A. Laringospasme
1. Laringospasme paling sering disebabkan oleh stimulus iritatif terhadap jalan nafas selama dilakukannya tindakan anestesi. Stimulus noksius/beracun yang sering menyebabkan hal ini meliputi sekret, muntah, darah, inhalasi anestesi berbau tajam yang mudah menguap, penempatan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway, laringoskopi, stimulus nyeri perifer dan traksi peritoneum selama dilakukannya anestesi.
2. Refleks penutupan pita suara (plika vokalis), menyebabkan obstruksi glottis vokal ataupun parsial, dapat bermanifestasi pada kasus yang kurang berat melalui pernafasan seperti suara kokok ayam atau stridor dan bila kasus obstruksinya sempurna, melalui pola obstruksi “rocking” dari pernafasan. Pada keadaan ini, dinding abdomen meninggi seiring dengan kontraksi diafragma selama inspirasi, tetapi karena masuknya udara dihambat, dada terbenam atau gagal untuk mengembang. Selama ekspirasi, abdomen turun seiring dengan relakasasi diafragma dan dada kembali ke posisi aslinya. Dengan adanya obstruksi sempurna, maka ahli anestesi akan tidak akan mampu memventilasi pasien.
3. Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis yang dihasilkan akan menyebabkan hipotensi dan takikardi. Hipotensi, bradikardi dan aritmia ventrikular yang mengarah kepada henti jantung akan terjadi kecuali kalau patensi jalan nafas dikembalikan dalam beberapa menit. Anak-anak, karena kapasitas residual fungsionalnya masih kecil dan secara relatif konsumsi oksigennya tinggi, sebagian besar cenderung mengalami komplikasi ini.
4. Pengobatan. Tingkat anestesi yang dalam dan pemindahan stimulus (misal melalui suction, penarikan jalan nafas buatan atau menghentikan stimulasi perifer) dimana pemberian oksigen 100% dapat secara adekuat menghilangkan laringospasme. Bila laringospasme tidak dapat dihilangkan, tekanan positif berlanjut pada jalan nafas dengan sungkup yang pas dapat membebaskan spasme, dan bila tidak teratasi juga, dosis kecil suksinil kolin (misal 10-20 mg pada dewasa) akan merelaksasi otot-otot laring. Pasien harus diventilasikan dengan oksigen 100%, dan tingkat anestesi harus diperdalam sebelum stimulus noksius didapat atau pasien pasien dapat dibangunkan bila laringospasme terjadi saat baru terjadi.
B. Bronkhospasme
1. Refleks konstriksi bronkhiolar dapat diperantarai secara sentral, seperti pada asma, atau ini dapat pula merupakan respon lokal terhadap iritasi jalan nafas. Bronkhospasme sering terjadi pada obat anafilaktoid dan reaksi transfusi darah, apalagi pada perokok dan mereka dengan bronkhitis kronis. Seperti halnya laringospasme, bronkhospasme dapat diakibatkan oleh stimulus noksius seperti sekret atau intubasi endotrakheal.
2. Bronkhospasme dapat ditandai dengan wheezing yang khas (biasanya lebih jelas saat ekspirasi) dan ini disertai dengan takipneu dan dispneu pada pasien yang sadar. Pasien yang dianestesi dapat sulit untuk diventilasi karena compliance yang berkurang. Peningkatan yang nyata pada tekanan jalan nafas yang diperlukan untuk ventilasi dapat menyebabkan terjeratnya udara, hipoksemia, melemahnya aliran balik vena dan pengurangan output jantung.
3. Obat-obat penghasil histamin (misalnya morfin, d-tubokurarin, atrakurium atau metokurin) dan antagonis beta-adrenergik dapat mengeksaserbasi bronkhokontriksi.
4. Pengobatan.
a. Posisi endotracheal tube harus diperiksa dan ditarik secara cepat, sebagaimana stimulasi karina merupakan penyebab potensial.
b. Dalamnya tingkat anestesi sering mengakibatkan terjadi bronkhospasme kembali yang sering sekunder setelah “light anesthesia”. Ini dapat diselesaikan dengan agen inhalasi, tetapi agen intravena dapat diperlukan ketika ventilasi melemah secara signifikan. Ketamin memiliki manfaat untuk bronkhodilator melalui pelepasan katekolamin endogen, tetapi propofol atau barbiturat merupakan pilihan yang dapat diterima. Bila konsumsi oksigen melemah, konsentrasi oksigen yang diinspirasi harus ditingkatkan.
c. Bronkhodilator inhalasi telah membatasi absorpsi sistemik, yang dapat meminimalkan efek samping kardiovaskular. Bentuk nebulisasi dapat mengandung partikel besar, yang akan berdeposit ke dalam jumlah yang besar dalam saluran nafas dan jalan nafas atas. Dosis inhaler yang terukur (MDI) akan efektif bila digunakan secara tepat. Agen spesifik meliputi:
(1) Agonis beta-adrenergik, yang menstimulasi reseptor beta-2 pada otot polos bronkhial, menyebabkan bronkhodilatasi.
