Sabtu, 06 November 2010

RABIES (tinjauan kepustakaan)



BAB I
PENDAHULUAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia. Rabies merupakan ensefalitis viral yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Masa inkubasi pada manusia sangat bervariasi dari beberapa hari sampai bertahun-tahun, tetapi biasanya 1-3 bulan. Rabies dapat digolongkan sebagai penyakit strategis, karena merugikan dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat. Distribusi rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya.1,7
Rabies ditularkan oleh gigitan hewan (anjing) dan virus dapat disebarkan oleh beberapa jenis kelelawar. Virus rabies dapat ditemukan di dalam kelenjar air liur setelah anjing terinfeksi virus rabies selama 3 - 8 minggu. Pada umumnya gigitan serigala lebih berbahaya dari pada gigitan anjing, karena air liur carnivora liar mengandung lebih banyak hyaluronidase, suatu enzim yang dapat meningkatkan permeabilitas jaringan dan virulensi virus. Air liur banyak mengandung virus terutama bila gejala klinis sudah terlihat, tetapi kadang-kadang dalam beberapa hari virus sudah ada dalam air liur sebelum nampak gejala klinis.4
Virus dengan konsentrasi tinggi pada air ludahnya biasanya ditemukan pada hewan yang menderita penyakit ini. Infeksi rabies pada hewan ditandai dengan kebiasaan hewan mencari tempat yang dingin diikuti dengan sikap curiga dan menyerang apa saja yang ada disekitarnya, hipersalivasi, paralisis dan menyebabkan kematian. Sedangkan gejala rabies pada manusia yang mencolok berupa rasa takut air (hydrophobia) dan gejala-gejala encephalitis.4

Virus rabies dapat ditemukan didalam kelenjar air liur setelah anjing terinfeksi virus rabies selama 3-8 minggu. Pada umumnya gigitan serigala lebih berbahaya dari pada gigitan anjing, karena air liur carnivora liar mengandung lebih banyak hyaluronidase, suatu enzim yang dapat meningkatkan permeabilitas jaringan dan virulensi virus. Air liur banyak mengandung virus terutama bila gejala klinis sudah terlihat, tetapi kadang-kadang dalam beberapa hari virus sudah ada dalam air liur sebelum nampak gejala klinis.2


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi Rabies 1

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus neurotropik dan bersifat fatal. Penyakit ini bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan pada manusia lewat gigitan atau melalui luka yang terkena air liur hewan yang terinfeksi oleh virus rabies.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain penyakit ini ialah hydrophobia, la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwutt (Jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit ”anjing gila”.

2.2 Etiologi Rabies 1,2,3,4,6,15
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotrop dan memiliki ukuran 100 - 150 mikron. Genus Lyssavirus terdiri dari 11 jenis virus yang secara antigenik mirip virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus rabies, Mokola, Duvenhage dan European bat Lyssavirus. Virus rabies mempunyai inti yang terdiri dari asam nukleat RNA saja yang bersifat genetik. Inti tersebut dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid. Kombinasi inti dan kapsid disebut nukleokapsid. Diluar nukleokapsid ada kapsomer yang terdiri dari satuan molekul protein dan diluarnya terdapat “envelope” yang pada permukaannya terdapat spikules (spikes). Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing thawing yang berulang, cukup stabil pada pH 5-10 serta peka terhadap suhu pasteurisasi dan sinar ultra violet.
Secara garis besar partikel virus rabies mengandung 2 tipe antigen utama, yaitu :
a. Glikoprotein
Antigen ini berperan dalam hal bertautnya virus ke permukaan sel yang ”susceptible”, juga mengandung antigen yang membentuk ”serum neutralizing antibody”, yang memberikan proteksi terhadap virus rabies.
b. Antigen ribonukleoprotein
Antigen ini membentuk komplemen ”fixing antibody” dan ”Immunofluorescence antibody”.

2.3 Epidemiologi Rabies
Infeksi rabies pada manusia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dengan gejala hidrofobia. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan dapat ditemukan pada mikroskop elektron pada tahun 1960.
Distribusi rabies tersebar diseluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku, dan Irian Jaya.
Jumlah kematian di dunia akibat infeksi rabies pada manusia diperkirakan lebih dari 50.000 orang tiap tahun dan terbanyak pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Insiden infeksi rabies di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan sebanyak 538 orang dari 86.000 kasus gigitan hewan tersangka rabies.

