertensi dengan mekanisme aksi komplementer mungkin menunjukkan hasil berupa penurunan tekanan darah yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat. Sebagai contoh, penggunaan Calsium Channel Blocker, angiotensin receptor blocker dan diuretik thiazid mewakili pilihan terapi kombinasi yang rasional. Calsium chanel blocker menghambat masukan calsium ke dalam otot polos pembuluh darah dan oto jantung, angiotensin receptor blocker menghambat vasokonstriksi yang disebabkan oleh angiotensin II dan retensi natrium ginjal, dan diuretik tiazid mengurangi volume intravaskular dan jumlah natrium total dalam tubuh. Sebagai tambahan terhadap efikasi potensial dalam pemberian obat dengan kombinasi tiga jenis obat, satu obat antihipertensi mungkin dapat mengurangi efek samping obat lainnya. Sebagai contoh, penggunaan Val dan HCTZ menunjukkan efek antihipertensi yang lebih besar dibandingkan penggunaan satu jenis obat sendiri, Val mengurangi hipokalemia yang disebabkan oleh HCTZ. Efek penurunan tekanan darah dengan kombinasi Val dan Aml juga menunjukkan angka yang lebih baik dibandingkan penngunaan obat secara monoterapi, dan angka edema perifer lebih rendah pada terapi kombinasi dibandingkan dengan penggunaan Aml tunggal.
Efikasi dan kemanan terapi kombinasi Val/HCTZ dan Aml/Val telah ditemukan, dengan masing – masing kombinasi tersedia dalam formulasi pil tunggal. Kemudahan terapi dengan menggunakan satu jenis pil mungkin meningkatkan kefektivan terapi. Khususnya penting pada pasien denan hipertensi. Pengurangan jumlah pil yang harus diminum juga meningkatkan efek psikologis untuk kesembuhan pasien. Kombinasi tiga jenis terapi Aml/Val/HCTZ mungkin menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi dua jenis obat dalam terpai hipertensi. Kombinasi tiga jenis obat dalam satu pil akan meningkatkan efikasi obat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan penggunaan tiga jenis obat kombinasi dalam hipertensi Aml/Val/HCTZ 10/320/25 mg dibandingkan dengan pengggunaan kombinasi dua jenis obat Val/HCTZ 320/25, Aml/Val 10/320 mg dan Aml/HCTZ 10/25 mg pada pasien denga hipertensi sedang dan berat.

METODE
RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang multinasional, acak, dengan metode double blind, dan kelompok yang paralel. Protokol penelitian disetujui oleh komite etik independent atau institusi untuk mesing – masing pusat penelitian dan penelitian ini dilakukan dengan pedoman dari prinsip etika dari deklarasi Helsinki. Semua pasien menendatangani informed consent sebelum dilakukan penelitian.