(a) Isoetharin (Bronkosol, 0,5 ml/2,5 ml dari salin q3-4h) memiliki selektivitas beta-2 yang paling rendah.
(b) Albuterol (Proventil atau Ventolin-MDI, 2 puff q4-6h) adalah beta-2 yang lebih seletif.
(c) Metaproterenol (Alupent-MDI, 2 puff q3-4h, atau nebulizer dengan 0,3/2,5 ml dari salin q4-6h) adalah lebih selektif dari pada isoetharin dan kurang selektif daripada albuterol.
(2) Steroid, Beclomethasone (Vanceril-MDI, 2 puff q6h) merupakan kortikosteroid inhalasi yang berguna pada asma bronkhial kronik. Obat ini tidak efektif pada eksaserbasi akut. Terjadi absorpsi sistemik yang kecil, dengan demikian mencegah efek samping seperti supresi adrenal.
d. Agen-agen intravena
(1) Simpatomimetik. Stimulasi reseptor beta-2 pada paru mengaktifkan adenilat siklase, meningkatkan tingkat siklik adenosin monofosfat (cAMP) intraselular, yang akan meneybakan relaksasi otot polos bronkhial.
(a) Epinefrin merupakan bronkhodialtor kuat. Pada dosis rendah (0,25-1,0 µg/menit) efek beta-2 yang menonjol, denagn peningkatan denyut jantung karena stimulasi beta-1. Pada dosis yang lebih tinggi, efek alfa menjadi utama, dengan peningkatan besar tekanan darah sistolik.
(b) Isoproterenol merupakan agonis beta nonselektif yang menyebabkan takikardi bergantung kepada dosis dan dengan perluasan lebih tinggi dibandingkan epinefrin dosis rendah.
(c) Terbutalin sulfat (0,25 mg SQ, yang dapat diulang dalam 15 menit tetapi totalnya tidak boleh lebih dari 0,5 mg dalam waktu 4 jam, merupakan agonis beta-2 selektif secara relatif, walapun ini akan menyebabkan takikardi pada beberapa pasien.
(2) Metilsantin (aminofilin, 5 mg/kg/30 menit IV awalnya, kemudian 0,5-1,0 mg/kg/jam). Mekanisme kerja teofilin masih kontroversial tetapi yang paling mungkin karena pelepasan katekolamin endogen. Ini juga meningkatkan konsentrasi cAMP intraselular melalui inhibisi/ penghambatan fosfodiesterase, menyebabkan bronkhodilatasi. Walaupun secara luas digunakan baik itu pada penyakit jalan nafas reaksi akut mapun kronik, obat ini mempunya rasio toksik-terapeutik yang amat sempit, dan metabolisme dapat berubah pada berbagai keadaan (misalnya meningkat karena merokok dan menurun karena beberapa antibiotik, usia, penyakit hati dan obat anestesi). Manifestasi keracunan termasuk mual, muntah, sakit kepala, gelisah, iritabilitas, hipotensi, takikardi,aritmia dan kejang.
(3) Kortikosteroid. Glukokortikoid iv (metilprednison [Solu-Medrol], 30-60 mg iv q6h) adalah berguna untuk asma eksaserbasi akut, sebagaimana obat ini mengurangi inflamasi dan menghambat pelepasan histamin dan metabolisme asam arakhidonat. Efek menguntungkan dapat dicapai beberapa jam, bagaimanapun, dan harus digunakan untuk melengkapi efek simpatomimetik.
e. Hidrasi dan humidifikasi yang adekuat dari gas yang diinspirasi akan meminimalkan inspisasi sekret dan memfasilitasi ventilasi. Bagaimanapun, aerosol ultrasonik bersifat iritasi dan dapat meningkatkan resistensi/ketahanan jalan nafas.
C. Aspirasi
Anestesi umum menyebabkan depresi refleks jalan nafas yang menjadi predisposisi bagi pasien untuk mengalami aspirasi. Aspirasi isi lambung karena muntah atau regurgitasi dapat menyebabkan bronkhospasme, hipoksemia, atelektasis, takipneu, takikardi dan hipotensi. Beratnya gejala bergantung kepada volume dan pH bahan lambung yang diaspirasi. Aspirasi dengan pH kurang dari 2,5 dan volume lebih dari 0,4 cc/kg disertai dengan peningkatan morbiditas. Kondisi yang menjadi predisposisi untuk mengalami aspirasi meliputi obstruksi saluran luar lambung, obstruksi usus halus, hernia hiatus simptomatis, kehamilan, obesitas berat dan pemberian makanan terbaru.