2.4 Patogenesis dan Patologi 1,2,6,11,15

Infeksi rabies pada manusia biasanya terjadi melalui gigitan atau kontak saliva binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dengan luka pada host. Setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh manusia, virus menetap selama 2 minggu pada tempat masuk dan jaringan otot di sekitarnya. Virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus kemudian memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan merupakan reseptor asetilkolin post sinaptik pada neuromuscular junction pada susunan saraf pusat. Virus menyebar dari saraf perifer secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan sara pusat melalui cairan serebrospinal. Virus menyebar di otak secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, pankreas.
Virus ini menyebabkan gangguan pada susunan saraf pusat atau yang biasa disebut ensefalomielitis akut (radang yang mengenai otak dan medula spinalis). Virus rabies dapat bersembunyi dengan baik dari sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan tidak adanya perkembangan respon kekebalan tubuh sehingga tubuh sulit untuk melawan. Berdasarkan teori, air liur pada jaringan getah bening dan luka kecil yang terbuka dapat menjadi jalan masuknya virus. Virus akan berpindah dari tempatnya setelah gigitan, masuk melalui saraf-saraf menuju ke medula spinalis dan otak, dimana mereka berkembang biak dengan cepat dan menyebar ke beberapa tempat di otak. Otak mengalami peradangan dan beberapa fungsi sistem saraf pusat menjadi rusak. Selanjutnya, virus akan berpindah lagi melalui saraf menuju ke beberapa jaringan tubuh termasuk kulit, kelenjar getah bening dan kelenjar ludah. Penyakit ini berlanjut ke arah paresis atau paralisis (kehilangan atau gangguan fungsi motorik yang disebabkan oleh lesi mekanisme saraf atau otot).

2.5 Gejala Klinis Rabies 1,2,10,11,12,13,14,15

Masa inkubasi virus rabies biasanya berlangsung selama 3-8 minggu, hanya 1% yang terjadi selama 9 hari dan 7 tahun. Masa inkubasi sangat bergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka, jarak luka dari otak, junmlah dan strain virus yang masuk, perlindungan pakaian dan faktor-faktor lain. Masa inkubasi biasanya paling singkat pada orang yang digigit di kepala atau daerah yang tertutup pakaian atau bila gigitan terdapat di banyak tempat. Masa inkubasi yang lebih lama terjadi pada individu prepubertal.
Secara teoretis, gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu;
1. Stadium prodromal
Berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia dan nafsu makan menurun. Stadium prodromal dapat berlangsung sampai 10 hari.
2. Stadium neurologi akut
Stadium ini dapat berupa gejala furious atau paralitik. Gejala furious dapat berupa penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Selang waktu beberapa jam - hari, gejala hiperaktif menjadi intermitten setiap 1-5 menit berupa periode agitasi, ingin lari, menggigit, diselingi periode tenang. Gejala lain dalam fase neurologik akut adalah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal nafas yang disebabkan oleh kontraksi hebat otot-otot pernafsan atau keterlibatan pusat pernafasan dan miokarditis, aritmia, dan henti jantung akibat stimulasi saraf vagus.
3. Stadium koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif.

2.6 Pemeriksaan laboratorium1

Fase awal dari penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan darah yaitu kadar hemoglobin normal sampai sedikti menurun pada perjalanan penyakit, leukosit antara 8000-13.000/mm3 dengan 6-8% monosit yang atipik, namun jumlah leukosit yang lebih tinggi (20.000-30.000/mm3) juga sering dijumpai, sedangkan jumlah trombosit biasanya normal.
Pemeriksaan urinalisis dijumpai albuminuria dengan peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dijumpai gambaran ensefalitis, peningkatan leukosit 70/mm3, tekanan cairan serebrospinal dapat normal atau meningkat, protein dan glukosa meningkat. Pemeriksaan Electro Encephalograph (EEG) dijumpai secara umum gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan paroksismal spike.
Pemeriksaan adanya neutralizing antibody dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Fluorescent Antibodies Test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, bahkan setelah tekhnik isolasi virus tidak berhasil. Pemeriksaan standar di Amerika Serikat adalah dengan Rapid Fluorencent Focus inhibition Test (RFTT). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil akan diperoleh dalam 48 jam. Negri bodies yang khas untuk penyakit rabies dapat ditemukan pada 71-90% penderita, bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik di dalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologi biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies.

2.7 Diagnosis Banding Rabies 1

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.
Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidrofobia.
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillian Barre, transverse myelitis, Japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis, atau ensefalitis post vaksinasi.