PASIEN/ PESERTA PENELITIAN
Pasien yang cocok untuk penelitian berusia antara 18 dan 35 tahun dengan hipertensi sedang sampai berat (tingkat 2 atau 3) (tekanan darah sistolik rata – rata saat duduk [SBP;MSSBP] ≥ 145 mmHg dan tekanan darah diastolik rata – rata [DBP; MSDBP ≥ 100 mmHg] pada penilaian secara acak. Pasien menghentikan penggunaan obat antihipertensi sebelumnya setelah ≥ 1 minggu diberikan placebo. Pasein dengan hipertensi berat (MSSBP ≥ 180 mmHg atau MSDBP ≥ 100 mmHg) secara acak di masukkan dalam penelitian. Bagi pasien yang tidak memenuhi kriteria ini secara acak dimasukkan dalam kriteria setelah 2-3 minggu penggunaan placebo jika tekanan darah MSSBP ≥ 145 mmHg dan MSDBP ≥ 100 mmHg. Pasien dengan MSSBP ≥ 200 mmHg atau MSDBP ≥ 120 mmHg tidak melanjutkan penelitian.
Wanita dengan postmenopause selama 1 tahun, menjalani operasi sterilisasi atau menggunakan metode efektif untuk mengontrol kelahiran dibandingkan dengan penggunaan hormon dalam kontrasepsi. Pasien dikeluarkan dari kelompok penelitian bila telah mendapat kombinasi dari ≥ 4 kombinasi obat antihipertensi. Pasien juga dikeluarkan dari penelitian pada skrining awal bila telah menerima 3 jenis obat antihipertensi dengan MSSBP/MSDBP ≥ 140/90 mmHg; dengan pemberian kombinasi dua jenis obat dengan MSSBP/MSDBP ≥ 180/110 mmHg; atau tanpa terapi obat antihipertensi dengan MSSBP/MSDBP < 140/90 mmHg. Kriteria eksklusi tambahan termasuk riwayat riwayat hipersensitivitas terhadap obat – obat yang digunakan dalam penelitian; riwayat ensefalopati hipertensif, cedera cerebrovaskuler, transient ischemic attack, infark myocardium atau semua prosedur revaskularisasi; blok jantung derajat 2 atau 3; angina pectoris; aritmia atau penyakit jantung katup; DM tipe I atau DM tipe II tidak terkontrol; penyakit pancreas, ginjal atau hati; kadar natrium plasmadan atau kadar kalium < 132 mmol/L dan <32 mmol/L; atau penggunaan obat – oabtan yang secara langsung dapat mempengaruhi tekanan darah. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian acak, dengan metode double blind, kelompok paralel, yang dilakukan secara aktif dan terkontrol ini dilakukan di 15 negara. Rancangan penelitian ditunjukkan dalam gambat 1. penelitian termasuk dengan pemberian placebo dengan metode single blind, dalam waktu maksimal 4 minggu dilanjutkan dalam 8 minggu dengan metode double blind. Pasien dibekali dengan monitor tekanan darah Omron yang dapat digunakan dirumah (model HEM705CP) untuk mengukur SBP dan DBP dirumah dua kali dlam sehari selama pemberian placebo. Pasien diinstruksikan untuk menghubungi pusat penelitian untuk melakukan konsultasi dan menjadwalkan kunjungan kantor untuk menilai bila tekanan darah mencapai SBP ≥ 180 mmHg dan DBP ≥ 110 mmHg. Pasien dengan kriteria tekanan darah pada kunjungan klinik (MSSBP ≥ 145 mmHg dan < 200 mmHg serta MSDBP ≥ 100 mmHg dan <120 mmHg) secara acak dikelompokkan menjadi 1 – 4 kelmpok yang menerima terapi dengan metode doble blind; Aml/Val?HCTZ 10/320/25 mg, Val/HCTZ 10/25, Aml/Val 10/320 mg atau Aml/HCTZ 10/25 mg sekali dalam satu hari. Pasien dikelarkan dari kriteria bila tidak memenuhi kriteria tekanan darah setelah 4 minggu pemberian placebo. Selama 2 minggu pertama setelah pengacakan sampel, dilakukan dua periode titrasi obat dengan dosis yang lebih rendah pada obat – obat yang digunakan dalam penelitian (gambar 1). Pada awal minggu ketiga hingga akhir penelitian (sekitar 6 minggu), semua kelompok yang mendapat dosis akhir. Pada awal penelitian pasien minum obat sebanyak 2 tablet dan 2 kapsul pada pukul 8 pagi, kecuali pada hari dijadwalkan kunjungan. Val diberikan dalam bentuk tablet 160 mg, HCTZ dalam bentuk kapsul 12,5 mg atau 25 mg, dan Aml dalam bentuk kapsul 10 mg. placebo diberikan sebagai tablet atau kapsul. Identitas obat disembunyikan dalam bentuk kemasan, penamaan atau waktu pemberian. Sebagai tambahan, warna, berat dn bau obat tersebut tetap identik dengan placebo. PENILAIAN EFIKASI OBAT Perhitungan tekanan darah arteri dillakukan di klinik dengan menggunakan monitor Omron dan ukuran manset yang tepat, sesuai dengan pedoman. Tekanan darah diukur pada skrining dan setiap kali kunjungana hingga akhir penelitian. Bila memungkinkan, perhitungan tekanan darah dilakukan oleh staff yang sama untuk setiap pasien pada setiap kunjungan. Pada penenlitian, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan lengan dengan DBP lebih tinggi digunakan sebagai patokan awal dan pada kunjungan selanjutnya secara keseluruhan. Pada setiap kunjungan, setelah pasien duduk selama 5 menit dengan kedua kaki di lantai, dilakukan perhitungan tekanan darah sistolik dan diastolik sebanyak 3 kali perhitungan dengan interval selama 2 menit. Perhitungan tekanan darah dilakuakn 23 – 26 jam setelam pemebrian dosis obat. MSSBP dan MDSBP dihitung sebagai hasil rata – rata dari tiga kali perhitungan tekanan darah tersebut. PENILAIAN KEAMANAN PENGGUNAAN OBAT Kunci penilaian keamanan obat termasuk efek samping obat (ES), efek samping obat yang serius dan parameter laboratorium (hematologi dan biokimia). UKURAN SAMPEL Jumlah total sampel 2024 pasien yang direncanakan mengikuti penelitian ini, dianggap dari 2252 pasien yang diambil secara acak (563 pasien setiap kelompok) dan angka drop out dari penelitian rata – rata 10 %. Ukuran sampel ini menunjukan 90 % kekuatan dan tingkat signifikan 2 sisi sebesar 0,025 untuk mendapatkan data statistik yang tepat dalam kombinasi tiga jenis obat hipertensi dibandingkan tiga kombinasi dua jenis obat antihipertensi untuk merubah niali dasar MSSBP dan MSDBP, dengan menganggap perbedaan nilai antara keduanya sebesar 2,0-3,5 mmHg dan SD 8,0 dan 14,0. ANALSISA STATISTIK Analisa efikasi dilakukan dengan metode intent to treat terhadap kelompok penelitian, yang termasuk seluruh pasien yang telah diacak yang memiliki nilai dasar yang sesuai dan ≥1 penilaian setelah penilaian dasar dilakukan terhadap efikasi variabel MSSBP dan MSDBP. Keamanan populasi termasuk seluruh pasien yang mendapat ≥ 1 dosis obat dengan metode double blind. Untuk menghindari masalah yang mungkin terjadi, dalam analisa penelitian dilakukan di pusat penelitian kecil, dilakukan pembagian menjadi 4 daerah sebelum terapi dianalisa. Efikasi keluaran utama penelitian berubah dari nilai dasar hingga tujuan akhir penelitian (observasi terakhir dilampirkan) pada MSSBP dan MSDBP. Hasil keluaran sekunder penelitian termasuk perubahan nilai tekanan darah dari nilai dasara pada minggu ke 5,7 dan 9 dalam hal MSSBP dan MSDBP, kontrol tekanan darah sistolik (MSSBP< 140 mHG), kontrol tekanan darah diastolik (MSDBP< 90 mmHg) dan tekanan darah keseluruhan kontrol (MSSBP/MSDBP <140/90 mmHg) rata – rata pada akhir penenlitian minggu ke 5,7 dan 9. Untuk menilai efek terbaik yang dihasilkan deri terapi dengan menggunakan tiga jenis obat antihipertensi dibandingkan dengan dua jenis obat antihipertensi, digunakan metode perhitungan 2 jalur ANCOVA, dengan terapi dan daerah sebagai faktor dan MSSBP (atau MSDBP) sebagai koefisien. Prosedur peningkatan tes multipel menurut Hochberghdigunakan untuk mengontrol seluruh kesalahan pada tipe 1 dan tingkat 0,05 dua sisi dari dua variabel efikasi primer, MSSBP dan MSDBP. Dengan analisa penatalaksanaan perubahan tekanan darah dari nilai dasar dilakukan pada satu sampel dengan tes-t. perbandingan MSSBP dan MSDBP dan seluruh nilai rata – rata kontrol pada penggunaan tiga jenis obat dibandingkan dengan penggunaan dua jenis obat antihipertensi dilakuakan menggunakan model regresi logistik dengan terapi dan daerah sebagi faktor. Variabel efikasi utama dan tambahan juga dirangkum dalam subgrup, termasuk kelompok usia (<65 tahun atau ≥ 65 tahun), jenis kelamin,(pria atau wanita), dan ras (putih, hitam, asia, amerika sasli, pasifik, dan lainnya). Sebagai tambahan, analisa variabel efikasi primer dihitung berdasarkan MSSBP pada nilai dasar (<180 mmHg atau ≥ 180 mmHg) dan pada subgrup dengan suku tertentu (hispanic, latin atau non-hispanik/latin [termasuk china, india, jepang, suku gabungan atau lainnya]). HASIL PENELITIAN PASIEN Dari 4285 orang pasien yang ikut serta dalam penenlitian, 2271 orang secara acak diperlakukan dengan metode double-blind, dan 2060 mengikuti penelitian sampai akhir (gambar 2). Seorang pasien yang ikut serta dalam metode dengan pemberian placebo dikeluarkan dari analisa penelitian karena tidak diketahui terapi yang telah diberikan. Nilai rata - rata peserta yang menyelesaikan penelitian antar setiap kelompok serupa. Alasan yang paling penting untuk tidak melanjutkan penenlitian dengan pemberian placebo termasuk kondisi pasien yang tidak memungkinkan dalam meneliti obat yang digunakan (28,1 %). Hasil prosedur tes yang abnormal (6,9%) dan ketidakpatuhan (5,3 %). Alasan utama tidek melanjutkan penelitian dengan menggunakan metode double blind termasuk efek samping (3,1 %), ketidakpatuhan (2,5 %) dan kehilangan foolow up (1,5 %). Perbandingan karakteristik dasar dan demografis secara umum dapat dilihat pada tabel 1. kira – kira 72 % pasien yang diacak berkulit putih dan 55 % terdidi dari pria. Usia rata – rata pasien 53 tahun, dengan usia ≥ 65 tahun sekitar 14 %. Nilai dasar MSSBP/MSDBP 169,9/106,5 mmHg, dan rata – rata telah mengalami hipertensi selama 9 tahun. 