1. Bila muntah atau regurgitasi terjadi pada pasien yang dibius dimana jalan nafasnya tidak dilindungi dengan endotracheal tube, pasien harus diletakkan dalam posisi Tredelenburg untuk meminimalkan aliran pasif dari isi lambung ke dalam trakhea, kepala harus dibelokkan ke satu sisi, jalan nafas atas di suction dan endotracheal tube dipasang. Suction endotracheal tube sebelum memulai ventilasi tekanan positif untuk mencegah isi lambung masuk secara paksa ke dalam jalan nafas distal. Bukti aspirasi yang signifikan meliputi wheezing, penurunan compliance paru dan hipoksemia. Gas darah arteri dan sinar-X dada harus diperoleh, tetapi bukti radiologis berupa infiltrat dapat terlambat. Bronkhodilator seperti aminofilin atau agonis beta dapat berguna.
2. Aspirasi dari benda asing padat seperti gigi dan makanan dapat diketahui melalui bronkhoskopi dan kumbah lambung.
3. Aspirasi darah, kecuali bila volume besar, biasanya secara klinis ringan.
4. Antibiotik tidak diberikan secara rutin kecuali bila terdapat tanda-tanda infeksi bakteri.
5. Pewarnaan Gram dan kultur sputum harus dikerjakan setiap hari.
6. Pemakaian steroid dosis tinggi untuk pengobatan aspirasi masih kontroversial dan biasanya tidak dianjurkan.
7. Bila terjadi aspirasi yang signifikan, adalah harus dilakukan observasi tertutup pasca operasi di ruang rawat intensif. Ini meliputi oksimetri denyutan, gas darah arteri dan sinar-X ulangan. Intubasi dan ventilasi mekanik boleh jadi diperlukan.
D. Pneumothoraks
1. Etiologi. Pneumothoraks merupakan akumulasi gas di dalam rongga pleura. Hal ini dapat terjadi pada sejumlah keadaan berikut ini:
a. Ruptur spontan dari bleb dan bula.
b. Trauma tumpul atau trauma tembus dada.
c. Dilakukannya tindakan bedah ke dalam rongga pleura selama bedah thorak, abdomen atas atau retroperitonial; trakheostomi; atau bedah dinding dada atau leher.
d. Sebagai komplikasi dari tindakan seperti pemasangan kateter vena subklavia atau vena jugularis interna, thorakosintesis, perikardiosentesis dan blokade saraf interkostal.
e. Selama ventilasi tekanan positif memakai tekanan dan volume yang tinggi, mengakibatkan barotrauma dan ruptur alveolus. Pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis terutama sekali memiliki resiko tinggi.
2. Efek fisiologis dari pneumothoraks adalah sebagian besar merupakan fungsi volume gas dan tingkat pengembangan. Pneumothoraks minimal boleh jadi tidak memiliki efek kardiopulmonar yang signifikan, dimana salah satu yang lebih besar dapat mengakibatkan kolaps paru yang signifikan dan hipoksemia. Tension pneumothorax terjadi bila terdapat satu jalur kebocoran ke dalam rongga pleura, menyebabkan peningkatan tekanan intrapleura yang signifikan. Ini dapat mengakibatkan kompresi pembuluh darah besar dan pergeseran mediastinum dengan hipotensi dan pengurangan output jantung.
3. Diagnosa pneumothoraks dapat sulit dibuat. Tanda pneumothoraks meliputi wheezing, penurunan suara nafas, pengurangan compliance paru, peningkatan tekanan puncak inspirasi dan hipoksemia. Hipotensi menggambarkan adanya tension pneumothorax.
4. Pengobatan. Nitrat oksida tidak boleh berkesinambungan, dan pasien harus diventilasikan dengan oksigen 100%. Tension pneumothorax memerlukan evakuasi segera. Kateter berukuran besar (14-16 Gauge) dalam jarum suntik 10 ml dimasukkan pada ruang interkostal kedua atau ketiga pada garis midklavikular dan diaspirasikan untuk mengkonfirmasi adanya udara. Tube dada kemudian dipasang pada ruang interkostal delapan pada garis aksilaris posterior.
E. Iskemia miokard
1. Etiologi. Iskemia miokard diakibatkan karena ketidakseimbangan antara suplai dan konsumsi oksigen otot jantung (miokard), dan bila tidak tertangani dapat mengarah ke infark miokard.
2. Gambaran klinis
a. Pada pasien sadar, iskemia miokard bermanifestasi sebagai nyeri dada. Bagaimanapun, iskemia asimptomatis sering terjadi selama perioperatif, terutama pada pasien diabetes. Pada pasien dengan anestesi umum, instabilitas hemodinamik dan perubahan EKG dapat terjadi seiring dengan iskemia.
b. Perubahan EKG seperti depresi segmen ST lebih besar dari 1 mm atau gelombang T inversi dapat menunjukkan adanya iskemia subendokardial. Elevasi segmen ST terlihat seiring dnegan terjadinya iskemia miokard transmural. Perubahan segmen ST dapat pula terlihat bersamaan dengan abnormalitas elektrolit. Sadapan V5 merupakan sadapan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya iskemia (lihat Bab 10).
c. Indikator-indikator lain yang menunjukkan adanya iskemia meliputi:
(1) Hipotensi
(2) Perubahan tekanan pengisian sentral ataupun output jantung yang terdeteksi dengan kateter arteri pulmonal.