2.8 Penatalaksanaan Rabies 6
Pembersihan luka dan imunisasi yang dilakukan sesegera mungkin setelah penderita atau tersangka kontak dengan binatang dan mengikuti rekomendasi WHO, dapat mencegah timbulnya rabies pada hampir 100% dari eksposur. Pengobatan untuk mencegah rabies yang dianjurkan tergantung pada kategori kontak:
• Kategori I: menyentuh atau memberi makan hewan tersangka, tetapi kulit yang utuh
• Kategori II: minor goresan tanpa pendarahan dari kontak, atau menjilat pada kulit rusak
• Kategori III: satu atau lebih gigitan, goresan, pukulan pada kulit rusak, atau kontak lainnya yang menghancurkan kulit, atau paparan kelelawar
Vaksin anti-rabies diberikan untuk kategori II dan III. Immunoglobin atau antibodi anti-rabies harus diberikan untuk kategori III, atau untuk orang dengan sistem kekebalan yang lebih lemah.
Ketika manusia curiga terhadap binatang, usaha-usaha untuk mengidentifikasi, menangkap hewan tersebut harus dilakukan segera. Pengobatan pasca terpapar harus dimulai segera dan berhenti jika binatang adalah anjing atau kucing yang tetap sehat setelah 10 hari. Hewan yang dikorbankan atau mati harus diuji virus, dengan hasil yang dikirim ke pelayanan kesehatan hewan bertanggung jawab dan pejabat kesehatan masyarakat sehingga situasi di daerah ini didokumentasikan dengan baik.
Imunisasi menurut WHO dalam pencegahan terhadap rabies bertujuan memastikan tersedianya perawatan yang efektif bahkan di negara-negara berkembang yang memiliki pasokan vaksian yang sedikit. Staf kesehatan harus terlatih dan vaksin harus disimpan secara tepat untuk efektivitas.
Penanganan yang dilakukan bagi seseorang yang digigit hewan penderita rabies harus cepat dan sesegera mungkin, hal tersebut bertujuan untuk mengurangi efek virus rabies yang masuk ke tubuh melalui luka gigitan :
1. Usaha yang paling efektif untuk dilakukan adalah dengan segera mencuci luka gigitan dengan air bersih dan sabun atau detergen selama 5 – 10 menit dibawah air mengalir atau diguyur lalu keringkan dengan kain yang bersih.
2. Luka diberi antiseptik ( obat luka yang tersedia misalnya betadin, obat merah, alkohol 70 %, yodium tincture atau lainnya), lalu dibalut dengan pembalut yang bersih.
3. Penderita luka gigitan harus segera di bawa ke dokter, puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk medapatkan pengobatan sementara maupun perawatan lebih lanjut, sambil menunggu hasil observasi hewan tersangka rabies.
4. Walaupun sudah dilakukan pencucian luka gigitan, penderita harus dicuci kembali lukanya dipuskesmas atau rumah sakit.
5. Luka gigitan dibalut longgar dan tidak dibenarkan dijahit, kecuali pada luka yang sangat parah. Jika keadaan terpaksa dilakukan penjahitan, maka harus diberikan serum anti rabies ( SAR ) sesuai dosis, selain itu dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian vaksin anti tetanus maupun antibiotik dan analgetik.5
Pemberian vaksin anti rabies ( VAR ) disertai dengan serum anti rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dibawah ini :
1. Anamnesis :
● Kontak atau jilatan atau gigitan
● Kejadian didaerah tertular atau terancam atau bebas
● Didahului tindakan provokatif atau tidak
● Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
●Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies
● Penderita luka gigitan pernah di VAR, kapan?
● Hewan yang menggigit pernah di VAR , kapan?
2. Pemeriksaan fisik :
● Identifikasi luka gigitan ( status lokalis )
3. Lain-lain :
● Temuan pada waktu observasi hewan
● Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
● Petunjuk WHO
Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun sehingga orang yang beresiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.8


2.9 Komplikasi Rabies 1

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya komplikasi penyakit rabies timbul pada stadium koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra kranial, kelainan pada hipotalamus dengan manifestasi berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas, hormon antidimetik. Disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung juga mungkin terjadi.

2.10 Prognosis1,9
Penyakit rabies merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan ditakuti karena bila telah menyerang manusia atau hewan maka selalu berakhir dengan kematian. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.