10 % pasien menderita diabetes, dan 26 % dari suku hispanik/latin. Sebelumnya, obat anti hipertensi yang sering dikonsumsi pasien yanitu penghambat angiotensin converting enzyme (30,2 %), derivat dihydropyridine (18,1 %), tiazid (17,3%), antagonis angiotensin II (16,4%) dan antagonis  selektif (12,5%). PERUBAHAN NILAI DASAR MSSBP DAN MSDBP Perubahan rata – rata dari nilai dasar tekanan darah sistolik dan diastolik ditunjukkan pada tabel 2. Penurunan paling besar dari nilai MSSBP dan MSDBP diamati pada pemberian kombinasi tiga jenis obat antihipertensi Aml/val/HCTZ (39,68 mmHg dan 24,74 mmHg). Perbandingan selama terapi yang diberikan menunjukkan hasil kombinasi terapi tiga jenis obat lebih baik dibandingkan dari tiga jenis terapi kombinasi dua obat dalam menurunkan nilai MSSBP dan MSDBP dari nilai dasar sampai nilai target (seluruh P <0,0001). Hasil perbandingan terapi pada minggu ke 5, 7 dan 9 serupa dengan nilai akhir yang dicapai dalam penelitian (seluruh P<0,0001). Pada semua kelompok yang mendapat terapi, efek penurunan tekanan darah terlihat setelah dua minggu (contohnya pada minggu ke lima) pada dosis maksimal (gambar 3). Dimulai dari minggu ke 5, penggunaan kombinasi terapi tiga jenis obat mampu menunjukkan penurunan tekanan darah yang sangat baik dibandingkan kombinasi dua jenis obat. NILAI RATA – RATA KONTROL Pada setiap penilaian setelah minggu ketiga, jumlah pasien yang menerima terapi kombinasi tiga jenis obat anti hipertensi lebih baik dalam mengontrol tekanan darah (<140/90 mmHg) dibandingkan dengan yang mendapat terapi kombinasi dua jenis obat (seluruh P < 0,001). Pada akhir penelitian, 70, % kelompok pasien yang mendapat terapi kombinasi tiga jenis obat mencapai tekanan darah kontrol, dibandingkan dengan 43,8 % pada panggunaan Val/HCTZ, 54,1 % pada penggunaan Aml/Val, dan 44,8 % pada penggunaan Aml/HCTZ (seluruh P<0,0001). Sebagai tambahan, nilai kontrol rata – rata tekanan darah sistolik (< 140 mmHg) dan nilai rata – rata tekanan darah diastolik (<90 mmHg) secara signifikan lebih besar dalam setiap penilaian terhadap pemberian kombinasi tiga jenis obat dibandingkan dengan penggunaan masing – masing kombinasi dua jenis obat (seluruh P0,0002; data tidak ditunjukkan). ANALISA SUB-KELOMPOK Analisa ini dilakukan terhadap perubahan dari nilai dasar sampai nilai akhir yang dicapai pada penelitian dari nilai rata – rata tekanan darah pada saat duduk dan nilai kontrol rata – rata yang dinilai berdasarkan usia (< 65 tahun dan ≥ 65 tahun), jenis kelamin, ras (kulit hitam dan kulit putih), atau suku (hispanik/latin). Pada kedua MSSBP dan MSDBP, kombinasi tiga jenis obat menunjukkan secara jumlah dan perbandingan statistik dengan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan kombinasi dua jenis obat, tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras dan suku. Jumlah pasien yang lebih besar meningkat dengan kombinasi tiga jenis obat mampu mencapai tekanan darah kontrol secara keseluruhan dibandingkan dengan penggunaan kombinasi dua jenis obat dalam kedua kelompok, usia, ras, dan suku (data tidak ditunjukkan). Sebagai tambahan, kombinasi terapi tiga jenis obat secara statistik menunjukkan efek yang paling baik dibandingkan dengan kombinasi terapi dua jenis obat terhadap perubahan nilai dasar sampai nilai akhir MSSBP dan MSDBP, dengan mengabaikan nilai dasar MSSBP (<180 mmHg atau ≥ 180 mmHg); seluruh P<0,01; gambar 4). KEAMANAN DALAM PENGGUNAAN OBAT Dilaporkan frekuensi pasien yang mengalami Efek samping obat ≥ 1 selama fase pemberian terapi dengan metode double-blind serupa pada kelompok yang mendapat terapi, berkisar antara 45-48 %. Mayoritas ES dikategorikan intensitas ringan sampai sedang. ES yang paling sering dilaporkan yaitu edema perifer (5,7 %), sakit kepala (5,4 %) dan pusing (5,2 %) (tabel 3). Rasa pusing muncul lebih sering muncul pada kombinasi terapi tiga jenis obat (7,7 %) dan kombinasi Val/HCTZ (7,0 %) dibandingkan Aml/Val (2,3 %) atau Aml/HCTZ (3,9 %). Edema perifer lebih jarang muncul pada kombinasi terapi tiga jenis obat (4,5 %) dan Val/HCTZ (0,9%) dibandingkan dengan Aml/HCTZ (8,9 %) atau Aml/Val (8,5 %). Secara keseluruhan, hanya terdapat sedikit insiden efek samping lain yang berkaitan dengan, atau potensial berhubungan dengan penurunan tekanan darah diantara kelompok penelitian, misalnya hipotensi ortostatik, vertigo postural dan pusing yang terjadi setelah aktivitas berlebih (masing – masing 4,5 %). Tidak terdapat kematian selama penelltian ini dilakukan. Kurang dari 1 % pasien menderita efek samping yang berat; semua muncul dengan frekuensi yang sama dalam kelompok penelitian. Insidensi efek samping yang paling sering terjadi yang dilaporkan pada pemberian (Aml/Val/HCTZ, Val/HCTZ, Aml/Val, Aml/HCTZ) yaitu pusing (1 %, 1,1 %, 0,4 % dan 0,2 %), hipotensi (0,7 %, 1,1 %, 0 % dan 0 %), dan edema perifer (0,2 %, 0 %, ),4 % dan 0,9 %). Perubahan nilai hasil pemeriksaan laboratorium sesuai dengan efek biokimia dari Aml, Val dan HCTZ; misalnya peningkatan kadar urea nitrogen dalam darah (BUN) yang diamati pada seluruh kelompok yang mendapat terapi, dan peningkatan nilai rata – rata asam urat pada pasien yang mendapat HCTZ. Nilai rata – rata kalium menurun pada kelompok yang mendapat HCTZ, dengan penurunan yang paling besar pada kelompok Aml/HCTZ (-0,39 mmol/L) dan penurunan sedikit pada Aml/Val/HCTZ (0,16 mmol/L) dan Val/HCTZ (0,08 mmol/L). peningkatan ringan dari nilai natrium diamati pada kelompok pasien yang mendapat Aml/Val (0,04 mmol/L). Perubahan nilai rata – rata dari nilai dasar pada pemeriksaan tes biokimia lainnya relatif kecil., tanpa perbedaan klinis yang sesuia diantara kelompok yang mendapat terapi. PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam jumlah besar, acak, dengan metode double blind, dan adanya pusat yang beragam untuk menilai kemanjuran dan keamanan penggunaan kombinasi terapi tiga jenis obat untuk terapi hipertensi sedang dan berat. Kombinasi tiga jenis obat Aml/Val/HCTZ menghasilkan penurunan tekanan darah MSSBP dan MSDBP yang adekuat yang secara statistik menunjukkan nilai paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan kombinasi dua jenis obat. Penurunan MSDBP sebesar 3,3-5,3 mmHg pada terapi kombinasi dengan tiga jenis obat secara klinis signifikan, karena penurunan sedikit dari tekanan darah diastolik berhubungan dnegan penurunan resiko kardiovaskuler. Sebagai contoh, penurunan tekanan darah diastolik sebesar 2 mmHg diperkirakan mengurangi resiko penyakit jantung koroner sebesar 6 % dan 15 % serangan stroke serta Transient Ischemic Attack. Pada penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan valsartan sebagai obat antihipertensi jangka panjang, perbedaan penurunan tekanan darah yang sedikit (~ 4/2 mmHg) antara terapi yang diberikan berhubungan dengan perbedaan yang signifikan dari insidensi stroke dan semua penyebab kematian. Kira – kira hanya 1/3 pasien yang diterapi dapat mencapai nilai tekanan darah kontrol. Mayoritas pasien dengan tekanan darah terkontrol membutuhkan terapi kombinasi, seringnya ≥ 3 jenis obat. Pada penelitian yang dilakukan untuk menilai terapi antihipertensi dan penurunan kadar lemak untuk mencegah serangan jantung, 23 % pasien mencapai tekanan darah target setelah 5 tahun mendapat ≥ 3 obat anti hipertensi. Dalam penelitian Menghindari penyakit kardiovaskuler melalui teraapi kombinasi pada pasien yang hidup dengan hipertensi sistolik, dimana semua pasien mendapat terapi awal berupa kombinasi dua jenis obat antihipertensi, 26 % pasien membutuhkan ≥ 1 jenis obat tambahan untuk mencapai tekanan darah yang ditargetkan selama 6 bulan pertama. Pada penelitian penyakit ginjal dan hipertensi pada orang afrika-amerika dan penggunaan Verapamil-Trandolapril secara internasional, persentase pasien yang membutuhkan ≥ 3 jenis obat selama terapi untuk mencapai tekanan darah target lebih tinggi, berkisar antara 42-52 %. Pada penelitian terbaru mengenai terapi intervensi yang disederhanakan untuk mengontrol hipertensi, penggunaan kombinasi tiga jenis obat dengan penghambat angiotensin-converting-enzyme atau penghambat reseptor angiotensin, calsium channel bloker dan diuretik tiazide merupakan langkah ke-4 dari algoritme yang mencakup terapi awal dengan dosis rendah, kombinasi dua jenis obat (ACE-inhibitor, atau blok reseptor angiotensin ditambah diuretik) pada 45 keluarga. Setelah 6 bulan, jumlah pasien yang mencapai tekanan darah target lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang menggunakan pendekatan secara konvensional (misalnya, program edukasi hipertensi orang kanada) 64,7 % banding 57,7%; P=0,026). Pada penelitian kami saat ini, 71 % pasien yang mendapat terapi kombinasi tiga jenis obat antihipertensi menunjukkan tekanan darah yang terkontrol (<140/90 mmHg)ndibandingkan 45-54 % pada pasien yang menerima kombinasi dua jenis obat (P<0,0001). Efek penurunan tekanan darah seutuhnya terlihat pada minggu kedua dengan pemberian dosis maksimal. Memperoleh tekanan darah yang adekuat sangat menantang dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam, usia lanjut, dan pasien dengan diabetes melitus dengan hipertensi sistolik berat. Kesulitan pada pasien kulit hitam ini mungkin berhubungan dengan menurunnya respon dengan monoterapi dengan penggunaan obat yang menekan sistem renin-angiotensin-aldosteron dibandingkan dengan pada pasien kulit putih. Pada pasien usia lebih tua, kontrol tekanan darah yang tidak baik mungkin berhubungan dengan insidensi hipertensi sistolik pada populasi, ditambah dengan keterbatasan dokter dalam memberikan terapi hipertensi yang adekuat dibandingkan dengan hipertensi sistolik. Pada penelitian ini, penggunaan kombinasi terapi antihippertensi dengan menggunkan tiga jenis obat Aml/Val/HCTZ menunjukkan penurunan MSSBP dan MSDBP dalam hal jumlah penderita dan data statistik dibandingkan kombinasi dua jenis obat tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras atau suku. Penelitian terbaru menunjukkan adanya keuntungan penggunaan obat dengan mekanisme komplementer dalam mengobati hipertensi. Kombinasi tiga jenis obat dalam terapi Aml/Val/HCTZ meningkatkan kontrol tekanan darah secara signifikan lebih baik dibandingkan kombinasi dua jenis obat dan dapat diterima dengan baik. Bahkan, Pamberian Val dalam kombinasi terapi ini dapat mengurangi angka kejadian hipokalemia yang dicetuskan oleh penggunaan obat. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana hipokalemia lebih rendah pada kombinasi Val/HCTZ dibandingkan penggunaan HCTZ sendiri (1,8 % sampai 6,1 % banding 7,1 % sampai 13,3 %). PERSPEKTIF Penelitian terbaru menunjukkan efikasi dan kemanan terapi hipertensi sedang dan berat dengan pemberian kombinasi tiga jenis obat Aml/Val/HCTZ 10/320/25 mg. Penatalaksanan awal hipertensi dengan kombinasi dua jenis obat dengan mekanisme komplementer mungkin mampu mencapai tekanan darah target lebih cepat dibandingkan dengan penambahan satu jenis obat lainnya secara perlahan atau pada dosis rendah pada kunjungan ke dokter. Penggunaan kombinasi terapi pada populasi penelitian ini sesuai dengan JNC-VII, deteksi, evaluasi dan terapu tekanan darah tinggi oleh European Society of hypertension dan pedoman terapi oleh The European Society of Cardiology, yang merekomendasikan pemberian terapi kombinasi pada pasien dengan tekanan darah sistolik > 20 mmHg dari nilai target dam tekanan darh diastolik target > 10 mmHg. Kami menemukan dosis penuh Aml, Val dan HCTZ dapat diberikan secara sederhana dan dengan titrasi pada terapi awal dengan dua jenis obat. Karena perlambatan penurunan kontrol tekanan darah merupakan suatu faktor resiko dari kejadian kardiovaskuler, pilihan terapi yang bekerja cepat dan aman akan sangat berharga. Ketersediaan kombinasi tersebut dalam bentuk satu pill tunggal mungkina akan menambah keuntungan dan potensial membuat pasien lebih nyaman dibandingkan harus menelan beberapa obat sekaligus, oleh karena itu penggunaan kombinasi tiga jenis obat, memberikan suatu pencerahan baru terhadap pasien dengantekanan darah yang tetap tidak dapat dikontrol dengan pembeian kombinasi dua jenis obat antihipertensi.