(3) Abnormalitas pergerakan dinding regional yang terdeteksi melalui echocardiografi transesofageal.
3. Pengobatan
a. Hipoksemia dan anemia harus dikoreksi hingga hantaran oksigen miokard menjadi maksimal.
b. Nitrogliserin (dimulai dengan 0,5µg/kg/menit iv atau 0,15 mg sublingual) mengurangi tekanan dan volume diastolik ventrikel melalui venodilatasi dan mengarah kepada penurunan kebutuhan oksien miokard. Apalagi, nitrogliserin dapat memperbaiki hantaran oksigen melalui dilatasi arteri koronaria.
c. Agonis beta-adrenergik (propanolol 0,5-1,0 mg dinaikkan iv atau esmolol 5-10 mg dinaikkan iv) menurunkan konsumsi oksigen miokard melalui penurunan denyut jantung dan kontraktilitas jantung.
d. Iskemia miokard yang muncul pada keadaan hipotensi bisa jadi memerlukan vasopresor seperti fenilefrin (10-30 µg/menit) atau norepinefrin (1-5 µg/menit) untuk memperbaiki tekanan perfusi miokard. Kedalam anestesi harus dikurangi dan volume intravaskular harus dioptimalkan.
e. Ketika iskemia miokard diakibatkan oleh berkurangnya output jantung yang signifikan dan hipotensi (syok kardiogenik), perlu dipakai inotropik positif seperti dopamin (5-20 µg/kg/menit) atau norepinefrin (5-15 µg/menit). Penempatan kateter arteri pulmonal diperlukan untuk menilai fungsi ventrikel dan respon terhadap terapi.
f. Balon intra aorta penghitung pulsasi pada akhirnya diperlukan untuk memperbesar output jantung (lihat Bab 23).
F. Emboli Pulmonal
Emboli pulmonal adalah obstruksi aliran darah pulmonal oleh trombus, udara, lemak dan cairan amnion.
1. Tromboemboli biasanya muncul dari sistem vena dalam pada pelvis dan ekstremitas bawah. Faktor predisposisi untuk perkembangannya yaitu dari stasis trombus dan dinding pembuluh darah yang abnormal. Keadaan yang berhubungan termasuk wanita hamil, trauma, karsinoma, istirahat di tempat tidur dalam waktu lama dan vaskulitis.
a. Pemeriksaan fisik hampir tidak dijumpai tanda yang khas dan termasuk gejala takhipneu dan takhikardi, dispneu, rales, spasme bronkhus dan demam.
b. Pemeriksaan laboratorium. EKG menggambarkan takhikardi yang tidak khas kecuali kalau embolisasi yang mengancam, mungkin dapat dijumpai seperti pada kasus deviasi aksis ke kanan, right bundle branch block (RBBB), perubahan gelombang T anterior. Foto thorak mungkin tidak memberikan gambaran yang spesifik kecuali kalau terjadi infark pulmonal. Pemeriksaan gas darah menunjukkan hipoksemia. Dengan emboli yang besar, volume tidal akhir karbon dioksida dapat menurun. Pada pasien yang dapat bernafas spontan, hipokapnia, dan alkalosis respiratori mungkin hasil dari peningkatan pernafasan. Diagnosis pasti ditegakkan dengan angiografi pulmonal.
c. Pengobatan intraoperatif yang dicurigai emboli pulmonal adalah secara suportif. Oksigenisasi yang adekuat. Pemberian heparin intra operatif atau terapi trombolitik biasanya bukan merupakan suatu pilihan untuk resiko perdarahan. Pada pasien yang terancam menderita hipoksia atau hipotensi, tindakan yang mungkin dilakukan berupa bypass kardiopulmonal dan embolectomi pulmonal.
2. Emboli udara terjadi ketika udara memasuki vena atau sinus vena. Hal ini paling sering terjadi selama operasi intracranial dalam posisi duduk, dimana sinus vena pada dural terus terbuka disebabkan oleh jaringan lunak. Emboli udara juga terjadi selama transplantasi hati, prosedur pembukaan jantung dan insulflasi yang berhubungan dengan laparoskopi.
a. Indikasi awal termasuk (untuk menurunkan sensitivitas) echocardiografi transesofageal, doppler precordial pada atrium kanan, menurunkan volume tidal akhir karbon dioksida, dan meningkatkan volume tidal akhir nitrogen.
b. Indikasi lanjutan termasuk peningkatan tekanan vena sentral, hipoksemia, hipotensi, ektopi ventrikular and “a mill wheel murmur”.