2.11 Pencegahan Rabies
Cara penanganan dan pencegahan pada kasus zoonosis ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang bekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya.5
Pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara :
1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara dengan baik dapat diserahkan pada dinas peternakan atau para pecinta hewan.
2. Mendaftarkan anjing ke kantor kelurahan atau desa atau petugas dinas peternakan setempat.
3. Virus rabies dapat dicegah pada hewan dengan vaksinasi secara rutin 1 – 2 kali setahun tergantung vaksin yang digunakan oleh dinas peternakan, pos kesehatan hewan atau dokter hewan praktek.
4. Semua anjing atau kucing yang potensial terkena divaksin setelah umur 12 minggu lalu 12 bulan setelahnya divaksin untuk 3 tahun tiap 3 tahun. Vaksin inaktif diberikan pada kucing.
5. Penangkapan atau eliminasi anjing, kucing dan hewan lain yang berkeliaran di tempat umum dan dianggap membahayakan manusia.
6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing dan hewan yang dicurigai menderita rabies.
7. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies.
8. Menempatkan hewan didalam kandang, memperhatikan serta menjaga kebersihan dan kesehatan hewan.
9. Setiap hewan yang beresiko rabies harus diikat atau dikandangkan dan tidak membiarkan anjing bebas berkeliaran.
10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2 meter bila tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.
11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui dijalan.
12. Daerah yang sudah bebas rabies harus mencegah masuknya anjing, kucing atau hewan sejenisnya dari daerah yang tertular rabies.
13. Pada area yang terkontaminasi dilakukan desinfeksi menggunakan 1 : 32 larutan pemutih pakaian untuk menginaktifkan virus dengan cepat.5


2.12 Tindakan Terhadap Orang yang Digigit atau Dijilat Oleh Hewan Yang Tersangka Atau Menderita Rabies

1. Apabila terdapat informasi ada orang yang digigit anjing atau dijilat oleh hewan yang tersangka rabies harus segera dibawa ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan luka.
2. Apabila dianggap perlu, orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera dikirim ke unit kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies
3. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis maupun laboratories dari Dinas Peternakan, maka orang yang menjadi korban harus segera mendapat pengobatan khusus di unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies.
4. Apabila hewan yang menggigit itu dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka orang digigit atau dijilat tersebut harus segera dikirim ke unit kesehatan yang mempunyai fasilitas anti rabies.3

2.13 Tindakan Terhadap Hewan Tersangka atau Menderita Rabies

Apabila ada informasi hewan tersangka rabies atau menderita rabies, maka Dinas Peternakan harus melakukan penangkapan atau membunuh hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dimusnahkan apabila tidak ada pemiliknya.3

2.14 Kegunaan Vaksin Rabies 3

Manfaat dari vaksin rabies adalah untuk mengendalikan penyakit rabies, mengusahakan agar hewan yang peka terhadap rabies kebal terhadap serangan virus rabies. Untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar populasi hewan harus dikebalkan melalui vaksinasi.
Pelaksanaan vaksinasi dapat berhasil dengan baik apabila tersedia vaksin dengan kualitas bermutu dan tersedia dalam jumlah cukup. Untuk menjawab tantangan ini pusat veterinaria farma (PUSVETMA) telah berhasil memproduksi vaksin rabivet dengan kualitas baik dan murah.
Untuk memperoleh vaksin rabivet dengan kualitas bermutu dan murah telah diadakan suatu rekayasa pembuatan media dan cloning virus sehingga diperoleh virus yang cocok untuk tumbuh pada media yang baru. Dibandingkan dengan vaksin rabivet maka vaksin rabivet supra 92 mempunyai kandungan protein yang jauh lebih rendah yaitu 2 mg/ml. Dengan turunnya kandungan protein diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis dan tidak menimbulkan rasa sakit pada suntikan. PH vaksin juga menunjukkan kestabilan yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan PH tubuh.
Hasil uji potensi vaksin tersebut dibandingkan dengan vaksin impor (rabisin) menurut metode National Institute Health (NIH) menunjukkan hasil yang sama dengan relatif potensi sebesar 1,2. Hasil uji dalam bentuk garis regrasi dari kedua jenis vaksin tersebut ternyata memperlihatkan garis linear yang hampir sejajar.
Upaya yang dilakukan PUSVETMA tidak hanya meningkatkan mutu vaksin yang dihasilkan tetapi juga kapasitas produksi pertahun juga ditingkatkan. Peningkatan kapasitas produksi dilakukan dengan melengkapi peralatan yang ada, penggunaan alat yang efisien dan penguasaan teknik produksi.
Vaksin rabivet supra 92 produksi PUSVETMA dapat dipertanggung jawabkan untuk dipakai dalam pengendalian penyakit rabies di Indonesia sebab mempunyai potensi baik, stabil dan efek samping rendah.


Kelebihan vaksin rabivet yaitu :
1. Rabivet tidak mengandung jaringan saraf dan kandungan proteinnya lebih rendah sehingga efek samping berupa alergi dan paralisa non spesifik sangat dikurangi.
2. Mudah di produksi secara besar-besaran.
3. Harga satuan lebih rendah.
4. Pencemaran lingkungan dan resiko tersebarnya virus sangat rendah.
5. rabies mempunyai masa kekebalan yang lebih lama.