RABIES (tinjauan kepustakaan)



BAB I
PENDAHULUAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia. Rabies merupakan ensefalitis viral yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Masa inkubasi pada manusia sangat bervariasi dari beberapa hari sampai bertahun-tahun, tetapi biasanya 1-3 bulan. Rabies dapat digolongkan sebagai penyakit strategis, karena merugikan dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat. Distribusi rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya.1,7
Rabies ditularkan oleh gigitan hewan (anjing) dan virus dapat disebarkan oleh beberapa jenis kelelawar. Virus rabies dapat ditemukan di dalam kelenjar air liur setelah anjing terinfeksi virus rabies selama 3 - 8 minggu. Pada umumnya gigitan serigala lebih berbahaya dari pada gigitan anjing, karena air liur carnivora liar mengandung lebih banyak hyaluronidase, suatu enzim yang dapat meningkatkan permeabilitas jaringan dan virulensi virus. Air liur banyak mengandung virus terutama bila gejala klinis sudah terlihat, tetapi kadang-kadang dalam beberapa hari virus sudah ada dalam air liur sebelum nampak gejala klinis.4
Virus dengan konsentrasi tinggi pada air ludahnya biasanya ditemukan pada hewan yang menderita penyakit ini. Infeksi rabies pada hewan ditandai dengan kebiasaan hewan mencari tempat yang dingin diikuti dengan sikap curiga dan menyerang apa saja yang ada disekitarnya, hipersalivasi, paralisis dan menyebabkan kematian. Sedangkan gejala rabies pada manusia yang mencolok berupa rasa takut air (hydrophobia) dan gejala-gejala encephalitis.4

Virus rabies dapat ditemukan didalam kelenjar air liur setelah anjing terinfeksi virus rabies selama 3-8 minggu. Pada umumnya gigitan serigala lebih berbahaya dari pada gigitan anjing, karena air liur carnivora liar mengandung lebih banyak hyaluronidase, suatu enzim yang dapat meningkatkan permeabilitas jaringan dan virulensi virus. Air liur banyak mengandung virus terutama bila gejala klinis sudah terlihat, tetapi kadang-kadang dalam beberapa hari virus sudah ada dalam air liur sebelum nampak gejala klinis.2


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi Rabies 1

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus neurotropik dan bersifat fatal. Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan pada manusia lewat gigitan atau melalui luka yang terkena air liur hewan yang terinfeksi oleh virus rabies.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain penyakit ini ialah hydrophobia, la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwutt (Jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit ”anjing gila”.

2.2 Etiologi Rabies 1,2,3,4,6,15
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotrop dan memiliki ukuran 100 - 150 mikron. Genus Lyssavirus terdiri dari 11 jenis virus yang secara antigenik mirip virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus rabies, Mokola, Duvenhage dan European bat Lyssavirus. Virus rabies mempunyai inti yang terdiri dari asam nukleat RNA saja yang bersifat genetik. Inti tersebut dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid. Kombinasi inti dan kapsid disebut nukleokapsid. Diluar nukleokapsid ada kapsomer yang terdiri dari satuan molekul protein dan diluarnya terdapat “envelope” yang pada permukaannya terdapat spikules (spikes). Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing thawing yang berulang, cukup stabil pada pH 5-10 serta peka terhadap suhu pasteurisasi dan sinar ultra violet.
Secara garis besar partikel virus rabies mengandung 2 tipe antigen utama, yaitu :
a. Glikoprotein
Antigen ini berperan dalam hal bertautnya virus ke permukaan sel yang ”susceptible”, juga mengandung antigen yang membentuk ”serum neutralizing antibody”, yang memberikan proteksi terhadap virus rabies.
b. Antigen ribonukleoprotein
Antigen ini membentuk komplemen ”fixing antibody” dan ”Immunofluorescence antibody”.

2.3 Epidemiologi Rabies
Infeksi rabies pada manusia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dengan gejala hidrofobia. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan dapat ditemukan pada mikroskop elektron pada tahun 1960.
Distribusi rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya.
Jumlah kematian di dunia akibat infeksi rabies pada manusia diperkirakan lebih dari 50.000 orang tiap tahun dan terbanyak pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Insiden infeksi rabies di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan sebanyak 538 orang dari 86.000 kasus gigitan hewan tersangka rabies.

2.4 Patogenesis dan Patologi 1,2,6,11,15

Infeksi rabies pada manusia biasanya terjadi melalui gigitan atau kontak saliva binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dengan luka pada host. Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh manusia, virus menetap selama 2 minggu pada tempat masuk dan jaringan otot di sekitarnya. Virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus kemudian memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan merupakan reseptor asetilkolin post sinaptik pada neuromuscular junction pada susunan saraf pusat. Virus menyebar dari saraf perifer secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan sara pusat melalui cairan serebrospinal. Virus menyebar di otak secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, pankreas.
Virus ini menyebabkan gangguan pada susunan saraf pusat atau yang biasa disebut ensefalomielitis akut (radang yang mengenai otak dan medula spinalis). Virus rabies dapat bersembunyi dengan baik dari sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan tidak adanya perkembangan respon kekebalan tubuh sehingga tubuh sulit untuk melawan. Berdasarkan teori, air liur pada jaringan getah bening dan luka kecil yang terbuka dapat menjadi jalan masuknya virus. Virus akan berpindah dari tempatnya setelah gigitan, masuk melalui saraf-saraf menuju ke medula spinalis dan otak, dimana mereka berkembang biak dengan cepat dan menyebar ke beberapa tempat di otak. Otak mengalami peradangan dan beberapa fungsi sistem saraf pusat menjadi rusak. Selanjutnya, virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke beberapa jaringan tubuh termasuk kulit, kelenjar getah bening dan kelenjar ludah. Penyakit ini berlanjut ke arah paresis atau paralisis (kehilangan atau gangguan fungsi motorik yang disebabkan oleh lesi mekanisme saraf atau otot).

2.5 Gejala Klinis Rabies 1,2,10,11,12,13,14,15

Masa inkubasi virus rabies biasanya berlangsung selama 3-8 minggu, hanya 1% yang terjadi selama 9 hari dan 7 tahun. Masa inkubasi sangat bergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka, jarak luka dari otak, junmlah dan strain virus yang masuk, perlindungan pakaian dan faktor-faktor lain. Masa inkubasi biasanya paling singkat pada orang yang digigit di kepala atau daerah yang tertutup pakaian atau bila gigitan terdapat di banyak tempat. Masa inkubasi yang lebih lama terjadi pada individu prepubertal.
Secara teoretis, gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu;
1. Stadium prodromal
Berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia dan nafsu makan menurun. Stadium prodromal dapat berlangsung sampai 10 hari.
2. Stadium neurologi akut
Stadium ini dapat berupa gejala furious atau paralitik. Gejala furious dapat berupa penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Selang waktu beberapa jam - hari, gejala hiperaktif menjadi intermitten setiap 1-5 menit berupa periode agitasi, ingin lari, menggigit, diselingi periode tenang. Gejala lain dalam fase neurologik akut adalah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal nafas yang disebabkan oleh kontraksi hebat otot-otot pernafsan atau keterlibatan pusat pernafasan dan miokarditis, aritmia, dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus.
3. Stadium koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif.

2.6 Pemeriksaan laboratorium1

Fase awal dari penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan darah yaitu kadar hemoglobin normal sampai sedikti menurun pada perjalanan penyakit, leukosit antara 8000-13.000/mm3 dengan 6-8% monosit yang atipik, namun jumlah leukosit yang lebih tinggi (20.000-30.000/mm3) juga sering dijumpai, sedangkan jumlah trombosit biasanya normal.
Pemeriksaan urinalisis dijumpai albuminuria dengan peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dijumpai gambaran ensefalitis, peningkatan leukosit 70/mm3, tekanan cairan serebrospinal dapat normal atau meningkat, protein dan glukosa meningkat. Pemeriksaan Electro Encephalograph (EEG) dijumpai secara umum gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan paroksismal spike.
Pemeriksaan adanya neutralizing antibody dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Fluorescent Antibodies Test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, bahkan setelah tekhnik isolasi virus tidak berhasil. Pemeriksaan standar di Amerika Serikat adalah dengan Rapid Fluorencent Focus inhibition Test (RFTT). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil akan diperoleh dalam 48 jam. Negri bodies yang khas untuk penyakit rabies dapat ditemukan pada 71-90% penderita, bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik di dalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologi biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies.

2.7 Diagnosis Banding Rabies 1

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.
Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidrofobia.
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillian Barre, transverse myelitis, Japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis, atau ensefalitis post vaksinasi.

2.8 Penatalaksanaan Rabies 6
Pembersihan luka dan imunisasi yang dilakukan sesegera mungkin setelah penderita atau tersangka kontak dengan binatang dan mengikuti rekomendasi WHO, dapat mencegah timbulnya rabies pada hampir 100% dari eksposur. Pengobatan untuk mencegah rabies yang dianjurkan tergantung pada kategori kontak:
• Kategori I: menyentuh atau memberi makan hewan tersangka, tetapi kulit yang utuh
• Kategori II: minor goresan tanpa pendarahan dari kontak, atau menjilat pada kulit rusak
• Kategori III: satu atau lebih gigitan, goresan, pukulan pada kulit rusak, atau kontak lainnya yang menghancurkan kulit, atau paparan kelelawar
Vaksin anti-rabies diberikan untuk kategori II dan III. Immunoglobin atau antibodi anti-rabies harus diberikan untuk kategori III, atau untuk orang dengan sistem kekebalan yang lebih lemah.
Ketika manusia curiga terhadap binatang, usaha-usaha untuk mengidentifikasi, menangkap hewan tersebut harus dilakukan segera. Pengobatan pasca terpapar harus dimulai segera dan berhenti jika binatang adalah anjing atau kucing yang tetap sehat setelah 10 hari. Hewan yang dikorbankan atau mati harus diuji virus, dengan hasil yang dikirim ke pelayanan kesehatan hewan bertanggung jawab dan pejabat kesehatan masyarakat sehingga situasi di daerah ini didokumentasikan dengan baik.
Imunisasi menurut WHO dalam pencegahan terhadap rabies bertujuan memastikan tersedianya perawatan yang efektif bahkan di negara-negara berkembang yang memiliki pasokan vaksian yang sedikit. Staf kesehatan harus terlatih dan vaksin harus disimpan secara tepat untuk efektivitas.
Penanganan yang dilakukan bagi seseorang yang digigit hewan penderita rabies harus cepat dan sesegera mungkin, hal tersebut bertujuan untuk mengurangi efek virus rabies yang masuk ke tubuh melalui luka gigitan :
1. Usaha yang paling efektif untuk dilakukan adalah dengan segera mencuci luka gigitan dengan air bersih dan sabun atau detergen selama 5 – 10 menit dibawah air mengalir atau diguyur lalu keringkan dengan kain yang bersih.
2. Luka diberi antiseptik ( obat luka yang tersedia misalnya betadin, obat merah, alkohol 70 %, yodium tincture atau lainnya), lalu dibalut dengan pembalut yang bersih.
3. Penderita luka gigitan harus segera di bawa ke dokter, puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk medapatkan pengobatan sementara maupun perawatan lebih lanjut, sambil menunggu hasil observasi hewan tersangka rabies.
4. Walaupun sudah dilakukan pencucian luka gigitan, penderita harus dicuci kembali lukanya dipuskesmas atau rumah sakit.
5. Luka gigitan dibalut longgar dan tidak dibenarkan dijahit, kecuali pada luka yang sangat parah. Jika keadaan terpaksa dilakukan penjahitan, maka harus diberikan serum anti rabies ( SAR ) sesuai dosis, selain itu dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian vaksin anti tetanus maupun antibiotik dan analgetik.5
Pemberian vaksin anti rabies ( VAR ) disertai dengan serum anti rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dibawah ini :
1. Anamnesis :
● Kontak atau jilatan atau gigitan
● Kejadian didaerah tertular atau terancam atau bebas
● Didahului tindakan provokatif atau tidak
● Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
●Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies
● Penderita luka gigitan pernah di VAR, kapan?
● Hewan yang menggigit pernah di VAR , kapan?
2. Pemeriksaan fisik :
● Identifikasi luka gigitan ( status lokalis )
3. Lain-lain :
● Temuan pada waktu observasi hewan
● Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
● Petunjuk WHO
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun sehingga orang yang beresiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.8


2.9 Komplikasi Rabies 1

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya komplikasi penyakit rabies timbul pada stadium koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra kranial, kelainan pada hipotalamus dengan manifestasi berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas, hormon antidimetik. Disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung juga mungkin terjadi.

2.10 Prognosis1,9
Penyakit rabies merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan ditakuti karena bila telah menyerang manusia atau hewan maka selalu berakhir dengan kematian. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.

2.11 Pencegahan Rabies
Cara penanganan dan pencegahan pada kasus zoonosis ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang bekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya.5
Pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara :
1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara dengan baik dapat diserahkan pada dinas peternakan atau para pecinta hewan.
2. Mendaftarkan anjing ke kantor kelurahan atau desa atau petugas dinas peternakan setempat.
3. Virus rabies dapat dicegah pada hewan dengan vaksinasi secara rutin 1 – 2 kali setahun tergantung vaksin yang digunakan oleh dinas peternakan, pos kesehatan hewan atau dokter hewan praktek.
4. Semua anjing atau kucing yang potensial terkena divaksin setelah umur 12 minggu lalu 12 bulan setelahnya divaksin untuk 3 tahun tiap 3 tahun. Vaksin inaktif diberikan pada kucing.
5. Penangkapan atau eliminasi anjing, kucing dan hewan lain yang berkeliaran di tempat umum dan dianggap membahayakan manusia.
6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing dan hewan yang dicurigai menderita rabies.
7. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies.
8. Menempatkan hewan didalam kandang, memperhatikan serta menjaga kebersihan dan kesehatan hewan.
9. Setiap hewan yang beresiko rabies harus diikat atau dikandangkan dan tidak membiarkan anjing bebas berkeliaran.
10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2 meter bila tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.
11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui dijalan.
12. Daerah yang sudah bebas rabies harus mencegah masuknya anjing, kucing atau hewan sejenisnya dari daerah yang tertular rabies.
13. Pada area yang terkontaminasi dilakukan desinfeksi menggunakan 1 : 32 larutan pemutih pakaian untuk menginaktifkan virus dengan cepat.5


2.12 Tindakan Terhadap Orang yang Digigit atau Dijilat Oleh Hewan Yang Tersangka Atau Menderita Rabies

1. Apabila terdapat informasi ada orang yang digigit anjing atau dijilat oleh hewan yang tersangka rabies harus segera dibawa ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan luka.
2. Apabila dianggap perlu, orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera dikirim ke unit kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies
3. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis maupun laboratories dari Dinas Peternakan, maka orang yang menjadi korban harus segera mendapat pengobatan khusus di unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies.
4. Apabila hewan yang menggigit itu dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka orang digigit atau dijilat tersebut harus segera dikirim ke unit kesehatan yang mempunyai fasilitas anti rabies.3

2.13 Tindakan Terhadap Hewan Tersangka atau Menderita Rabies

Apabila ada informasi hewan tersangka rabies atau menderita rabies, maka Dinas Peternakan harus melakukan penangkapan atau membunuh hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dimusnahkan apabila tidak ada pemiliknya.3

2.14 Kegunaan Vaksin Rabies 3

Manfaat dari vaksin rabies adalah untuk mengendalikan penyakit rabies, mengusahakan agar hewan yang peka terhadap rabies kebal terhadap serangan virus rabies. Untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar populasi hewan harus dikebalkan melalui vaksinasi.
Pelaksanaan vaksinasi dapat berhasil dengan baik apabila tersedia vaksin dengan kualitas bermutu dan tersedia dalam jumlah cukup. Untuk menjawab tantangan ini pusat veterinaria farma (PUSVETMA) telah berhasil memproduksi vaksin rabivet dengan kualitas baik dan murah.
Untuk memperoleh vaksin rabivet dengan kualitas bermutu dan murah telah diadakan suatu rekayasa pembuatan media dan cloning virus sehingga diperoleh virus yang cocok untuk tumbuh pada media yang baru. Dibandingkan dengan vaksin rabivet maka vaksin rabivet supra 92 mempunyai kandungan protein yang jauh lebih rendah yaitu 2 mg/ml. Dengan turunnya kandungan protein diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis dan tidak menimbulkan rasa sakit pada suntikan. PH vaksin juga menunjukkan kestabilan yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan PH tubuh.
Hasil uji potensi vaksin tersebut dibandingkan dengan vaksin impor (rabisin) menurut metode National Institute Health (NIH) menunjukkan hasil yang sama dengan relatif potensi sebesar 1,2. Hasil uji dalam bentuk garis regrasi dari kedua jenis vaksin tersebut ternyata memperlihatkan garis linear yang hampir sejajar.
Upaya yang dilakukan PUSVETMA tidak hanya meningkatkan mutu vaksin yang dihasilkan tetapi juga kapasitas produksi pertahun juga ditingkatkan. Peningkatan kapasitas produksi dilakukan dengan melengkapi peralatan yang ada, penggunaan alat yang efisien dan penguasaan teknik produksi.
Vaksin rabivet supra 92 produksi PUSVETMA dapat dipertanggung jawabkan untuk dipakai dalam pengendalian penyakit rabies di Indonesia sebab mempunyai potensi baik, stabil dan efek samping rendah.


Kelebihan vaksin rabivet yaitu :
1. Rabivet tidak mengandung jaringan saraf dan kandungan proteinnya lebih rendah sehingga efek samping berupa alergi dan paralisa non spesifik sangat dikurangi.
2. Mudah di produksi secara besar-besaran.
3. Harga satuan lebih rendah.
4. Pencemaran lingkungan dan resiko tersebarnya virus sangat rendah.
5. rabies mempunyai masa kekebalan yang lebih lama.


BAB III
KESIMPULAN

Kematian yang merupakan prognosa dari rabies seharusnya memaksa para dokter untuk memperlakukan korban gigitan lebih intensif karena pernah ada laporan korban yang sembuh akibat gigitan hewan penular rabies.
Dokter saraf harus memperhitungkan rabies sebagai diagnosa banding dan mencari kemungkinan paparan virus rabies pada pasiennya.
Pencegahan rabies pada manusia di Indonesia dengan pemberian vaksin yang berasal dari jaringan syaraf binatang pada umumnya dan kera pada khususnya hanya diberikan jika ada indikasi, karena kemungkinan timbulnya komplikasi yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan mempunyai angka kematian tinggi.
Pemakaian SAR dianjurkan pada pengobatan pasca terpapar sesuai dengan rekomendasi WHO Expert Committer on Rabies di Rabies Centrees.
Program diagnostik rabies penting dan diperlukan dalam rangka penaggulangan rabies. Pengujian vaksin rabies inaktivasi untuk menjamin keamanan pangan (inaktivasi) vaksin rabies. Penanganan vaksinasi hewan harus dilakukan dengan benar untuk menjamin keberhasilan vaksinasi.




DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN , Gunawan CA, dkk. 2006. Rabies dikutip dari BAB Tropik Infeksi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI : Jakarta
2. Calvarica. Rabies dikutip dari http://www.who.int/rabies/trs931_ %2006_05.pdf-who. 6 Januari 2010
3. Mahendrasari D. Penanganan dan Pencegahan Kasus Penyakit Rabies dikutip dari http://duniaveteriner.com/2009/05/penanganan-dan-pencegahan-kasus-penyakit-rabies/print-penangan dan pencegahan peny.rabies, 6 Januari 2010
4. Soedijar IL, Dharma DM, Review Rabies dikutip dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkzo05-20.pdf-review rabies, 6 Januari 2010
5. Suwarno. 2005 . Identifikasi Virus Rabies yang Diadaptasi pada Kultur Sel Neuroblastoma dengan Indirect Sandwich-ELISA dan Direct-FAT dalam Media Kedokteran Vol.21, No 1 dikutip dari http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-1-11.pdf-identifikasi virus, 6 Januari 2010
6. Briggs D, Bourhy H, Cleaveland S, et all. 2004 WHO Expert Consultation On Rabies First Report available from http://www. Cdc.gov/ncidod, 11 Januari 2010
7. Wafiatiningsih, Bariroh NR, Sulistiyono, Saptati RA. Penyakit Rabies di Kalimantan Timur dikutip dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/ publikasi/lokakarya/lkzo05-13.pdf-peny.rabies di kaltim, 6 januari 2010
8. Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies dikutip dari http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf-pencegahan dan pembrantasan rabies, 6 Januari 2010
9. Syailin, Rabies – Antara Bisnis, Edukasi dan Ancaman dikutip dari http://koranpdhi.com/buletin-edisi12/edisi12-rabies.htm-rabies antara bisnis, 10 Januari 2010
10. Anonymous. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/rabies-rabies indoskripsi, 9 Januari 2010
11. Makruf A. Rabies dan Penatalaksanaannya dikutip dari http://aswarmakruf.com/diagnosis-terapi/rabies-dan-penatalaksanaannya/index.html-rabies dan penatalaksanaannya, 10 Januari 20101
12. Anonymous. Rabies dikutip dari http://www.dszoo.com/forum/showthread .php?p=47-rabies dszoo, 10 Januari 2010
13. Vyas JM. Rabies dikutip dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/001334.htm--rabiesmedline plus, 11 Januari 2010
14. Anonymous, Rabies dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies-rabies wikipedia, 12 Januari 2010
15. Anonymous, Rabies (Aning Gila) dikutip dari http://medicastore.com/penyakit/225/Rabies_anjing_gila.html-rabies medicastore, 12 Januari 2010
16. Barlough JE, Scott Fred W, Rabies dikutip dari http://maxshouse.com/rabies.htm--rabies maxhouse, 12 Januari 2010
17. Adjid RMA, Sarosa A, Syafriati, Yuningsih, Oenyakit Rabies di Indonesia dan Pengembangan Teknik Diagnosisnya dikuti dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/wartazoa/wazo154-1.pdf--peny rabies dan pengembangan di indonesia