c. Ketika dicurigai emboli udara, pengobatan dimulai pembatasan masuknya udara tambahan dengan mengairi seluruh lapangan operasi dengan larutan salin atau mengubah posisi pasien sehingga tekanan vena meningkat. Jika terpasang kateter vena sentral, dia dapat mengaspirasi udara yang masuk agar dapat keluar. Nitrogen oksida harus dihentikan untuk mengurangi meluasnya ukuran gelembung udara yang masuk ke sirkulasi. Cairan dan vasopressor digunakan untuk mengstabilkan tekanan darah.
d. Penggunaan PEEP dalam penatalaksanaan emboli udara masih kontroversial. Alat ini akan membatasi masuknya udara dengan meningkatkan tekanan vena sentral tapi…
3. Emboli lemak terjadi setelah trauma atau pembedahan yang meliputi pembedahan tulang panjang, pelvis atau tulang iga.
a. Gambaran klinik. Tanda dan gejala awal adalah yang berhubungan dengan obstruksi mekanik dari sirkulasi pulmonal dan hampir sama dengan apa yang dijumpai pada tromboemboli. Pengeluaran asam lemak bebas mungkin berperan penting untuk mengurangi status mental, hipoksemia yang lebih jelek, globulus lemak dalam urin dan perdarahan seperti petechi.
b. Pengobatan secara suportif, dengan pengaturan kebutuhan oksigen dan ventilasi yang adekuat.
G. Tamponade Jantung
Akumulasi darah atau cairan lain dalam perikardium mungkin menyebabkan pengisian ventrikel yang adekuat dan menyebabkan pengurangan stok ke volume dan cardiac output. Bila terjadi peningkatan akumulasi secara cepat, akan terjadi kolaps kardiovaskular dalam hitungan menit.
1. Tamponade jantung mungkin berhubungan dengan :
a. Trauma Thoraks
b. Operasi jantung atau thoraks
c. Tumor pericardium
d. Pericarditis (akut karena virus, pyogenik, uremik, atau post radiasi)
e. Perforasi myocardium karena penggunaan Central Vein Catheter (CVC) atau katetar arteri pulmonalis.
f. Diseksi Aorta
2. Gambaran Klinis termasuk takikardia, hipotensi, distensi vena jugular, bising jantung dan penurunan tekanan nadi. Gambaran EKG menunjukkan perubahan elektrik dan gambaran low voltage. Dapat dijumpai pulsus paradoksus (peningkatan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi). Terdapat keseimbangan tekanan jantung kiri dan kanan yang tercermin pada gambaran tekanan vena sentral, ventrikel kanan, arteri pulmonalis, dan tekanan kapiler pulmonalis. Pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X mungkin menunjukkan gambaran jantung yang membesar. Echocardiogram digunakan sebagai diagnosa pasti.
3. Penatalaksanaan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil pada tamponade jantung adalah dengan melakukan pericardiosintesis. Volume intravaskular harus ditingkatkan dan dilakukan pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah. Jarum yang panjang ( contohnya, jarum spinal 22G) dimasukkan antara processus xiphoideus dan tepi costa kiri dan di tujukan langsung ke arah bahu kiri. Bila sadapan precordial pada EKG berhimpitan dengan penusukan jarum tadi, dapat terjadi trauma (ditandai dengan elevasi segmen ST), hal ini dapat diamati bila jarum mengenai epicardium. Jarum harus ditarik secara perlahan dan diaspirasi. Komplikasi perikardiosintesis yaitu pneumothoraks, laserasi arteri pulmonalis dan perforasi miokardium.
H. Hipertermia Maligna
1. Etiologi
Hipertermia Maligna merupakan suatu sindrom hipermetabolisme yang muncul pada pasien yang memiliki kerentanan secara genetis setelah paparan dengan obat anestesi sebagai faktor predisposisi. Obat anestesi yang menjadi faktor pemicu termasuk halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan succinylcholine. Sindrom ini diperkirakan terjadi karena penurunan pengambilan kembali Ca2+ oleh retikulum sarkoplasma yang dibutuhkan untuk menghentikan kontraksi otot. Oleh sebab itu, kontraksi otot terjadi terus-menerus, menyebabkan tanda hipermetabolisme, termasuk takikardia, asidosis, hiperkarbia, hipoksemia, dan hipertemia. Tanda pertama hipertemia maligna biasanya muncul di dalam ruang operasi tapi mungkin muncul terlambat sampai pasien berada dalam ruang perawatan pasca-anestesi (Recovery Room) atau bahkan saat pasien berada di ruangan pasca-operasi.
2. Gambaran Klinis
a. Takikardia dengan sebab yang tidak diketahui
b. Hiperkarbia atau takipneu pada pasien yang bernafas spontan
c. Asidosis
d. Kaku otot yang muncul dengan pemberian obat blok neuromuskuler. Spasme muskulus masseter setelah pemberian succinylcholine berhubungan dengan hipertermi maligna. Bagaimanapun, tidak semua pasien dengan spasme muskulus masseter akan berkembang menjadi hipertemi maligna.
e. Hipoksemia
f. Aritmia ventrikel
g. Hiperkalemia
h. Demam merupakan suatu penanda lambat
i. Mioglobinuria
j. Adanya perbedaan yang jelas pada kadar campuran karbon dioksida vena dan arteri dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosa hipertermia maligna.