BAB III
KESIMPULAN

Kematian yang merupakan prognosa dari rabies seharusnya memaksa para dokter untuk memperlakukan korban gigitan lebih intensif karena pernah ada laporan korban yang sembuh akibat gigitan hewan penular rabies.
Dokter saraf harus memperhitungkan rabies sebagai diagnosa banding dan mencari kemungkinan paparan virus rabies pada pasiennya.
Pencegahan rabies pada manusia di Indonesia dengan pemberian vaksin yang berasal dari jaringan syaraf binatang pada umumnya dan kera pada khususnya hanya diberikan jika ada indikasi, karena kemungkinan timbulnya komplikasi yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan mempunyai angka kematian tinggi.
Pemakaian SAR dianjurkan pada pengobatan pasca terpapar sesuai dengan rekomendasi WHO Expert Committer on Rabies di Rabies Centrees.
Program diagnostik rabies penting dan diperlukan dalam rangka penaggulangan rabies. Pengujian vaksin rabies inaktivasi untuk menjamin keamanan pangan (inaktivasi) vaksin rabies. Penanganan vaksinasi hewan harus dilakukan dengan benar untuk menjamin keberhasilan vaksinasi.




DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN , Gunawan CA, dkk. 2006. Rabies dikutip dari BAB Tropik Infeksi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI : Jakarta
2. Calvarica. Rabies dikutip dari http://www.who.int/rabies/trs931_ %2006_05.pdf-who. 6 Januari 2010
3. Mahendrasari D. Penanganan dan Pencegahan Kasus Penyakit Rabies dikutip dari http://duniaveteriner.com/2009/05/penanganan-dan-pencegahan-kasus-penyakit-rabies/print-penangan dan pencegahan peny.rabies, 6 Januari 2010
4. Soedijar IL, Dharma DM, Review Rabies dikutip dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkzo05-20.pdf-review rabies, 6 Januari 2010
5. Suwarno. 2005 . Identifikasi Virus Rabies yang Diadaptasi pada Kultur Sel Neuroblastoma dengan Indirect Sandwich-ELISA dan Direct-FAT dalam Media Kedokteran Vol.21, No 1 dikutip dari http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/MKH-21-1-11.pdf-identifikasi virus, 6 Januari 2010
6. Briggs D, Bourhy H, Cleaveland S, et all. 2004 WHO Expert Consultation On Rabies First Report available from http://www. Cdc.gov/ncidod, 11 Januari 2010
7. Wafiatiningsih, Bariroh NR, Sulistiyono, Saptati RA. Penyakit Rabies di Kalimantan Timur dikutip dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/ publikasi/lokakarya/lkzo05-13.pdf-peny.rabies di kaltim, 6 januari 2010
8. Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies dikutip dari http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf-pencegahan dan pembrantasan rabies, 6 Januari 2010
9. Syailin, Rabies – Antara Bisnis, Edukasi dan Ancaman dikutip dari http://koranpdhi.com/buletin-edisi12/edisi12-rabies.htm-rabies antara bisnis, 10 Januari 2010
10. Anonymous. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/rabies-rabies indoskripsi, 9 Januari 2010
11. Makruf A. Rabies dan Penatalaksanaannya dikutip dari http://aswarmakruf.com/diagnosis-terapi/rabies-dan-penatalaksanaannya/index.html-rabies dan penatalaksanaannya, 10 Januari 20101
12. Anonymous. Rabies dikutip dari http://www.dszoo.com/forum/showthread .php?p=47-rabies dszoo, 10 Januari 2010
13. Vyas JM. Rabies dikutip dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/001334.htm--rabiesmedline plus, 11 Januari 2010
14. Anonymous, Rabies dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies-rabies wikipedia, 12 Januari 2010
15. Anonymous, Rabies (Aning Gila) dikutip dari http://medicastore.com/penyakit/225/Rabies_anjing_gila.html-rabies medicastore, 12 Januari 2010
16. Barlough JE, Scott Fred W, Rabies dikutip dari http://maxshouse.com/rabies.htm--rabies maxhouse, 12 Januari 2010
17. Adjid RMA, Sarosa A, Syafriati, Yuningsih, Oenyakit Rabies di Indonesia dan Pengembangan Teknik Diagnosisnya dikuti dari http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/wartazoa/wazo154-1.pdf--peny rabies dan pengembangan di indonesia

0 komentar:

Posting Komentar