3. Penatalaksanaan
a. Hentikan pemberian semua obat anestesi, dan lakukan hiperventilasi dengan memberikan oksigen 100%. Pembedahan harus diselesaikan secepat mungkin dan penggunaan mesin anestesi dihentikan bila memungkinkan. Merupakan suatu hal yang bijaksana untuk memanggil bantuan segera pada kasus yang diduga sebagai hipertermi maligna.
b. Pemberian Dantrolene (Dantrium) dengan dosis awal 2,5 mg/kg IV dan diulang sampai 10 mg/kg atau lebih, bila tanda hipertermia maligna menetap. Obat ini merupakan satu-satunya terapi spesifik pada hipertermi maligna. Kemanjuran obat ini disebabkan karena kemampuannya menghambat pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma. Tiap ampul mengandung 20 mg dantrolene dan 3 gm manitol dan harus diencerkan dengan 50 ml air steril (aquades).
c. Pemberian sodium bicarbonate harus disertai dengan pemeriksaan kadar gas arteri.
d. Hiperkalemia dapat dikoreksi dengan pemberian insulin dan glukosa. Bagaimanapun, hipokalemia mungkin muncul pada saat perbaikan kondisi hiperkalemia yang tidak terkontrol. Pemberian Calsium dihindari.
e. Aritmia secara umum akan menghilang dengan menurunnya fase hipermetabolisme dari hipertermi maligna. Aritmia yang menetap dapat diterapi dengan pemberian prokainamide.
f. Hipertermia diterapi dengan berbagai metode. Termasuk didalamnya dengan pemberian cairan intravena dingin, pencucian lambung, rektum dan vesica urinaria dengan menggunakan cairan NaCl 0,9% dingin, dan mendinginkan permukaan tubuh dengan menggunakan es. Bila hipertermi dengan suhu yang sangat tinggi dapat dilakukan pendinginan ektrakorporeal. Metode pendinginan harus dihentikan bila suhu tubuh telah mencapai 380C untuk menghindari hipotermia. Menggigil dapat dicegah dengan pemberian blok neuromuskuler jenis non-depolarisasi. Hal ini akan menyebabkan penguranan konsumsi oksigen sementara dilakukan peningkatan ventilasi.
g. Produksi urin harus dipertahankan 2 ml/kg/menit untuk mencegah kerusakan tubuler ginjal karena myoglobin. Dilakukan dengan mempertahankan tekanan pengisian sentral yang adekuat dan pemberian manitol dan furosemide.
h. Koagulasi intravaskuler disseminata dan nekrosis tubular akut mungkin muncul sebagai kejadian ikutan setelah episode akut hipertermi maligna. Oleh karena itu, terapi dantrolene harus dilanjutkan (1 mg/kg secara intravena atau peroral tiap 6 jam) dan observasi dilanjutkan pada ICU selama 48-72 jam setelah episode hipertermi maligna.
4. Anestesi pada pasien dengan hipertermi maligna- pada pasien yang beresiko tinggi.
a. Riwayat keluarga dengan masalah anestesi menunjukkan kemungkinan resiko pada pasien tersebut, seperti demam yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, atau kematian selama anestesi, harus diketahui pada setiap pasien.
b. Hipertermi maligna mungkin dicetuskan pada pasien yang rentan yang sebelumnya pernah terpapar dengan bahan pencetus.
c. Pemberian dantrolene sebagai pencegahan secara umum tidak direkomendasikan untuk mencegah hipertermi maligna pada pasien yang rentan. Bagaimanapun, obat – obat untuk mengatasi hipertermi maligna atau dantrolene harus tetap tersedia di kamar operasi.
d. Mesin anestesi harus disiapkan dengan mengganti absorbent karbondioksida dan tube gas yang bersih, memutuskan vaporizer, menggunakan alat bantu nafas disposibel, dan menggunakan oksigen 10 L/menit selama 5 menit.
e. Harus dipertimbangkan pemberian anestesi lokal atau regional, tetapi anestesi umum dengan bahan yang tidak mencetuskan hipertermi maligna dapat diterima. Obat yang aman untuk induksi dan maintenance untuk anestesi umum adalah golongan barbiturat. Propofol, benzodiazepine, narkotik dan NO. Obat untuk blok neuromuskuler dapat digunakan dan aman.
f. Monitor ketat tanda awal hipertermi maligna seperti hiperkarbia yang tidak diketahui sebanya atau takikardia penting untuk dilakukan.
5. Sindrom yang berkaitan dengan Hipertermi maligna. Peningkatan resiko hipertermi maligna telah dilaporkan berkaitan dengan sejumlah kelainan. Dalam sebagian besar kasus ini, hubungan yang pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, pasien dengan kelainan berikut harus diterapi sebagai pasien yang diduga rentan terhadap kejadian hipertermi maligna.
a. Duchenne Muscular Dystophy dan penyakit distrofi muskuler lainnya
b. Sindrom King-Denborough, ditandai dengan dwarfisme, retardasi mental, dan kelainan muskuloskeletal.
c. Penyakit Central-Core, merupakan suatu myopati yang langka.
d. Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) berkaitan dengan pemberian obat neuroleptik dan menunjukkan banyak gambaran hipertermi maligna.
- Gambaran Klinis. NMS khasnya berkembang setelah 24-72 jam dan secara klinis sama dengan gambaran hipertermi maligna, merupakan keadaan hipermetabolisme yang terdiri dari hipertermi, instabilitas sistem saraf otonom, kaku otot berat, dan rhabdomyolisis. Sering dijumpai peningkatan creatinin kinase dan transaminase hepa, mortalitas sekitar 30%.
- Terapi NMS dengan pemberian dantrolene, walaupun kekakuan otot juga dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepin, antagonis dopamin seperti bromocriptine dan relaksan otot non-depolisasi.
- Pemberian Obat-obat Anestesi
a. Hubungan yang sebenarnya antara NMS dan hipertermi maligna masih belum jelas. Walaupun pada beberapa pasien dengan riwayat NMS mungkin secara klinis beresiko mengalami hipertermi maligna, dan pendekatan konservatif mungkin dapat menjamin hal tersebut (contohnya, menghindari paparan terhadap bahan pencetus).
b. Pasien dengan NMS harus dimonitor secara tepat untuk memantau tanda-tanda hipertermi maligna selama pemberian obat anestesi (contohnya: suhu, kadar CO2 pada end tidal volume). Tanda-tanda ini jangan diberikan terapi dantrolene.
I. Reaksi Anafilaktik dan Anafilaktoid
1. Anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi yang mengancam jiwa. Hal ini dicetuskan oleh antigen yang berikatan dengan antibodi Ig E pada permukaan sel mast dan basofil, menyebabkan pelepasan bahan yang aktif secara farmakologis. Bahan ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin, kinin, faktor aktivasi trombosit, dan faktor kemotaktik dari reaksi anafilaktik.
2. Reaksi Anafilaktoid secara klinis mirip dengan reaksi anafilaktik, tetapi rekai ini tidak diperantarai oleh IgE dan tidak memerlukan proses sensitisasi terhadap antigen sebelumnya.
3. Gambaran klinis reaksi anafilaksis dan anafilaktoid diantaranya :
a. Urtikaria dan wajah memerah
b. Bronkospasme atau edema jalan nafas yang menyebabkan gangguan atau kolaps respirasi.
c. Hipotensi dan shock karena vasodilatasi perifer dan peningkatan permeabilitas kapiler.
d. Edema paru
4. Penatalaksanaan
a. Bila terjadi kolaps sirkulasi, hentikan pemberian obat anestesi.
b. Pemberian oksigen 100%. Lakukan penilaian terhadap kemungkinan diperlukan intubasi dan ventilasi.
c. Terapi hipotensi dengan meningkatkan volume intravaskuler menggunakan cairan saline seimbang (kristaloid), koloid atau keduanya.
d. Berikan epinefrin, 50-100µg iv. Pada keadaan kolaps kardiovaskuler berat, merupakan indikasi pemberian epinefrin 0,5-1.0µg iv, diikuti dengan pemberian dalam bentuk infus bila hipotensi menetap. Katekolamin lainnya, seperti norepinefrin atau isoproterenol mungkin dapat digunakan.
e. Steroid (hidrokortison, 250 mg-1 gr iv atau methylprednisolon 1-2 gr iv)
f. Anti histamin (diphenhydramine, 0,5-1 mg/kg iv) mungkin berguna sebagai terapi lini kedua.
5. Profilaksis terhadap reaksi hipersensitif obat
a. Antagonis H1. Diphenhydramine (0,5-1.0 mg/kg) malam sebelum dan pagi paparan.
b. Antagonis H2. Cimetidine (150-300 mg) atau Ranitidin (1-2 mg/kg) malam sebelum dan pagi paparan.
c. Kortikosteroid. Prednison (1 mg/kg atau 50 mg untuk dewasa) tiap 6 jam untuk 4 dosis sebelum paparan.
J. Resiko kebakaran atau terkena sengatan listrik di kamar operasi
1. Kebakaran di kamar operasi merupakan suati kejadian yang langka yang membutuhkan adanya sumber api, bahan bakar, dan bahan yang mudah terbakar.
a. Laser dan alat elektrokauter merupakan sumber api yang paling umum dijumpai.
b. Bahan bakar, termasuk alkohol, pelarut, kertas dan tirai, dan plastik atau bahan dari karet (termasuk pipa ETT). Tidak seperti dietil eter dan cyclopropane, zat anestesi inhalasi bukan merupakan bahan bakar.
c. Oksigen sejauh ini merupakan bahan pengoksidasi yang paling umum dijumpai., meskipun NO juga dapat, menyebabkan luka bakar. Bahan yang mudah terbakar sebagian di udara dapat menghasilkan kobaran api yang besar dengan tingginya konsentrasi oksigen. Oleh karena itu, penyediaan oksigen tambahan hanya dilakukan bila indikasi medis benar-benar dibutuhkan.
d. Pemadam api harus disiapkan pada seluruh ruangan tempat dilakukannya anestesi. Pemadam api dengan karbondioksida atau halon lebih efektif dalam menangani beragam jenis kebakaran tanpa menyebabkan kontaminasi sebagaimana yang terlihat pada penggunaan pemadam api yang kering. Selama kebakaran yang disebabkan oleh listrik, penting untuk diperhatikan untuk mencabut kabel yang menghubungkan ke sumber listrik.
2. Keamanan terhadap listrik
a. Trauma karena listrik yang terjadi bila sengatan listrik mengenai kulit yang intak dikenal dengan macroshock. Hal ini mungkin menyebabkan trauma termis, atau akan mengganggu fungsi fisiologis normal dan menyebabkan henti nafas atau jantung. Aliran yang mengandung arus 60 siklus/detik hampir setara dengan 1 mA. Aliran listrik dengan 10-20 mA menyebabkan kontraksi otot terus menerus menyebabkan keadaan “let go current”. Pada keadaan ini, aliran listrik menyebabkan seseorang tidak dapat melepas kabel listrik. Aliran listrik lebih dari 100 mA dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel.
b. Jalur listrik konvensional ditanam dalam tanah. Terdiri dari tiga kabel yang dikenal sebagai, kabel “panas”, “netral” dan “tanah”. Hal yang berbahaya dari jalur listrik adalah hubungan antara kabel “hot” dan bahan dari besi yang dapat menyebabkan syok jika seseorang menyentuh bahan tersebut dan tanah. Untungnya, kabel tanah yang intak memiliki aliran listrik dengan resistensi rendah bagi aliran listrik yang sedang berjalan, yang secara signifikan akan mengurangi aliran listrik yang mengalir ke kotak tersebut. Perhitungan keselamatan tambahan disediakan dengan memanfaatkan penggunaan jalur listrik yang tidak ditanam dalam tanah di ruang operasi. Sistem ini menggunakan alat pengubah yang akan mengisolasi kekuatan dari tanah. Pada sistem ini, seseorang harus menyentuh kedua konduktor secara bersamaan untuk menyebabkan syok. Pada jalur listrik yang tidak ditaman ke dalam tanah, sentuhan terhadap salah satu bagian tidak akan menyebabkan shock atau gangguan kekuatan aliran listrik. Kesalahan pertama secara sederhana dapat mengubah sistem. Semua peralatan akan berfungsi secara normal kembali. Integritas aliran listrik dimonitor dengan menggunakan monitor tersendiri. Alarm akan berbunyi bila terjadi kesalahan yang disebut “ground seeking current” dengan aliran listrik lebih dari 5 mA. Bila hal ini terjadi, bagian yang rusak dari peralatan tersebut harus dipindahkan karena serangan kedua dapat menyebabkan syok.
c. Microshock dapat terjadi bila aliran listrik secara langsung ke jantung. Kabel yang digunakan secara umum untuk guiding dan mencetuskan aliran listrik dapat menghasilkan aliran listrik langsung menuju jantung. Fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada aliran listrik dengan kekuatan 100 µA yang mengenai myocardium. Angka ini kurang dari 5 mA aliran listrik yang dibutuhkan sebelum alarm berbunyi. Oleh karena itu, monitor alarm tidak melindungi pasien dari mikroshock. Untuk meminimalkan mikroshock, semua peralatan harus diletakkan dengan tepat dengan steker cabang tiga, dan kabel yang berhubungan dengan pasien harus diisolasi dengan baik. Penggunaan baterai tidak menjamin isolasi terhadap aliran listrik.
d. Luka bakar karena peralatan bedah elektrik (Bovie) mungkin terjadi karena sentuhan ringan antara elektrode dan pasien, karena pemborosan kekuatan listrik sebanding dengan resistensi kulit. Pada keadaan ini, semua aliran listrik yang diletakkan di dalam tanah mungkin dapat digunakan sebagai alternatif lain untuk mengalirkan listrik, menyebabkan luka bakar pada tempat jauh dari elektrode. Resiko terjadinya luka bakar dapat diminimalisir dengan memastikan bahwa gel yang diletakkan pada elektrode adekuat, sehingga elektrode dapat ditempatkan dekat dengan lokasi pembedahan, dan pasien diisolasi dari jalur aliran listrik alternatif yang digunakan.
Sabtu, 06 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar