Artikel ini membahas dasar farmakologik untuk memahami aksi terapeutik dari obat, faktanya untuk mereka pada penggunaan secara kombinasi. Fokusnya adalah prinsip terapi kombinasi yang perlu digaris bawahi secara umum, termasuk contoh dari penyakit lain dibandingkan dengan chronic obstructive pulmonary disease(COPD). Aspek farmakodinamik dari kerja obat yang diperlihatkan, dengan menekan pada temuan baru yang dimengerti dari interaksi reseptor obat dan dari obat yang sama. Farmakokinetik dan drug –induce perubahan adaptif pada reseptor dan jalannya signal cel adalah yang diringkas, menekankan pada yang lebih penting terhadap terapi kombinasi yang potensial yang bertujuan pada kerja obat yang panjang. Suatu organisasi dengan kerangka kerja untuk tiga perbedaan yang mendekati terapi kombinasi adalah yang diusulkan; rasio molekuler untuk tiap pendekatan adalah dijelaskan bersama dengan contoh klasik dari penyakit lain. Dan kemudian mereka mengaplikasikan terhadap terapi kombinasi pada COPD adalah yang dibicarakan. Terakhir, terminology untuk independen dan efek interaktif dari kombinasi obat adalah yang didiskusikan, dan menghasilkan analisis kwantitatif dan visual yang memperlihatkan efek dari obat kombinasi adalah sebagai pendahuluan. Prinsip dasar yang diulangi dimana menyediakan fondasi farmakologik untuk artikel berikutnya pada bahasan ini dimulai kombinasi pada dasar penggunaan utuk COPD, dan poin mereka novel yang strategis untuk potensi dimasa yang akan datang didapatkan dengan terapi kombinasi pada COPD.
Kata kunci: desentisisasi; kurva dosis-respon; interaksi reseptor-obat; farmakodinamik; farmakokinetik; sinergis
Sebuah perusahaan pada prinsip dasar farmakologi menangani kerja dari seluruh obat merupakan hal-hal yang perlu dimengerti efek dari terapi kombinasi untuk chronic obstructive pulmonary disease(COPD). Kerja spesifik dari obat yang digunakan pada terapi kombinasi yang terutama harus dipahami, tapi mereka berkera secara individual adalah sebagai subjek yang di modifikasi dengan adanya kedua obat tersebut. Kerja baru yang unik bisa terjadi hanya dengan terapi kombinasi dan tidak dengan obat yang diberikan masing-masing. selanjutnya didapat pada lapisan yang lain yang complek. prinsip dasar yang lebih penting dari farmakologik adalah hal-hal yang perlu dimengerti pada terapi kombinasi adalah diperlukan disana, bersama dengan organisasi baru untuk bermacam-macam rasio : digunakan obat kombinasi dan suatu penjelasan yang singkat dari terminology dan metode analitik merupakan hal-hal yang perlu dimengerti oleh individu dan efek interaktif dari obat yang digunakan pada terapi kombinasi.
Batasan farmakologi adalah dibagi dalam dua area : farmakokinetik, yang mana setuju dengan lebih aman mendapatkan kwantitas yang baik dari obat aktif pada lokasi yang baik untuk kwantitas yang baik pada saat yang tepat; dan farmakodinamik , yang disetujui dengan pengertian efek dari obat di samping kerjanya (1-3). Alternatifnya, farmakodinamik mempunyai deskripsi sebagai studi dari “ apakah obat bisa bekerja pada tubuh” dan farmakokinetik sebagai suatu studi dari” apakah reaksi tubuh untuk obat.” Kedua farmakokinetik dan farmakodinamik menyediakan target penting dan rasion untuk penggunaan terapi kombinasi.
FARMAKODINAMIK : KERJA OBAT PADA SITE TARGET.
Aspek Dasar Dari Kerja Obat
Reseptor pada obat. Efek awal dari semua obat adalah dihubungkan oleh interaksi dengan reseptor spesifik, tiap pengklasifikasian reseptor terhadap hormone, neurotransmitter, dan factor pertumbuhan, atau tidak menklasifikasikan reseptor obat meskipun demikian menurut hukum dari interaksi reseptor obat (2,3). Interaksi reseptor obat bisa secara umum dijelaskan dari persamaan [RD]=[RT]X[D]/(KD+[D]), dimana [RD]adalah konsetrasi dari reseptor obat yang komplek, [RT] konsentrasi reseptor total, [D] adalah konsetrasi dari bebas obat(tidak melewati reseptor), dan KD keseimbangan yang konstan terhadap selisih dari yang bebas obat D terhadap bebas reseptor R untuk bentuk D komplek, di definisikan oleh reaksi R+D = RD. bentuk yang sama dari persamaan yang digunakan pada penjelasan radioligand bisa lebih dekat : B=BmaxxF/(KD+F), dimana B adalah konsentrasi dari bound ligand, Bmax adalah angka total dari jumlah yang mengikat , padalah konsentrasi obat yang bebas , dan KD adalah keseimbangan yang konstan terhadap selisih reaksi. Kedua dari persamaan pada daerah clasik hiperbolik kurva respon dosis ketika data diplot dengan konsentrasi bebas obat dan klasikal sigmoid kurva respon dosis ketika diplot dengan log dari konsentrasi bebas obat. Pada tiap plot, nilai KD adalah konsentrasi dari obat sebanyak 50% dari maksimal komplek reseptor obat. KD adalah ukuran dari adfinitas dari obat terhadap reseptor (atau dari reseptor untuk obat), kecilnya KD nilai yang di perlihatkan dengan afinitas yang tinggi dan besarnya KD nilainya memperlihatkan adfinitas yang rendah. Keduanya dari plot menyatakan saturasi dari reaksi yang lebih luas dari nilai yang terbatas dari reseptor yang ada terhadap interaksi obat.
Reseptor yang dihubungkan dengan reseptor obat. Poin akhir dari dalam terhadap pengobatan COPD atau penyakit lain adalah seluler atau efek klinis yang dihasilkan untuk formasi dari suatu resepor obat yang komplek, tidak ada interaksi untuk reseptor obat itu sendiri. Pada kasus yang sederhana , efek dari suatu obat terhadap reseptor adalah secara langsung proporsional terhadap konsentrasi dari RD komplek, dan persamaan terhadap efek obat adalah secara esensial identik terhadap pengikatan terhadap reseptor. Secara matematikal, E+EmaxXD/Ka+D), dimana E adalah efek dari konsentrasi obat D,Emax adalah efek maksimal ketika semua dari reseptor adalah diduduki oleh obat aktif, dan Ka adalah konsetrasi dari obat memberi sebagian dari respon maksimal dan definisi potensi obat . pada kasus yang sederhana, potensi obat terhadap pencetus suatu respon adalah identik terhadap afinitas terhadap pengikat reseptor ; biasanya, ini bukan kasus yang biasa.
Agonis dan antagonis. Obat-obatan yang meningkatkan kerja reseptor ketika mereka dibentuk dari RD komplek adalah agonis. Pengikat obat tapi bukan alter reseptor teraktivasi adalah antagonis. Walaupun antagonis bukan alter pada awal aktivasi dari reseptor, meskipun demikian bisa menghasilkan laporan pada efek klinis yang lebih penting, karena pemilikan dari reseptor daerah yang terjepit bisa dicegah dengan agonis endogen terhadap peningkatan aktivasi reseptor. Ketiga kelompok obat dan reseptor aktif dengan cara yang sama dengan agonis tapi gagal menyebabkan respon maksimal, ketika obat sudah cukup memperlihatkan semua kedudukan reseptor. Obat-obatan adalah dari sebagian agonis , dan tambahan pada peningkatan reseptor aktifasi adalah termasuk “keefektifan”. Keefektifan dari agonis parsial adalah didefinisikan pada hubungan respon maksimal yang mungkin atau respon terhadap riwayat obat terhadap reseptor, obat yang dihubungkan dengan agonis sepenuhnya terhadap perbedaan dari agonis parsial. Agonis lengkap memilki keefektifan dari 1; antagonis mempunyai keefektifan dari 0;dan agonis parsial memiliki keefektifan yang lebih besar dari 0 tapi tidak mungkin 1. Agonis parsial dengan keefektifan yang rendah secara frekuensi sama seperti antagonis pada penggunaan klinis. Sebagai contoh. Beberapa β-adrenergik antagonis , seperti pindolol, agonis parsial dan kadang-kadang dinilai memilki aktivitas simpatomimetik intrinsic. Hal itu penting untuk perbandingan potensi adalah suatu ukuran dari kwantitas dari obat yang dikeluarkan terhadap suatu respon yang diberikan secara umum, dimana keefektifan adalah ukuran dari besaran dari respon yang dikeluarkan dari obat; parameter yang lebih besar dari tiap yang lainnya.
Konsep Yang Ditemukan Pada Kerja Obat Dan Teori Reseptor
Kesulitan pada respon dan interaksi reseptor obat. Penilaian secara sederhana pada satu obat terhadap awal yang tunggal dari reseptor untuk merangsang respon tunggal langsung secara proporsional untuk itu pengikatan terhadap reseptor adakalanya lengkap pada laboratorium. Hal itu terutama valid ketika satu reseptor spesifik memberi efek adalah poin akhir yang diukur, seperti G protein aktivasi untuk reseptor G-protein-coupled atau transkiptional aktivasi dari suatu gen yang spesifik untuk reseptor steroid. Hal itu sekarang diketahui, biasanya reseptor memilki multiple active diawalnya bisa dikirim melalui signal yang multiple, membuat reseptor aktivasi yang lebih komplek. Juga, pada studi klinik dan pada praktek medical, ukuran poin akhir adalah secara menyeluruh banyak step distal untuk menentukan interaksi reseptor obat , setelah signal complex trandusen cascade dan mekanisme respon. Pada kasus berikut, efek akhir dari obat adalah tinggal determinan oleh pengikat reseptor itu, tapi kedua obat bersifat seluler atau potensi klinis dan seluler dan keefektifan klinis yang dipamerkan hubungan kerjanya lebih komplek terhadap fraksi dari reseptor yang ditempati oleh obat aktif. Beberapa orang dari factor kunci di kontribusi berbeda antara reseptor simple yang dimiliki dan respon obat yang dihubungkan dengan reseptor obat yang actual adalah lebih baik disana, bersama dengan oportuniti mereka bisa memperlihatkan untuk yang baru terhadap terapi kombinasi COPD.
Aktivitas dasar dan kebalikan dari agonis. Hal itu sekarang memilki ketetapan yang kuat untuk reseptor yang bisa dipamerkan merupakan aktivitas konstitutif dan respon aktif seluler pada saat hilang dari suatu ligand aktif. Walaupun fenomena dimana pertama dinilai untuk dimutasi atau reseptor yang lebih dan sangat cepat pada system sel isolasi , dimana bukti dukungan yang relevan pada sistemt fisiologik yang lebih dan beberapa yang patologis (4-6). Temuan pada bagian yang lebih besar untuk mengarah ke konsep reseptor bisa dikeluarkan pada suatu konformasi inaktif (biasanya diperlihatkan oleh (R) atau suatu konformasi aktif(R*) dan agonis ligand yang stabil yang R* konformasi oleh selisihnya. Yang lebih luas yang mana agonis bisa juga diantara R inaktif dari receptor dan berjalan secara aktif di konversi ke R* aktif yang sudah ditetapkan. Pada tiap kasus, efek dari agonis adalah meningkatkan fraksi dari reseptor pada R* aktif dan meningkatkan reseptor signal mediasi.
Identifikasi dari ketetapan reseptor aktif yang cepat untuk realisasi banyak obat sebelumnya untuk antagonis dapat secara actual menurunkan aktivitas kontitutif dari receptor. Meraka bukan antagonis sederhana dengan efek dari diri mereka kecuali utuk mencegah agonis terhadap pengikatan dan aktivasi reseptor, tapi kemudian mereka dimana kebalikan dari antagonis, kemampuan obat dari receptor dan jalannya signal pada daerah yang berlawanan terhadap agonis klasik. Yang perlu dimengerti dari kebalikan antagonis adalah mereka kurang istimewa untuk bentuk R inaktif dari reseptor dan kestabilan pada jalan yang sama keistimewaan agonis kurang dan bentuk R* stabil. Lebih lanjut, hanya agonis parsial penyebab hilangnya daripada aktivasi penuh dari reseptor saat dengan yang memiliki reseptor penuh, dimana juga kebalikan agonis parsial tidak sepenuhnya mencegah bentuk dari R* saat dengan reseptor yang dimiliki sepenuhnya. Penjelasan untuk efek parsial adalah obat-obatan bisa berkurang dan stabil keduanya R dan R* konformasi untuk bentuk yang lebih. Full agonis secara primer pengikatan dan stabil bermula dari R* , cukup kebalikan agonis secara primer kurang dan stabil bermula dari R, dan akhirnya spectrum antara yang ekstrim adalah di tempati oleh agonis parsial , antagonis dan kebalikan antagonis parsial. Efek kwalitas seperti keefektifan dari obat, dengan nilai rata-rata dari 1 untuk semua agonis terhadap 1 untuk kebalikan agonis. Pada model berikutnya , hanya kebenaran antagonis adalah komponen dengan suatu keefetifan intrinsic dari persisnya nol.banyak obat menggunakan antagonis seperti untuk yang diperlihatkan pada beberapa agonis parsial atau aktivitas kebalikan agonis parsial; biasanya pada praktek klinis , banyak dari yang bisa secara signifikan berbeda dari pengklasifikasian antagonis. Untuk terapi COPD, hal itu penting untuk pertimbangan kemungkinan beberapa dari patologi yang lebih luas dari reseptor aktif, beberapa dari efek yang dikeluarkan obat dapat dihubungkan oleh kebalikan agonis lainya dibandingkan antagonis yang sederhana, dan obat baru dengan kebalikan aktivitas agonis sebagian tujuan terapeutik.
Multiple aktif yang sesuai dari reseptor. Cerita dan penjelasan dengan konsep yang sama penting adalah banyak reseptor bisa dipamerkan secara multiple aktif yang sesuai, tiap dari yang bisa berhubungan dengan perbedaan efektor terhadap modifikasi aktif dari perbedaan alur target signal untuk efek yang berbeda. Obat-obatan bisa kurang untuk dan variasi stabil dalam menentukan yang sesuai., membuat hal itu mungkin menjadikan obat untuk target hanya suatu subset dari efek dihubungkan oleh reseptor. Mungkin karakteristik yang baik contoh dari konsep ini dimodifikasi dari respon ekstrogen yang selektif, seperti tamoxifen dan raloxifene, dimana pengikatan reseptor estrogen tapi seperti antagonis untuk efek reseptor estrogen lainnya. perbedaan elemen respon estrogen pada DNA adalah secara khusus aktif atau inaktif oleh perbedaan reseptor estrogen yang sesuai, diperoleh suatu perbedaan set dari gen untuk diekspresikan pada respon untuk setiap obat, pada akhirnya mereka semua menggunakan reseptor yang sama (7,8). Itu terlihat sepeti reseptor glukokortikoid dan elemen respon sama seperti fenomena yang dipamerkan dan pemilihan bentuk respon glukokortikoid dengan selektif dapat menjadi penting untuk reseptor estrogen, dengan tujuan meningkatkan spesifitas dari efek yang dilaporkan.
Sebangun dengan multiple aktif yang sesuai dasar yang di perlihatkan untuk reseptor G-protein-coupled, dengan perbedaan kesesuain aktifati protein G yang berbeda dan perbedaan alur jalannya signal . pada kasus dari reseptor G protein-coupled, konsep ini kadang kadang kembali seperti “signal peringatan”,dengan perbedaan ligand termasuk respon reseptor berbeda dengan jalan signal intraseluler (9,10);”sesuai agonis selektif “ adalah diusulkan untuk masukan yang lebih. Konsep baru menyediakan peluang untuk monoterapi dengan kisah yang sesuai- obat selektif. Tambahan yang paling mungkin adalah terapi kombinasi target interkonfrensi yang di dapat diantara bentuk dasar yang aktif, dengan satu obat seperti activator dan control obat lainnya mungkin dari reseptor yang sesuai dinginkan untuk obat terhadap pengikatan dan kestabilan.
Level sifat reseptor dan reseptor cadangan. Karena dari aplikasi signal bisa terjadi pada banyak tahap pada jalannya signal yang diaktifkan oleh reseptor dan karena factor lain dibandingkan konsentrasi dari reseptor obat yang komplek bisa hilang pada respon terakhir, maksimal seluler atau respon klinik adalah yang diperoleh dengan konsentrasi obat yang menjauh terhadap pencapaian maksimal reseptor yang dimiliki. Ini dilaporkan pada fenomena yang berulang seperti “ reseptor cadangan “ (jadi dimasukan karena cel memiliki reseptor yang lebih dibandingkan kebutuhan respon maksimal) atau” reseptor cadangan “(karena beberapa sel bisa hilang dari reseptor dan tinggal pemeliharaan penuh yang responsive) bagian reseptor cadangan pada kurva dosis respon terhadap efak obat di sebelah kiri , menampilkan curva terhadap pengikatan obat terhadap reseptor. konsentrasi dari obat yang di berikan sebagian memberikan respon yang maksimal pada konteks ini biasanya dikembalikan seperti EC50 (konsentrasi yang efektif adalah 50% respon ), karena itu adalah suatu factor yang komplek dengan banyak variable dibandingkan dengan yang konstan. Rasio dari EC50 sampai KD terhadap selisihnya adalah digunakan sebagai indicator kwantitatif dari kelebihan reseptor cadangan. Kunci hasil dari hubungan kerja adalah keefektifan seluler atau klinis dari perubahan obat pada suatu komplek dengan jalan seperti angka dari perubahan reseptor (contoh karena dari dasar penyakit atau drug-induce kelebihan regulasi atau kurangnya regulasi dari reseptor atau kelompok untuk jalannya signal). Pada umumnya, peningkatan angka dari peningkatan reseptor terhadap respon yang maksimal pada hilangnya dari reseptor cadangan tapi bagian kurva dosis respon ke kiri (lebih berpotensi, dibawah nilai EC50) yang diperlihatkan pada reseptor cadangan (jumlah reseptor asli cukup siap untuk respon maksimal). Secara berlawanan menurun pada angka lead reseptor terhadap daerah yang lebih besar pada kurva respon dosis (menurunkan potensi, meningkatkan nilai EC50)jika disana ada reseptor cadangan; biasanya, seperti jumlah dari reseptor menjadi terbatas factor untuk jalannya efek, respon maksimal juga mulai menurun. konsep ini mungkin disediakan untuk terapi kombinasi, dengan kedua obat yang digunakan untuk meningkatkan atau menurunkan ekspresi dari resptor adalah target utama obat. Dimana konsepnya juga relevan diambil untuk meningkatkan regulasi dan menurunkan regulasi dari ekspresi reseptor bisa terjadi pada respon untuk kronik obat yang terpapar, dibicarakan pada yang berikutnya.
FARMAKOKINETIK : JALANNYA OBAT DAN LAMA KERJANYA
Prinsip farmakokinetik adalah secara luas didalam empat komponen : (1) absorbsi, (2)distribusi, (3)metabolism, (4) pengeluaran (1). Sebelum suatu obat bisa mencapai cel target dan reseptor untuk efek mediasi, hal itu akan diabsorbsi secara efektif dan kemudian didistribusikan sesuai dengan kebutuhan dari kerjanya. Kedua obat untuk terapi kombinasi dapat dijumpai obat yang bisa di absorbs dengan baik, selebihnya dari absorbs, atau didistribusi dari obat pertama yang lebih efektif untuk kausa yang diinginkan pada poin terakhir. Kedua bagian obat bisa digunakan sebagai target efek dari obat pertama sesuai denngan kerja yang diinginkan, tanpa obat kedua memilki kerja dari dirinya sendiri. Metabolism dan eliminasi dari obat bisa menurunkan kwantitas atau lamanya kerja obat dan kedua obat untuk terapi kombinasi yang dapat menurunkan Metabolism dan eliminasi dari obat pertama . pada kasus , kedua obat tidak berefek langsung pada poin kwantitas akhir. Tapi hanya meningkatkan konsentrasi yang efektif dari obat pertama yang aktif pada target terapetik.
Perubahan Adaptif Pada Reseptor Dan Jalannya Signal Seperti Target Terhadap Terapi Kombinasi
Reseptor obat dan jalannya signal yang dihubungkan dengan satu kesatuan, tapi lebih dari itu adalah subjek untuk perubahan yang adaptif pada banyak pilihan. Dengan konstan atau menampilkan obat-obat agonis, receptor bisa dibawah desensitisasi pada ability mereka untuk mengurangi ligand mereka atau untuk asal signal pada respon terhadap ligand. Mekanisme multiple adalah yang dimasukan, dan waktu untuk mulai mengembalikan tiap komponen dari perubahan menyeluruh pada respon bisa berbeda. Modifikasi kovalen dari reseptor atau molekul signal lainnya adalah sering dimasukan dan secara khusus menjadi lebih cepat. Dengan pengobatan yang lebih lama, banyak reseptor dibawah internalisasi dalam vesikel endositotik atau redistribusi terhadap kompartemen seluler lain, seperti dalam kecepatan keluar dari caveola atau lemak, dimana asesibilitas untuk ligand atau kemampuan mereka untuk menghantarkan signal mungkin berbeda. Dengan waktu pemaparan yang panjang, dimana sering menurun pada jumlah total dari reseptor karena dari degradasi yang ditingkatkan, penurunan sintesis, atau keduanya. Penurunan pada jumlah reseptor adalah seperti menurunya regulasi , walaupun juga bisa untuk fungsi desensitisasi. Arus kerja difokuskan pada mekanisme multiple terhadap pengambilan regulasi dari reseptor G protein–coupled, dengan 2-adrenergic receptor adalah target dari obat reseptor yang luas dengan karakteristik terbaik (11). Banyak tipe lain dari reseptor adalah subjek untuk perubahan adaptif yang sama dengan aktivasi kronik, walaupun molekuler detil yang spesifik adalah berbeda. Kebalikannya, obat blok atau menurun aktivitas reseptor adalah seperti reseptor yang di induce meningkatkan regulasi atau meningkatkan kapasitas signal, seperti maintenance homeostatic dari level yang sesuai dari sensitivitas dan responsive. Perubahan adaptif mungkin pada riwayat ini untuk terapi kombinasi. Sebagai contoh, kedua obat dapat digunakan untuk menurunkan desensitisasi dari respon pertama obat dan lama kerja obat pertama. Pilihannya, obat kedua mungkin digunakan di tingkat international untuk meninduce secara selektif desensitisasi atau menurunkan regulasi dari reseptor obat pertama,
khususnya, kedua obat, mungkin obat pertama mempunyai kerja yang lebih. banyak usaha menempatkan temuan yang bisa dimengerti dari mekanisme dari desensitisasi reseptor, dan kerja ini pada suatu hari terhadap terapi kombinasi dengan satu obat untuk respon yang berbeda dan obat kedua membantu respon pemeliharaan.
RASIO TERHADAP TERAPI KOMBINASI
Rasio klinis terhadap terapi kombinasi
Dari terapi secara klinis yang hilang, disana mungkin hanya dua rasio yang menggunakan obat kombinasi. Pertama dan lebih nyata adalah untuk memperoleh efek terapetik yang sama seperti yang diperoleh hanya dengan satu obat, tapi dengan menghilangkan efek yang baru atau membatasi dosis toksisitas. Kemungkinan, terapi kombinasi yang ideal didapatkan hasil dari keduanya(12). secara kontras dua rasio klinis yang sederhana, dimana adalah suatu range yang lebih besar dari dasar farmakologi yang menggunakan kombinasi dari dua obat lebih baik dibandingkan obat tunggal. Kombinasi dua obat targetnya bermacam-macam mekanisme terhadap semua aspek dari kerja obat, seperti didiskusikan pada yang lebih detil pada bagian berikutnya.
Rasio Mechanistic terhadap kombinasi obat:
Pada Organizational Framework
Overview. Untuk diskusi berikut nya rasio famakologi untuk terapi kombinasi di bagi kedalam 3 pendekatan umum.Harus ditekan kan bagaimana pun hal ini tidak di klasifikasikan secara tegas,karena banyak kombinasi obat memiliki kerasionalan yang beragam dan mekanisme interaksi dan tidak jatuh pada 1 kelas tunggal.Rangka kerja organisasi ini mungkin berguna sebagai penuntun untuk memahami kombinasi – kombinasi obat dan sebagai stimulus untuk memacu pendekatan baru menggunakan strategi kombinasi.
Obat-obat Kombinasi Kelas 1 : Penjelasan Rasional dan Contoh.
Kombinasi kelas 1 meliputi 2 (atau lebih) obat yang memiliki target berbeda dari penyakit. Hal ini mungkin jelas lebih rasional dengan menggunakan kombinasi obat, Karena banyak penyakit diketahui terdiri sari banyak komponen atau banyak faktor. Hal yang mungkin dijumpai pada terapi kombinasi dimana obat A dan obat B bekerja spesifik secara terpisah; namun mereka memiliki efek interaksi dalam semua status perkembangan kesehatan pasien. Hipertensi adalah penyakit dengan multikomponen yang diterapi dengan obat kombinasi kelas 1, yang meliputi obat-obat yang bekerja pada jaringan atau organ yang berbeda. Terapi hipertensi mencakup beberapa kombinasi diuretic yang bekerja pada ginjal untuk mengurangi volume darah; vasodilator yang bekerja secara langsung pada sel otot polos pembuluh darah; agonis adrenergic α-2 yang bekerja sentral untuk mengurangi aktivasi system simpatis; inhibitor ACE yang bekerja pada endotel untuk mengurangi kadar angiotensin; dan antagonis adrenergic yang bekerja pada jantung untuk mengurangi kontraktilitas myocardium dan pada ginjal untuk menghamabat pelepasan rennin.
Terapi Kombinasi Kelas 1 pada PPOK.
Obat-obat dalam kombinasi kelas 1 merupakan pendekatan umum dalam terapi PPOK, karena PPOK dikenal secara luas sebagai penyakit multikomponen. Satu kasus PPOK bisa membutuhkan beberapa terapi kombinasi. Obat-obat kombinasi kelas 1 yang jelas pada PPOK adalah penggunaan agonis β-2 ditambah kortikosteroid. Efek terapi utama agonis β-2 adalah bronkhodilatasi dengan aktivasi reseptor β-2 pada sel otot polos. Sebaliknya, efek terapi utama kortikosteroid adalah mengurangi inflamasi, terutama dengan menghambat keja sel-sel radang dan mediator inflamasi. Penggunaan antagonis muskarinik bersama dengan kortikosteroid merupaka contoh lain yang serupa dengan obat-obat kombinasi kelas 1, dengan antagonis muskarinik yang bekerja mengurangi bronkhokonstriksi. Aspek lain dari terapi kombinasi adalah bahwa masing-masingnya mencakup 1 agen dasar yang bekerja pada aspek akut penyakit (agonis-β atau antagonis muskarinik) dan 1 agen yang bekerja dalam jangka waktu lama pada perkembangan penyakit (kortikosteroid), dan tiap-tiapnya mengandung 1 agen untuk penyembuhan gejala simtomatik (bronkhodilator) dan 1 obat yang mungkin memodifikasi penyakit (Kortikosteroid antiinflamasi). Mekanisme tambahan dan tipe sel target juga terlibat dalam efek ketiga kelompok obat, yang banyak dibicarakan dalam isu ini. Ada suatu kebutuhan obat-obat tambahan untuk target lain dalam mengobati PPOK, yang dapat digunakan dalam bentuk kombinasi lain dengan obat-obat yang disebutkan sebelumnya. Aspek PPOK yang bukan target efektif langsung adalah produksi atau sekresi mukus dan batuk, dan remodelling struktur saluran nafas yang muncul dalam perjalanan penyakit pasien dan bersifat ireversibel.
Obat-obat Kombinasi Kelas 2: Penjelasan Rasional dan Contoh.
Obat-obat Kelas 2 mencakup banyak kombinasi obat yang bekerja pada komponen tunggal penyakit dan sering dengan tipe sel tunggal atau bahkan pada jalur respon tunggal pada tipe sel tertentu , namun dengan tempat kerja yang berbeda. Target spesifik ini menyebabkan efek yang lebih besar atau berkurangnya berkurangnya dosis obat dan berkurangnya toksisitas. Pada beberapa kasus, penggunaan 1 jenis obat lebih aman, namun tidak cukup efektif. Pada kasus lain, obat-obat dengan efek yang cukup efektif tersedia, namun efek samping dan toksisitas dapat mencegah penggunaannya pada dosis efektif. Pada kasus lain, kombinasi 2 jenis obat yang efektif poin akhir sementara mencegah toksisitas. Terdapat banyak pendekatan dalam kombinasi obat-obat dalam kelas ini, sebagaimana diilustrasikan dengan contoh tipikal selanjutnya.
Suatu contoh penggunaan 2 obat untuk memperoleh respon yang lebih baik daripada penggunaan obat tunggal, dimana kedua obat memiliki tempat dan cara kerja yang mirip, misalnya pada penyakit Parkinson. Levodopa adalah prekrusor obat yang dapat diubah menjadi dopamin, dan digunakan bersama dengan bromokriptin, agonis reseptor dopamin yang bekerja langsung pada reseptor yang sama. Antibiotik Kotrimoksazole menggunakan 2 jenis obat yang bekerja dengan cara yang berbeda pada jalur yang sama untuk menimbulkan penghambatan yang lebih besar daripada penggunaan obat secara tunggal. Cotrimoksazole adalah kombinasi antara obat Sulfametoksazole yang memblok sintesis asam folat dengan menghambat dihydropteroat synthetase, dan Trimetoprim, yang bekerja pada tahap akhir sintesis nukleotida dengan menghambat dyhidrofolat reduktase.
Kemoterapi pada kanker memberikan banyak contoh penggunaan kombinasi obat untuk meningkatkan efek terapi dan mencegah toksisitas yang terjadi akibat dosis zat tertentu, dimana secara teoritis cukup sitotoksik untuk membunuh sel kanker sendiri. Satu regimen terapi mengkombinasikan Cisplatin, yang pada dosis tertentu menyebabkan nefrotoksisitas; Etoposide atau Vinblastine, yang pada dosis tertentu menyebabkan supresi sumsum tulang belakang; dan Bleomisin, yang pada dosis tertentu menyebabkan toksisitas pulmonal. Pada kasus ini, obat-obat tersebut juga memiliki mekanisme sitotoksisitas yang berbeda terhadap sel kanker, yang menyerang penyakit melalui berbagai jalur dan juga mencegah kerusakan sel-sel non-kanker.
Suatu varian terapi kombinasi kelas 2 adalah dengna menggunakan obat kedua untuk mengurangi efek tunggal, spesifik dan efek lain yang tidak diinginkan dari obat obat pertama. Pada kanker prostat, agonis GnRH, seperti Leuprolide, digunakan secara kronik untuk mengurangi reseptor GnRH, sehingga menghambat stimulasi Testosteron. Antagonis reseptor Androgen, Flutamide digunakan sebagai kombinasi awal pada terapi untuk memblok meningkatnya testosteron yang muncul pada sebelumnya akibat penggunaan leuprolide, pada periode sebelum reseptor GnRH menurun. Contoh lain adalah penggunaan Diuretik Hemat kalium seperti Spironolakton, bersama dengan Tiazid, menurunkan jumlah kalium yang dileluarkan melalui urin yang dapat timbul pada penggunaan obat Tiazid tunggal.
Pendekatan obat kelas 2 yang lain adalah penggunaan obat kedua untuk menurunkan kerja yang berlebihan pada obat pertama, yang membuatnya lebih efektif. Pada Diabetes tipe 2, inhibitor α-glukosidase, acarbose menurunkan absorbsi glukosa dari saluran pencernaan, menurunkan kadar glukosa plasma daripada obat yang lain seperti sulfonil urea glipizid atau insulin injeksi, harus mengalami metabolisme atau penyimapanan. Mirip dengan hipertensi, inhibitor ACE seperti kaptopril menurunkan angiotensin II sehingga antagonis angiotensin seperti losartan menghilangkan kadar angiotensin II yang telah berkurang.
Obat-obat Kombinasi Kelas II Pada PPOK
Penggunaan kombinasi bronkodilator merupakan salah satu contoh kombinasi obat kelas II untuk mengobati PPOK. Agonis β-2, antagonis muskarinik dan theofilin bekerja pada komponen bronkokonstriksi PPOK, bekerja pada otot polos saluran pernapasan, dan meningkatkan cAMP sebagai komponen kunci mekanisme tersebut. Agonis β dan antagonis muskarinik bekerja memasukkan protein G terhadap enzim adenilklase, tetapi agonis β bekerja meningkatkan input stimulasi oleh protein Gs, sementara antagonis muskarinik bekerja menurunkan input hambatan oleh protein Gi. Kedua kelompok obat menggunakan reseptor dan protein G yang berbeda, namun menggunakan jalur yang sama dari adenilklase yang menyebabkan bronkodilatasi.
Kombinasi theofilin dengan agonis β dapat terlihat dimana teofilin menurunkan beban kerja agonis β, karena teofilin mencegah penghancuran cAMP yang dibentuk sebagai respon dari stimulasi agonis β. Dari perspektif yang lain, penggunaan bronkodilator lain dengan teofilin memberikan suatu pendekatan untuk menurunkan teofilin yang dibutuhkan, dengan demikian mencegah efek samping yang signifikan yang muncul pada dosis teofilin yang tinggi. Meskipun kemampuan mereka untuk memodulasi cAMP banyak diterima sebagai cara keja zat-zat ini, yang juga mungkin keuntungan menggunaka kombinasi obat-obat ini muncul dari efek tambahan yang tidak diketahui yang mungkin berbeda bila hanya menggunakan obat-obat tersebut secara terpisah.
Obat-obat Kombinasi Kelas 3: Rasional Dan Contoh
Obat-obat kombinasi kelas 3 mencakup satu obat yang berguna bila digunakan tunggal namun tidak cukup efektif atau terlalu toksik, dan obat kedua yang tidak memiliki aktivitas yang sama seperti obat pertama dan tidak memiliki efek yang berguna, namun dapat meningkatkan efektivitas obat pertama melalui mekanisme farmakokinetik atau farmakodinamik. Perlu diketahui bahwa obat-obat yang meningkatkan efek ini memodulasi tidak hanya dengan meningkatkan respon terhadap obat yang aktif namun juga durasi kerja obat aktif dengan tipe kerja yang berpotensi terapi.
Antibiotik Augmentin mengkombinasikan suatu obat aktif dengan suatu inhibitor untuk degradasinya: inhibitior β laktamase klavulanat utnuk mencegah bakteri yang menginaktifasikan obat amoksisilin yang aktif. Pendekatan lain adalah dengan menggunakan obat kedua utnuk mengubah distribusi jaringan atau sel dari obat aktif pertama dicontohkan oleh Sinemed (karbodipa dan levodopa), kombinasi yang digunakan pada penyakit parkinson.tujuna terapi adalah untuk meningkatkan kadar dopamin di otak dengan mengubah levodopa menjadi dopamin oleh enzim dopa-dekarboksilase di otak. Enzim ini di perifer dapat memetabolisme levodopa menjadi dopamin, menurunkan jumlah levodopa yang dibawa ke otak (dopamin tidak dapat melewati sawar darah otak) dan meningkatkan efek samping ddopamin pada jaringan di luar sawar darah otak. Karbidopa adalah inhibitor dopa-dekarboksilase pada perifer dan secara tidak langsung bekerja pada aktivitas levodopa di otak.
Obat-obat Kombinasi Kelas 3 Pada PPOK
Tidak ada contoh penemuan obat kombinasi kelas 3 pada terapi PPOK saat ini. Meskipun efek lain dapat berperan pada terapi PPOK. Kortikosterod tidak menyebabkan bronkodilatasi secara langsung, mereka meningkatkan ekspresi reseptor β-2, yang berpotensi meningkatkan efek agonis β-2. terdapat beberapa pertanyaan apakah kortikosteroid dapat mencegah desentisisasi yang dicetuskan oleh agonis dan berkurangnya reseptor β-2 dan efek ini bisa bervariasi dengan tipe sel dan jaringan atau dengan polimorfisme spesifik. Berubahnya ekspresi reseptor β dan desentisisasi ini bukan penjelasan rasional untuk kombinasi obat-obat ini, tetapi efek-efek ini berperan dalam dalam hal efektivitas kombinasi obat.
Terdapat adanya manfaat dalam kerja beberapa obat yang digunakan terapi tunggal pada kombinasi obat kelas 3 dengan mediator endogen. Teofilin dalam terapi tunggal dapat meningkatkan cAMP, mungkin kerjanya yang meningkatkan aktifitas zat endogen yang mernagsang pembentukan cAMP, aktivitas reseptor pasangan Gs, atau aktivitas basal dari adenilsiklase. Antagonis muskarinik bila diberikan tunggal dapat mencegah aktivasi endogen dari reseptor muskarinik akibat dari adanya agonis endogen atau mungkin dari aktivitas reseptor muskarinik lain.
Ada hal yang menghalangi salmeterol sebagai obat kombinasi kelas 3 dengan 2 bahan aktif dalam satu senyawa tunggal. Saligenin merupakan obat aktif pada aktivasi reseptor β-2, sementara arilalkil-oksialkil terdiri dari zat yang meningkatkan kerja obat aktif pada tempat kerja spesifik dimana obat-obat kemudian berikatan dengan durasi yang lama pada tempat kerjanya. Salmeterol memberikan obat aktif tambah dua mekanisme peningkatan farmakokinetik. Pandangan tentang salmeterol ini memberikan model yang berguna untuk zat potensial baru yang termasuk dalam kombinasi obat kelas 3 aktif. Meskipun diformulasi sebagai obat tunggal atau digunakan secara terpisah, kombinasi target yang selektif atau untuk hilangnya sensitivitas obat yang adaptif merupakan pendekatan yang memberikan kegunaan yang lebih besar sebagai proses-proses yang bisa dipahami lebih baik.
ANALISIS FARMAKOLOGI DAN VISUALISASI EFEK FARMAKOLOGI DARI BERBAGAI KOMBINASI OBAT
Terminologi Dasar Untuk Analisis Efek Kombinasi Obat
Penggunaan kombinasi obat mengharuskan anggapan tentang efek kombinasi obat alami secara kuantitatif dan terminologi untuk menggambarkan perbedaan antara efek kombinasi nyata dan yang diharapkan berdasarkan efek yang diketahui pada masing-masing obat. Pada analisis kuantitatif sederhana, efek kombinasi obat dapat sama dengan jumlah efek yang diharapkan dari dua obat, yang disebut dengan ”additif”; bila kurang dari nilai yang diharapkan, ”subadditif”; atau lebih besar dari nilai yang diharapkan, ”superadditif”. Dengan melihat mekanisme kerja, efek dari dua obat bisa independen, bila obat tidak mengubah kerja dari obat yang lain, atau interaktif, bila satu obat mengubah kerja obat yang lainnya. Beberapa sumber menggunaka istilah independen untuk menjelaskan apa yang disebut ”additif”. Pengarang menggunakan istilah additif untuk jumlah kombinasi alami dan ”independen” untuk mekanisme kerja obat kombinasi (non interaktif). Konsep interaksi melekat pada obat-obat kombinasi kelas 3 yang dijelaskan sebelumnya dimana suatu obat dapat mengubah kerja obat yang lain. Sebaliknya sasaran dari aspek yang berbeda dari penyakit dengan obat-obat kombinasi kelas 1 tidak menjelaskan secara langsung independensi pada kerjanya, karena obat-obat yang dapat mengubah efek obat yang lain pada titik akhir yang berbeda, sebagai tambahan untuk efek primernya. Obat-obat kombinasi kelas 2 dapat bersifat independen atau interaktif.
Mekanisme Efek Subadditif dan Superadditif Pada Kombinasi Obat
Untuk obat yang bekerja independen, subadditif muncul ketika respon jaringan kurang dari efektivitas obat sebagai faktor yang membatasi. Bila jumlah respon terhadap dua obat secara individu lebih besar daripada respon maksimal sistem, kemudian subadditif muncul tanpa adanya interaksi antara kedua obat (gambar 1 bagian atas). Subaddtif untuk obat-obat yang interaktif muncul ketika suatu obat mempengaruhi kerja obat yang lain untuk mengurangi obatnya sebagai contoh dengan meningkatkan degradasi atau dengan mempercepat menurunnya reseptor (gambar 2 bagian tengah). Antagonisme klasik merupakan kasus subadditif yang spesifik disebabkan oleh pengaruh, dimana obat kedua yang berinteraksi tidak bekerja kecuali memblok kerja obat pertama atau agonis endogen.
Superadditif dapat muncul hanya untuk kombinasi interaktif. Meskipun banyak penelitian yang menggunakan istilah sinergistik untuk semua efek kombinasi yang lebih besar dari yang diharapkan dari additif sederhana, penulis menggunakan istilah ”enhancement” dan ”sinergisme” sebagai istilah untuk memisahkan efek superadditif, dengan istilah yang memberikan informasi mekanisme tambahan. ”Enhancement” digunakan bila obat kedua tidak memberikan efek dan hanya meningkatkan efektivitas obat pertama (gambar 1 bagian bawah,kiri). Sebaliknya ”sinergisme” digunakan untuk kasus dimana masing-masing obat menunjukkan efek yang jelas tetapi dimana efek kombinasi lebih besar daripada additif (gambar 1 bagian bawah, kanan). Sinergisme muncul dari penjumlahan efek obat ditambah mekanisme tambahan yang menunjukkan satu obat atau keduanya yang meningkatkan efek obat yang lain. Pada kerangka kerja organisasi yang dijelaskan sebelumnya, sinergisme muncul untuk obat kombinasi kelas 3 sebagai tambahan untuk obat kombinasi kelas 1 atau 2. nilai yang lebih besar dari 1,5 kali jumlah efek obat tunggal sering digunakan sebagai kriteria untuk sinergisme. Perhatikan bahwa enhancemen dapat muncul karena suatu peningkatan dalam potensi, efikasi, atau keduanya dan kurva respon dosis pada tidak adanya dan adanya obat kedua diperlukan untuk menggambarkan efek ini.
Suatu contoh sinergisme dari penulis, sekalipun dengan zat endogen daripada dengan obat merupakan stimulasi sintesa DNA sel otot polos saluran napas manusia dengan mediator lipid asam lisofosfatidic bekerja pada reseptor protein G yang berpasangan, dan faktor pertumbuhan epidermal yang bekerja pada jalur reseptor tirosinkinase. Asam lisofosfatidic menyebabkan stimulasi 8 kali lipat; faktor pertumbuhan epidermal menyebabkan stimulasi 17 kali lipat dan asam lisofosfatidic tambah faktor pertumbuhan epidermal meyebabkan stimulasi 98 kali lipat, hampir 4 kali nilai yang diharapkan dari jumlah zat secarta terpisah. Sebaliknya pada penelitian yang sama tentang respon yang sama dengan endotelin dan faktor pertumbuhan epidermal di laboratorium lain, tidak ada stimulasi oleh endotelin sendiri, tetapi adanya endotelin meningkatkan stimulasi oleh pertumbuhan epidermal dari 23 – 86 kali lipat, suatu contoh peningkatan (enhancemen). Penulis dari penelitian selanjutnya menggunakan efek ini sebagai potensiasi; sementara yang lain menggunakan istilah sentisasi untuk fenomena yang sama. Kaarena istilah-istilah ini memiliki konotasi meningkatnya potensi atau sesitifitas, berlawanan terhadap efek yang meningkat atau respon maksimal, dan karena kedua istilah digunakan secara spesifik untuk situasi dimana suatu zat diberikan sebelum terapi daripada pada kombinasi, penulis menggunakan istilah enhancemen lebih umum kecuali pada kasus dimana hal ini jelas sinergisme. Beberapa teori lain sejak 15 tahun yang lalu menunjukkan berbagai model yang berbeda untuk memahami konsep independen, additif, sinergisme, dan antagonisme. Penelitian ini memberikan pandangan yang menarik dan penjelasan yang detail tentang analisi secara matematis dan model-model teori untuk efek lain di luar cakupan artikel ini.
Grafik Yang Menunjukkan Efek Kombinasi Obat
Pendekatan visualisasi grafik dan analisis efek kombinasi obat bergantung pada kelas, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumny. Untuk titik akhir yang berbeda oleh zat kombinasi kelas 1, dimana efek pada stiap titik akhir biasanya independen, memiliki kurva dosis yang terpisah dengan respon yang adekuat, karena perbedaan respon masing-masing obat pada kombinasi ini datar untuk titik akhir yang dicetuskan tipis. Untuk kombinasi kelas 3 dimana satu obat tidak memiliki efek, kelompok kurva dosis-respon yang lain pada ada atau tidak adanya peningkatan konsentrasi dari obat kedua seharusnya cukup untuk menganalisa dan mengilustrasikan interaksi ini. Perubahan dalam potensi, efikasi atau keduanya dapat terlihat pada grafik ini.
Untuk kombinasi dimana kedua obat mempengaruhi titik akhir poin yang sama namun memiliki efek interaktif yang berkisar antara antagonis sampai sinergis, pendekatan yang digunakan adalah grafik garis atau batang tiga dimensi dari kurva respon dosis untuk setiap zat yang menyebabkan ada atau tidak ada peningkatan konsentrasi obat yang lain. Kurva ini dapat dihubungkan secara grafik untuk membentuk suatu diagram permukaan, atau fishnet plot, yang memberikan visualisasi yang jelas dalam efek yang akan diukur atau diprediksi pada setiap konsentrasi. Pada grafik ini, konsentrasi masing-masing obat diplot pada aksis horisontal dan respon diplot pada aksis vertikal. Kurva respon dosis terhadap masing-masing obat tunggal terdapat pada batas depan diagram, dan kurva respon dosis terhadap masing-masing obat dalam hal adanya konsentrasi maksimal obat yang lain berada pada bagian belakang diagram. Suatu contoh plot ditunjukkan pada gambar 2, untuk kasus dimana masing-masing obat meningkatkan efikasi tapi bukan potensi obat yang lain. Program penyebarluasan standar dan ilmu spesialistik tentang grafik dan analisis program mampu membangkitkan dan menganalisa plot-plot ini. Dua pendekatan yang sering digunakan untuk visualisasi dan analisis adanya additif sederhana terhadap sinergisme atau pengaruh. Pertama adalah isobolograf, suatu plot dari satu atau lebih isobola, atau garis-garis dengan respon yang sama (gambar 3). Dosis obat A yang dibutuhkan untuk menimbulkan kadar respon (misalnya 50 %) diplot pada satu aksis, dan dosis obat B yang dibutuhkan dalam respon yang sama diplot pada aksis yang lain. Semua pasangan konsentrasi yang lain dari obat A dengan obat B diharapkan memberi tingkat respon yang sama berdasarkan efek tunggalnya, yang kemudian diplot utnuk mendapatka garis isobola. Respon aktual yang diukur untuk setipa kombinasi obat A yang diuji diberikan bersama dengan obat B yang kemudian diplot pada grafik yang sama. Titik yang segaris adalah additif, sementara titik di bawah garis additif menunjukkan kombinasi yang sinergis (membutuhkan konsentrasi yang lebih rendah daripada yang diharapkan untuk mencapai efek yang diberikan). Titik di atas garis adalah subadditif (membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi dari yang diharapkan untuk mencapai efek yang diberikan).
Meskipun banyak pembahasan menunjukkan isobola ini sebagai garis lurus, itu merupakan hasil yang diharapkan hanya pada bahan yang dipilih dimana dua obat bekerja pada dua reseptor yang sama atau target lain dalam hal kompetitif. Pada kasus yang lebih umum, dimana dua obat bekerja pada reseptor atau jalur yang berbeda untuk tujuan yang sama, isobola additif yang diperkirakan berbentuk konkaf. Garis isobola untuk kedua asumsi diilustrasikan pada gambar 3, menunjukan kesimpulan berbeda berdasarkan pendapat (ilmu) yang menunjukkan target dari kedua obat.
Respon permukaan atau grafik fishnet juga berguna untuk mendeteksi sinergisme atau hubungan. Permukaan dari efek yang diprediksi yang diperkirakan dengan additifitas sederhana untuk semua kombinasi konsentrasi obat diplot (tidak hanya untuk efek tunggal). Di sini, kombinaasi yang menunjukkan sinergisme di atas permukaan additif (konsentrasi yang lebih rendah dibutuhkan utnuk mencapai respon yang diberikan). Dan kombinasi yang menunjukkan hubungan dijumpai di bawah permukaan additif. Suatu plot yang menarik dapat dilihat dari data ini, kurang lebih pada teori, merupakan suatu plot dengan perbedaan antara permukaan respon utnuk kombinasi dan permukaan yang diprediksi dengan additif sederhana. Plot ini menunjukkan permukaan baru yang menggambarkan pola konsentrasi untuk menunjukkan sinergisme atau hubungan dan perluasan interaksi ini untuk setiap konsentrasi; pembaca diharapkan untuk lebih memahami teori dari penjelasan tambahan.
ASPEK FARMAKOLOGI TAMBAHAN PADA TERAPI KOMBINASI
Pembahasan terapi kombinasi farmakologi difokuskan pada penjelasan rasional dan mekanisme efek yang menguntungkan dari terapi kombinasi obat. Hal ini penting untuk dikenali, bahwa kombinasi dua atau lebih obat biasanya berhubungan dengan bahaya efek samping obat yang lebih besar. Hal ini mencakup additif dari efek yang diketahui dari masing-masing obat atau efek samping yang tidak diharapkan akibat interaksi antara keduanya.
Sebuah topik yang dianggap menarik oleh para farmakolog yang tidak dibahas adalah tentang penggunaan kombinasi obat dalam satu kemasan dosis tunggal versus penggunaan obat secara terpisah pada masing-masing dosis tunggal. Juga di luar cakupan bahasan ini tentang keuntungan dan kerugian dalm mengkombinasikan berbagai komponen dalam satu sediaan kombinasi menjadi satu molekul tunggal dengan manfaat yang banyak.
Diperhatikan bahwa kebutuhan terapi kombinasi tidak terbatas hanya pada kombinasi obat. Obat yang tunggal dapat digunakan pada berbagai intervensi untuk mendapatkan keuntungan tambahan. Hal ini terutama berhubungan dengan PPOK, dimana penghentian merokok, rehabilitasi paru, terapi oksigen, dan pembedahan dengan tujuan mengurangi volume paru merupakan berbagai manfaat dalam pendekatan farmakologi.
KESIMPULAN
Terdapat banyak penjelasan rasional yang berbeda dalam hal terapi kombinasi dan dasar-dasar farmakologi untuk evaluasi dan memahami kerja obat-obat tersebut di sini. Juga terdapat banyak contoh terapi kombinasi untuk PPOK, dengan banyak bukti yang bermanfaat. Jelas bahwa obat-obat yang lebih baik dibutuhkan untuk mengobati PPOK, yang meliputi kombinasi terapi baru. Dengan menggunakan dasar-dasar farmakologi dan kemungkinan tambahan lain berdasarkan berbagai mekanisme rasional yang diringkas di sini menjadi sangat baik untuk mengembangkan terapi baru yang lebih berefek atau memiliki lebih sedikit efek samping daripada zat dan kombinasi terapi yang ada.
Sabtu, 13 Agustus 2011
Posts by : Admin
TERAPI KOMBINASI UNTUK PPOK
Antikolinergik dan β agonist memiliki mekanisme yang berbeda untuk mengurangi brokokonstiksi, dan ada suatu rangkaian cerita yag panjang dari terapi kombinasi dengan agen short-acting pada klasifikasi untuk chronic PPOK. Seperti kombinasi-kombinasi yang diperbolehkan pada dosis yang rendah dan dengan cara demikian bisa menjadi lebih aman. Teophilin oral juga bisa dikombinasikan dengan bronkodilator kerja singkat untuk beberapa tahun. Studi berikutnya, biasanya, memperlihatkan hanya perbaikan yang ringan pada bronkodilatasi butuh biaya dari penurunan efek yang merugikan. Saran dari kelompok professional merekomendasikan itu sebagai gejala dari chronic PPOK yang progress, pasien mendapatkan penanganan yang teratur dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama, dan kortikosteroid inhalasi jika pasien mengalami eksaserbasi ulangan. Kombinasi dari suatu antikolinergik kerja singkat dengan β agonis kerja lama , atau kombinasi dari antikolinergik kerja lama dengan β agonis kerja singkat atau lama, yang diperlihatkan pada banyak studi untuk fungsi perbaikan fungsi paru dapripada monoterapi dengan komponen individual. Laporan secara sistematis dimiliki oleh flucicasone dan salmeterol, dan budesonide dan formoterol, adalah baik pada placebo dan punya peranan penting untuk klinis yang berarti untuk perbaikan fungsi paru untuk esaserbasidan kualitas hidup. Efek pada harapan hidup adalah tidak hilang. Beberapa pendapat memutuskan keamanan dari terapi kombinasi, hal itu punya pengaruh yang kuat terhadap farmakoekonomik, dan peran dari agen baru.
Kata kunci : β agonis, kortikosteroid inhalasi; theophilin
Hasil dari terapi untuk PPOK adalah untuk mencegah progesifitas penyakit, mengobati gejala, status kesehatan yang lebih baik, mencegah dan mengobati komplikasi dan eksarserbasi, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah atau meminimalisir efek merugikan dari pengobatan (1). Pada artikel ini menjelaskan bagaimana kombinasi terapi farmakologi yang baik untuk hasil yang sempurna.
Dua skema kombinasi yang lebih sering digunakan untuk pengobatan PPOK adalah anti kolinergik kerja singkat plus short-acting β agonis (SABA), dan kortikosteroid inhalasi (ICS) plus long-acting β agonist (LABA) dua kombinasi ini disetujui oleh Food and Drug Administration untuk COPD, ipratropium dan albuterol, dan fluticasone dan salmeterol, adalah masing-masing contoh. Pada artikel ini menjelaskan penelitian seperti kombinasi dan banyak tipe lainnya dari kombinasi yang dicoba, termasuk teophilin plus antikolinergik short-acting bronkodilator atau LABA, antikolinergik short-acting plus LABA, dan anti kolinergik plus SABA atau LABA.
Petunjuk The American Thorachis Society/ Eouropean Respiratory Sosiety (2) dan petunjuk the Global Iitiative for Chronic Obstructive Lung Disease (1) direkomendasikan sebagai gejala COPD yang progress, pasien dapat menerima pengobatan secara regular dengan satu atau lebih bronkodilator long-acting, dan pada ICS jika pasien dengan esaserrbasi berulang. Ketetapan nonfarmakologik, disetujui penawaran dengan terapi kombinasi, adalah hal-hal yang perlu untuk penanganan COPD pada semua staging dari penyakit. Termasuk berhenti merokok, menghidari factor pencetus yang menyebabkan alergi
SHORT-ACTING ANTICHOLINERGIC PLUS SABA
Antikolinergik dan β agonis memiliki mekanisme yang berbeda untuk mengurangi brokokonstiksi, dan ada suatu rangkaian cerita yag panjang dari terapi kombinasi dengan kelas obat . pengunaan dari kombinasi yang bias dizinkan dengan dosis yang rendah dan dengan cara memperbaiki secara aman. Nilai dari kombinasi dosis rendah dari antikolinergik short-acting dan SABA mempunyai hubungan, penggunaan ipratropium atau oxitropium seperti antikolinergik dan albuterol,metaproterenol, fenoterol, atau terbutalin seperti β agonis . dimana agen yang dikombinasikan pada tekananan udara yang diukur dari inhalasi campuran aerosol. Sin dan rekan kerjanya mempunyai data yang lengkap dari percobaan terhadap antikolinergik short-acting dan kombinasi-kombinasi SABA dimana lebih dari 3 mo pada durasi dan secara kolektif terhadap 1,399 pasien (3). Hasil terapi kombinasi sebanyak 32 % (95 % interval kepercayaan [CI],9-49%) berkurang pada esaserbasi dibandingkan monoterapi, tapi tidak ada perbedaan pada angka kematian.
Ukuran Tekanan Dosis Inhalasi
Terapi kombinasi inhalasi pertama didahului pada United States was Combivent ( Boehringer- Ingelheim, Ridgefield,CT), kombinasi dari ipratropium , 21µg, diberikan 2 semprotan dari suatu dosis inhalasi dengan tekanan udara yang telah terukur 4 kali sehari. Pada 85-d percobaan multicenter dari 534 pasien COPD dibandingkan kombinasi dengan tiap agennya sendiri (4). Kombinasi paling baik diatas pada efek puncak, pada efek selama empat jam pertama setelah dosis dierikan, dan pada total area dibawah FEV1 curva wakturespon (FEV1AUC) gambar 1). Rata-rata persentasi meningkat lebih dari garis dasar dimana 31-33% untuk kombinasi. 24-25% untuk ipratropium sendiri, dan 24 sampai 27 % untuk albuterol sendiri. Skore gejala tidak ada termasuk bila lewat waktu. Keuntungan dari kombinasi lebih pada lebih besar komponen individual menjadi lebih baik pada 4 jam pertama setelah administrasi. Seperti yang diperlihatkan pada gambar 1, biasanya , terapi kombinasi seperti short-acting dan monoterapi; perbaikan pada FEV1memotong dibawah 155 oleh 5 jam administrasi dari ketiga regimen.
Ikeda dan rekan kerjanya setelah itu memperlihatkan pada studi banding tentang kombinasi dosis standar dari ipratropium dan albuterol (masing-masing 40 µg dan 200µg) hasil bronkodilator yang lebih besar pada 26 pasien dengan COPD stabil dan dosis standar dari ipratropium (5) . pada studi banding dari 20 pasien, ipratropium dan albuterol, tapi bukan pada masing-masing agen. Superior pada placebo untuk mengobati dypneu, menghilangkan gejala mayor pada COPD, selama 12 menit saat test berjalan (6). Tidak ada perubahan yang signifikan yang diperlihatkan dari 3 regimen.biasanya, keepakatan terhadap gejala harian atau komponen dyspneu dari Chronic Respiratory Disease Questionnaire. Pada yang didapat dalam 29 hari studi dari 357 pasien dengan COPD. Ipratropium dan albuterol diatas terhadap albuterol sendiri dengan respek terhadap puncak FEV1 dan rata-rata FEV1. tapi mamfaat tidak ada pada akhir setelah 4 jam(7). Score gejala secara luas lebih baik dengan kombinasi, tetapi perbedaan secara statistik tidak signifikan. Sesuai klinis dari yang kecil tapi perubahan yang signifikan pada puncak FEV1dan FEV1AUC adalah tidak hilang (8).
Terapi kmbinasi dengan Ipratropium dan albuterolbisa memperoleh keuntungan farmakoekonomik. Friedmen dan rekan kerjanya membandingkan dengan ipratropium itu sendiri atau albuterol itu sendiri, Ipratropium dan albuterol ada perbaikan FEV1 dan FEV1AUCdan mengurangi esaserbasi dan lama rawatan di rumah sakit,dengan cara menurunkan biaya keseluruhan (9).
Fenoterol, suatu SABA yang tidak dibolehkan di United States, kombinasi dengan ipratropium (Duovent[ipratropium, 80 µg, dan fenoterol ,200 µg]; Boehringer- Ingelheim, Ingelheim,Germany) dengan meningkatkan efek bronkodilator. Angka studi dibandingkan antara ipratropium dan fenoterol dengan monoterapi dengan tiap agen mempunyai nilai keefektifan bronkodilator lebih besar dengan kombinasi. Biasanya kombinasi suatu substansi bronkodilator memiliki efek yang lebih pada 3- jam pertama, dan pada suatu studi ditemukan . masa kerja 7 jam, dengan 6 jam untuk albuterol plus fenoterol, dengan tidak meningkatkan efek yang merugikan (10).Huhti dan poukkula mengobservasi efek subjektif yang merugikan dimana lebih sering dengan fenoterol,400µg, dibandingkan dengan Duovent atau 80 µgipratropium itu sendiri (11). Ketika dibandingkan dengan albuterol,200µg, pada 24 pasien dengan COPD,ipratroium, 40 µg, plus fenoterol,100µg, diproduksi sebanding dengan peningkatan maksimal pada FEV1(32 dengan 31% albuterol)dan sebanding dengan penurunan pada khususnya jalan nafas yang resistan (24 dengan 21% albuterol)(12). Pada 8 jam ipratropium dan fenoterol secara signifikan lebih baik dibandingkan placebo, dan pada pasien yang respon terhadap ipratropium pada dasarnya, fenoterol selanjutnya lebih ke bronkodilatasi (12). Pada suatu studi dari 20 pasien dengan COPD, Grassi dan rekan kerjanya memasukan ipratropium,40µg,plus fenoterol,100µg, yang paling banyak terbutalin 250µg, dengan inhalasi pada hari ke 7 dan 14 termasuk dari bronkodilatasi yang persisten (13). Seperti β agonis lainnya, fenoterol secara perlahan merangsang ventilasi selama bekerja, tapi itu efek pada jantung dan pengambilan oksigen adalah tidak berbeda dari placebo, pada masa istirahat atau selama kurang maksimal atau maksimal bekerja (14).
Kemungkinan lain penggunaan terapi kombinasi pada COPD adalah untuk test reversibility bronkodilator. Pada dua multicenter, 3 mo,percobaan yang dikontrol secara acak, 1,067pasien dimana di evaluasi respon terhadap ipratropium,albuterol, atau kombinasi. (15). Itu diperlihatkan pada analisis retrospektif, penggunaannya meningkat 12 atau 15 % pada FEV1 menurunkan suatu respon yang positif, kombinasi superior (p<05) terhadap agen individual dan < 80% dari respon pasien terhadap kombinasi dalam 30 menit. Studi lebih lanjut diperoleh hasilnya adalah penting untuk menilai determinan dari terapi selanjutnya.karena berisi chlorofluorocarbon dengan tekanan dosis inhalasi adalah pada fase terakhir menghasilkan konsentrasi yang aman bagi lingkungan, studi banding dengan inhalasi bubuk kering yang baru dan mengandung hydrofluoralkane dengan tekanan dosis inhalasi.
TERAPI KOMBINASI DIBANDINGKAN DENGAN OBAT TUNGGAL BERDOSIS MAKSIMAL
Walaupun bronkodilatasi yang maksimal bisa dicapai dengan dosis tinggi dari agen single, kombinasi dua kelompok brokodilator diizinkan penggunaan dengan dosis yang rendah, dengan keefektifan yang sama dan efek baru yang merugikan (table 1). Studi Serra dan rekan kerjanya secara gradual peningkatan dosis dari fenoterol (dosis komulatif 100,200,400,800 dan 1600µg), ipratropium (40,80,160,320 dan 640µg) dan kombinasi (100/40,200/80, dan seterusnya)pada Sembilan pasien dengan obstruksi jalan nafas segian (16). Rata-rata dengan tiga produk , efek bronkodilator memperlihatkan suatu korelasi yang linier dengan logaritma dari dosis yang diberikan. Efek-efek yang merugikan, buktinya tremor dimana hilang dengan kombinasi dibandingkan dengan fenoterol itu sendiri . curva respon terhada tiga dosis diungkapkan pada saat memasukan dari perbaikan pada FEV1, dan semprotan ipratropium dan fenoterol 100/40 sama dari fenoterol (200µg) dan memasukan empat dari ipratropium (160µg) agen kombinasi itu berasal paling mungkin pada efek pemeliharaan bronkodilator untuk memperbaiki nilai terapeutik.
Pada studi dari 20 pasien dengan COPD , Eastn dan rekan kerjanya memberikan albuterol atau ipratropium dengan dosis maksimal, kemudian dibandingkan efek dari kelanjutan obat lainnya dengna efek dari penambahan placebo (17). Ketika digunakan sendiri , dua agen menurunkan hiperinflamasi dan meningkatkan aliran udara yang sama lebihnya. Ketika kedua agen dilanjutkan, dimana tidak ada penambahan yang bermamfaat , mungkin dari penggunaan dosis yang tinggi . biasanya, pengelompokannya adalah dikombinasikan untuk memperoleh keuntungan dari suatu profil keefektifan dan keamanan yang lebih baik.
LARUTAN AEROSOL
Ipratropium dan albuterol adalah juga tersedia dalam bentuk larutan inhalasi dengan mamfaat yang lebih dari tiap komponen dengan tidak meningkatkan efek yang merugikan. Dengan kombinasi dimana suatu peningkatan pada respon akut spirometri dan saat PEF dasar pada pasien dengan COPD pada 1 hari, dan seperti perbaikan-perbaikan terhadap 85 d. lama dibandingkan dengan mamfaat dari komponen individual(18). Pada hanya 12 –wk perbandingan, pada 652 pasien dengan COPD, kombinasi meningkatkan puncak FEV1 oleh 26% albuterol itu sendiri,28% lebih ipratropium itu sendiri, dan FEV1 AUC lebih meningkatkan ipratropium itu sendiri dan albuterol (p<001)(19). Secara mengejutkan, pada suatu studi dari pasien dengan eksaserbasi akut dari COPD. Dimana tidak bermamfaat dari nebul ipratropium dan albuterol kelebihan albuterol itu sendiri dengan respek terhadap hasil spirometri itu sendiri atau rata-rata meningkatkan rawatan dirumah sakit (20).
Ipratropium juga dikombinasikan dengan nebul larutan inhalasi metaproterenol, perubahan pruduk yang sama pada FEV1 (21). pada suatu study dari 213 pasien dengan COPD, rata-rata FEV1 dan FVC dimana lebih tinggi secara signifikan dengan ipratropium dan metaproterenol dibandingkan dengan metaproterenol itu sendiripada tes hari pertama ,43,dan 85, dan dimana tidak ada peningkatan pada efek merugikan . durasi dari aksi secara signifikan lebih lama terhadap terapi kombinasi pada tes hari pertama dan 43. Tiap regimen , biasanya, mempunyai efek yang cukup besar pada pagi dengan PEF dasar, gejala respiratori, atau kualitas hidup.
KOMPONEN LARUTAN AEROSOL
Terbaru , dimana memiliki suatu peningkatan pada komponen dari larutan aerosol ( formulasi dari produk off-brand) oleh pharmacies dan lainnya, yang mana faktanya target terhadap pasien dengan COPD dimana terdaftar pada medicare. Praktek ini adalah berjalan pada bagian dalam untuk konsumen melalui iklan di televise dan industry kesehatan rumah lainnya. Petunjuk pabrikasi secara tegas adalah sebagai berikut, karena PH, osmolariti, dan stabilitas dari campuran ipratropium dan albuterol hilang dengan membatasi parameter. Qualitas dari agen yang diproduksi oleh komponen yang tidak diregulasi yang dipertanyakan. Terutama karena beberapa kombinasi adalah tidak dipubrikasi dalam keadaaan streril yang rendah. Dan beberapa hubungan tidak terbuka untuk memecahkan atau bukan tes campuran. Food and Drug Administration mengirim surat peringatan terhadap beberapa perusahaan . Food and Drug Administration-menyetujui formulasi ipratropium dan albuterol. , DuoNeb (Dey LP,Napa,CA). adalah tersedia , dan pada suatu studi dilaporkan pada 24% perbaikan yang lebih besar pada puncak PEF1 dibandingkan yang diperlihatkan dengan albuterol itu sendiri (p<001),dan besarnya 37% dibandingkan ipratropium itu sendiri (p<001) (22). Pada yang dilampirkan dari FEV1AUC, DuoNeb melaporkan pada 30% lebih baik terlihat dengan albuterol itu sendiri(p<001)dan 32% lebih dibandingkan dengan ipratropium itu sendiri(p<001). Hasil itu adalah sama dengan yang ditemukan dari percobaan pivotal dari combivent. Kesehatan fisik terhadap pasien dengan COPD dibutuhkan untuk secara tertutup merupakan komponen awal dari Food and Drug Administrationdan kelompok professional untuk hasil yang menguntungkan bagi pasien dengan terpi kombinasi aerosol yang aman.
THEOPHILIN ORAL PLUS BRONKODILATOR KERJA SINGKAT
Theophilin oran, suatu bronkodilator long-acting , dikombinasikan dengan SABA atau antikolinergik short-acting pada pengobatan COPD pada beberapa tahun berikut. Efek dari thophilin pada esarsebasi dan angka kematian adalah masih controversial, karena banyak studi yang sudah lama tidak memperoleh kekuatan secara adekuat untuk evaluasi pada point terakhir. Theophilin meningkat pada FEV1 dan memperbaiki gas darah arteri, tapi meningkatkan mual (3,23). Antikolinergik adalah bronkodilator yang lebih poten dibandingkan theophilin pada COPD, peningkatan FEV1 31 pada 17% untuk thophilin (24).
Ram dan rekan kerjanya (23) baru saja melengkapi secara sistematik dari keefektifan dari theophilin oral pada COPD. FEV1 dan FVCdiperbaiki dengan theophilin (beratnya rata-rata perbedaannya 0,10 L,95%CI, 0,04-0,16: dan berat rata-ratanya dengan perbedaan 0,21L:95% CI, 0,10-0,32) mamfaat dari theophilin dapat ada aditif.
Pada suatu studi banding 16 pasien dengan COPD yang berat dengan dosis tinggi albuterol berikut melalui theophilin dosis tinggi, dan regimen berbeda (25 ). Meningkat pada FEV1 dengan albuteron itu sendiri adalah 24% dari hasil awal, 17% dengan theophilin itu sendiri, respon terhadap dua agen dimana tanpa ada bahan tambahan dari obat yang pertama diberikan. Dengan menarik pasien dengan reversibility terhadap albuterol memperlihatkan peningkatan besar pada FEV1 ketika theophilin diteruskan (32% dari dasar), dimana lebih sedikit obstruksi berulang yang diperlihatkan tidak ada mamfaat tambahan ketika theophilin ditambahkan dari observasi didapatkan pertanyaan dari rasio resiko-mamfaat dari terapi theophilin terhadap pasien dengan jarang kambuh obstruksi. Rekomendasi lainnya berbeda : theophilin diberikan untuk pasien dengan bronkodilator yang ireversibel(26).
Pada suatu studi banding 16 pasien dengan COPD, ipratropium dan theophilin produknya meningkat lebih besar pada FEV1,maksimal konsumsi oksigen,,maksimal waktu ventilasi, dan rasio dyspneu yang lebih luas dibandingkan dengan placebo(27). Suatu kelompok studi parallel dari 236 pasien dengan COPD memperlihatkan oxitropium, dan oxitropium dan theophilin, dimana lebih efektif dibandingkan theophilin itu sendiri pada perbaikan FEV1.PEF rate dan total skor dan total gejala pada St.George’s Respiratory Questiionnaire, pada petunjuk untuk evaluasi status kesehatan dan kwalitas hidup(28). Perbedaan dimana tidak signifikan secara statistic kecuali untuk PEF rate. Nishimura dan rekan kerjanya seterusnya theophilin sampai pengobatan ipratropium dan albuterol dari 24 pasien dengan COPD stabil(29)theophilin memiliki sedikit efek bronkodilator selama 60 menit tapi tidak mengurani gejala , walaupun delapan pasien dilakukan penelitian secara subjektif bermamfaat dengan theophilin. Karpal dan rekan kerjannya membandingkan ipratropium itu sendiri,theophilin dan albuterol dan tiga agen pada 48 pasien dengan COPD(30). Tiga kombinasi teratas pada efek bronkodilator terhadap dua regimen lain. Tapi tiga kombinasi dan albuterol dan theophilin secara signifikan meningkatkan laju jantung dibandingkan dengan ipratropium itu sendiri.
Banyak dari studi dari regimen termasuk theophilin terlihat hanya sedikit perbaikan pada bronkodilator seperti mahalnya, meningkatnya efek yang merugikan. Mungkin lebih menjanjikan adalah potensial dari theophilin untuk menurunkan ICS resisten oleh histone deacetylatyion inhibition (31).
KOMBINASI-KOMBINASI TERMASUK SUATU LABA ATAU ANTIKOLINERGIK KERJA LAMA
Antikolinergik long-acting (glycopyrrolate, yang mana bekerja diatas 24 jam pada arus formulasi, dan tiotropium) dan LABA (salmeterol dan formoterol) dibandingkan dengan long-acting dan agen long-acting dari kelas lainnya.
Antikolinergik Long-Acting Plus LABA
Salmeterol, ketika dilanjutkan untuk melakukan terapi antikolinergik pada percobaan selama 6 bulan termasuk 408 pasien COPD, secara signifikan memperoleh perbaikan FEV1 dibandingkan dengan placebo pada 4,8 dan 16 minggu(32). Kelompok salmeterol juga memperlihatkan perbaikan signifikan pada pagi hari PEF rate lebih dari 24 minggu, dan pasien baru pada kelompok salmeterol mempunyai esaserbasi dari COPD dibandingkan dengan kelompok placebo. Pada percobaan dosis tunggal dari 144 pasien, salmeterol menghasilkan peningkatan yang signifikan pada FEV1(puncak dari 7% yang diperkirakan) dan ipratropium dan salmeterol menimbulkan respon bronkodilator yang lebh besar (meningkat 11%)dibandingkan salmeterol sendiri selama 6 jam pertama (33). Cazzola dan rakan kerjanya mendirikan suatu studi kecil setelah pretreatment dengan salmeterol, satu dosis rendah dari ipratropium dihasilkan efek yang tidak berkelanjutan. Tapi dosis tinggi dari oxiTROPIUM (600 µg) yang diberi 2 jam kemudian meningkatkan FEV1 0.152 L (95% CI, 0.124-0,180L) (34).
Formoterol juga telah dikombinasikan dengan antikolinergik kerja singkat. Sebelum pemberian obat formoterol, oxitropium dosis tinggi (600 µg) meningkatkan FEV1 dari 0.082 ke 0.087 L (35). Ipraprotium dan formoterol meningkatkan FEV1 menjadi 335.2 ml (SE 24.6), lebih baik dari pada penggunaan tunggal ipraprotium (p<0.05) (36). Secara terpisah, ipiraprotium dan formoterol secara signifikan lebih efektif dari pada kombinasi ipratropium dan albuterol pada 172 pasien yang yang masih meninggalkan gejala pada penggunaan tunggal ipratropium, dengan pengingkatan laju PEF (p<0.0003), FEV1auc (p<0.0001), dan nilai gejala total rata-rata (p<0.0042) (37).
Antikolinergik Kerja Lambat dengan β-Agonis
Glycopyrrolate telah dibandingkan dengan metoproterenol atau dalam bentuk kombinasi keduanya. Pada 11 pasien dalam penelitian dengan PPOK, efek brongkodilatasi dari glycopyrrolate hamper sama dengan meteproterenol hanya lebih lama sedikit (8 jam dengan 5 jam) (38). Efek metoproterenol den glycopyrrolate lebih besar dibanding dengan penggunaan monoterapi dari obat-obat tersebut ( kemajuan persentasi puncak rata-rata FEV1 adalah lebih dari 35% dengan kombinasi dibandingkan 25% pada penggunaan monoterapi). Pada IGD diperkotaan, kombinasi glycopyrrolate dan albuterol lebih efektif dibanding penggunaaan albuterol saja pada pasien dengan PPOK eksaserbasi( kemajuannya 56 banding 19% pada FEV1 dari nilai sebelum terapi, p=0.008) (39).
Cazzola dan coworker membandingkan tiotropium, salmetarol, dan kombinasi pada penelitian 20 pasien dengan PPOK (40). Peningkatan maksimal rata-rata FEV1 adalh 0.165 L ( 95% CI, 0.0098 – 0.232) untuk tiotropium; 0.241 L ( 95% CI, 0.151 – 0.332) untuk salmeterol; dan 0.290 L (95% CI, 0.228 – 0.353) untuk kombinasi. Setelah 12 jam terjadi peningkatan rata-rata FEV1 dari nilai sebelum terapi 0.071 L (95% CI, 0.001 – 0.141; p= 0.010) untuk tiotropium; 0.069 L ( 95% CI, 0.018 – 0.120; p= 0.010) untuk salmeterol; dan 0.108 L ( 95% CI, 0.047 – 0.170; p= 0.001) untuk kombinasi. FEV1 AUCs untuk 0- 12 jam dan 0-24 jam pada kombinasi. Perubahan klinis ini kecil, bagaimanapun, dan salmeterol masih perlu diberi dosis dua kali sehari. Penemuan abstrak pada dua uji terpisah pada tioprotium dan formeterol oleh van Noord dan teman kerjanya menemukan substansial lebih secara statistic efek aditif pada kedua FEV1 dan FVC (41, 42).
Saat dikombinasikan dengan tiotropium, LABAs memberi tambahan efek bronkodilator. Apakah pemberian sekali sehari sudah cukup belum jelas hingga saat ini. Hal tersebut mungkin akan diperdebatkan, karena new ultra-LABA, seperti carmeterol, indacaterol, dan R-R’ formoterol, sangat jauh dari perkembangan. Obat-obat ini harus membuat dosis lebih cukup dan menurunkan gejala-gejala ketika dibandingkan dengan β-agonis kerja cepat.
Theophilin dengan LABA
Theophilin telah dikombinasikan dengan salmeterol pada dua penelitian pasien PPOK. Ketika theophillin dan salmeterol dibandingkan dengan komponen individu, pada ketiga grup. Kombinasi keduanya menghasilkan kemajuan lebih besar pada fungsi paru dan menurunkan gejala-gejala tanpa banyak meningkatkan efek samping (43). Dibandingkan dengan fluticasone dan salmeterol, bagaimanapun, kombinasi theophilin dan salmeterol kurang menghasilkan kemajuan pada FEV11 (44).
ICS dengan LABA
ICS awalnya dikombinasikan dengan LABA pada pengobatan pasien asma (45). Dibandingkan dengan monoterapi dengan komponen individu, kombinasi ICS dengan LABA menghasilkan kemajuan signifikan pada semua parameter FEV1, termasuk efek puncak, efek rata-rata, AUC, dan efek predosis. Pada asma, kombinasi ICS-LABA tidak lebih rendah untuk peningkatan dosis ICS duakali lipat (46) atau bahkan peningkatan hingga empat kali lipat.
Pada pasien dengan PPOK, kombinasi fluticasonen dan salmeterol meningkatkan FEV1, FEV1 puncak, FEV1 rata-rata, dan FEV1 AUC dibandingkan dengan monoterapi (48-50). Kombinasi fluticasone, 500 mikrogram, dan salmeterol 50 mikrogram, menyebabkan kemajuan pada transisional Dyspnue Index (50), tapi tidak meningkatkan FEV1 ke tingkat yang lebih besar dengan fluticasone 250 mikrigran dan salmeterol 50 mikrogram (49), jadi tampaknya tidak ada hubungan pada respon dosis. ICS dosis tinggi, ketika ditambahkan pada bronkodilator, menghasilkan status kesehatan tanpa peningkatan signifikan pada fungsi paru (51). Dal Negro dan rekan kerjanya melaporkan penurunan eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang sebelumnya diterapi dengan theophilin yang diganti dengan kombinasi fluticasone dan salmeterol, salmeterol, dal placebo (52). Kombinasi obat tersebut bekerja cepat, dengan pengingkatan pada PEF dan berkurangnya sesak napas pada hari kedua dengan salmeterol dan kombinasi dengan plasebo.
Formeterol digunakan untuk obat penyelamat, karena efeknya secepat albuterol. Dengan memiliki respon dosis, jadi dosis yang lebih tinggi atau dosis lebih dari normal dapat diberi jika pasien memburuk (54). Prinsip fleksibelitas atau dosis rumatan yang sesuai telah membuat budesonide dan formeterol pilihan popular untuk kombinasi terapi dengan Turbuheler atau sebagai inhaler pada asma. Pada pasien PPOK, Szafranski dan rekan kerjanya mengobservasi kemajuan langsung pada FEV1 dengan konbinasi dibandinga dnegan budesonide saja, tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan (55). Penelitian Calverley dan rekan kerja nya mengkonfirmasi penemuan ini (56). Dua uji yang berbeda pada penelitian Calverly melibatkan pengobatan dnegan prednisone(30 mg OD) dan formeterol selama 2 minggu.
Review sistemik dari ICS dan LABA
Nannini dan rekan kerjanya membuat review sistemik dari 6 penelitian, secara kolektif yang melibatkan 4,118 peserta dengan PPOK, yang membandingkan budesonite dan formeterol atau fluticasone dan salmeterol dengan monoterapi berkomponen individu dan plasebo (57). Mereka menganggap kedua kombinasi lebih baik dari pada plasebo dan menghasilkan kemajuan klinis yang berarti pada fungsi paru, eksaserbasi rata-rata, dan kualitas hidup. Sin dan para koleganya memiliki kesimpulan yang sama ketika menganalisa 3 pengujian (2,951 pasien) (3).
Secara spesifik, berhubungan dengan fungsi paru, kedua kombinasi menyebabkan perbedaan signifikan kecil ketika membandingkan dengan monoterapi ICS (3,57). Fluticasone dan salmeterol menyebabkan kemajuan kecil daripada penggunaan salmeterol tunggal, tetapi budesonite dan formeterol tidak lebih baik dari pada penggunaan formeterol tunggal(3,57). Kombinasi terapi lebih efektif dalam peningkatan FEV1 dari plasebo (34 ml/yr; 95% CI, 76-126 ml/yr); monoterapi LABA (50ml/yr; CI, 11-57 ml/yr); atau monoterapi ICS (50ml/yr; 95% CI, 26-75 ml/yr) (3). Perbedaan klinis minimal penting pada FEV1 belum dapat ditegakkan secara pasti, tetapi gambaran pada 100 ml correlate peningkatan pada sesak napas dan eksaserbasi dan dalam batas nilai yang ditemukan oleh administrasi obat dan makanan pada obat-obat kerja lama.
Nannini dan rekan kerja menemukan bahwa eksaserbasi jadi berkurang dengan penggunaan kombinasi dari pada penggunaan plasebo atau LABA, tetapi tidak ketika dibandingkan dengan ICS. Efek klinis adalah pencegahan pada satu eksaserbasi selama 2-4 tahun pada terapi kombinasi (57). Sin dan rekan kerja memasukkan kombinasi ICS dan LABA dihubungkan dengan eksaserbasi signifikanyang lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi LABA
Nannini meta-analisis memasukkan bahwa perbandingan fluticasone dan salmeterol dengan fluticasone tunggalmenghasilkan data yang berbeda pada kualitas hidup, dimana tidak ada perbedaan ketika fluticasone dan salmeterol dibandingkan dengan salmeterol (57). Budesonite dan formoterol menunjukkan gejala-gajala dibandingkan dengan monoterapi budesonite tanpa moneterapi formoterol, dan perbandingan menghasilkan data berbeda pada kualitas hidup (table 2). Pada penelitian Sin dan teman-teman, kemajuan rata-rata pada nilai kuesioner St. George’s Respiratory dengan kombinasi terapi, dibandingkan dengan plasebo, adalah -2.4 (95% CI, -3.4 hingga -1.4), yang menghasilkan perbedaab klinis untuk alat ini, -4 poin (3).
Fluticasone dan serevent
Hasil Plasebo Fluticasone Serevent
Fungsi paru + + +
Eksaserbasi + - +
Kualitas hidup + +/_ -
Gejala-gejala + - -
Budesonite dan Formoterol
Hasil Plasebo Fluticasone Serevent
Fungsi paru + + -
Eksaserbasi + - +
Kualitas hidup + +/- +/-
Gejala-gejala + + -
Tabel 2. Kombinasi vs Plasebo dan Monoterapi
+= kombinasi terapi memiliki efek positf; +/-= data berlawanan; -= tidak ada perubahan
Efek Samping ICS dan LABA
Pasien dengan PPOK mudah terkena efek samping. Walaupun satu uji dari ICS menunjukkan peningkatan resiko fraktur dengan triansinolon (58), secara kuantitif gambaran sistemik menemukan peningkatan kecil pada fraktur vertebra dari 1,2 menjadi 1,6 kali dan peningkatan fraktur pinggul 1,6 kali (59). Johanes tidak menemukan peningkatan resiko pada data.(60). Kombinasi ICS dengan LABA mungkin menurunkan dosis ICS. LABA sepertinia aman bagi pasien PPOK, tetapi dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Contoh, beberapa uji SMART pada salmeterol pada asma tidak dilanjutkan karena faktor keselamatan(61). Tiga pendekatan observasi berbeda telah menunjukkan secara konsisten bahwa dosis SABA yang lebih tinggi dihubungkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada PPOK (62). Sebuah metaanalisa pada uji multiple pada asma dan PPOK menjelaskan bahwa penggunaan β-agonis meningkatkan resiko efek samping pada jantung (63). Selanjutnya ketiga uji tersebut seperti tidak ada perbedaan antara kedua kombinasi ICS dan LABA ( fluticasione dan salmeterol. Dan budesonide dan formoterol) pada efek samping (64).
Efek samping ICS dan LABA pada Pasien yang bertahan hidup
ICS tidak mempengaruhi penurunan FEV1 yang khas pada PPOK. Beberapa penelitian observasi retrospektif berdasarkan data administrative telah menunjukkan efek pada pasien yang bertahan hidup, tetapi ada juga yang tidak (65,66). Suissa telah mengajukan bahwa keuntungan pada pasien yang bertahan hidup dengan pengobatan ICS pada PPOK disebabkan waktu bias immortal, dimana waktu insiden bebas dapat digunakan sebagai definisi pada penelitian, bukan obat itu sendiri (65, 66).
Belum jelas apakah kombinasi ICS-LABA memiliki keuntungan bertahan hidup. Sin dan teman-teman menyimpulkan bahwa efek dari kedua kombinasi pada mortalitas adalah tidak tentu (resiko relative vs plasebo, 0.52; 95% CI, 0.20-1.34) (3). Dengan penggunaan data dari UK General Practice Research database, Sorino dan teman-teman menunjukkan bahwa pasien yang bertahan hidup selama 3 tahun pada pasien PPOK yang menggunakan fluticasone dan salmeterol lebih banyak dari pada yang menggunakan fluticasone dan salmaterol tunggal (64). Lebih banyak resep fluticasone atau fluticasone dan salmeterol yang diisi pasien, akan lebih banyak paseian yang bertahan hidup. Ada kontroversi tentang review retrospektif dari data dasar administrative, bagaimanapun, akan menarik melihat data pasien yang bertahan hidup pada penelitian TORCH (revolusi kedepan pada kesehatan pasien PPOK, perbandingan prospektif dari fluticasone, salmeterol, dan kombinasi keduanya) (67).
Penyakit jantung dan pembuluh darah masih menjadi penyebab tertinggi kematian pada pasien dengan PPOK. Proses inflamasi pada PPOK dan hubungannya dengan plak koroner yang tidak stabil karena sirkulasi sitokin dan penanda lainnya yang telah diinvestigasi. CRP adalah penyebab kategori sedang pada penyakit jantung koroner (rasio berlawan, 1.45) pada penelitian case control yang dilakukan di Islandia (68). Pada penelitian singkat, fluticasone dan prednisone menurunkan CRP sekitar 30-40% pada 41 pasien PPOK (69). Penggunaan CRP sebagai pengganti untuk faktor resiko, fluticasone dan salmeterol telah dipelajari secara prospektif pada percobaan luas di Kanada.
KOMBINASI DUA OBAT LAINNYA
Karena obstruksi aliran udara pada PPOK disebabkan banyak faktor, sangat logis untuk menginvestigasi golongan obat selain bronkodilator dan antiinflamasi. N-asetilsistein adalah antioksidan farmakologis yang mempengaruhi beberapa aspek dari stress oksidatif, termasuk hipersekresi mucus. Obat inidikombinasikan dengan terbutalin inhalasi pada penelitian 22 pasien PPOK (70). 17 pasien mengalami batuk, sedikit kesulitan dalam mengeluarkan sputum, dan perbaikan umum ketika mereka menggunakan N-asetilsistein dan terbutalin disbanding ketika mereka menggunakan terbutalin atau plasebo. Perubahan FEV1, bagaimana pun sangat minimal. Pada percobaan yang hampir lengkap selama 3 tahun, penambahan N-asetilsistein rupanya tidak mengubah rerata tahunan pada penurunan FEV1 atau menurunkan eksaserbasi pada mereka yang tidak menggunakan obat ini (71).
Kombinasi antiinflamasi oral, seperti phosphodiesterase 4 inhibitor, dengan LABA atau antikolinergik kerja lama secara teori tidak menawarkan keuntungan. Sedikit keuntungan tambahan diperoleh, bagaimana pun, ketika antagonis leukotrien ditambah dengan LABA (72). Celik dan teman-teman menemukan kemajuan sedikit pada tes fungsi paru, sesak napas, dan kualitas hidup ketika montelucast ditambah dengan ipraprotium dan formoterol (73)
KOMBINASI TIGA OBAT
Banyak ahli telah mengajukan terapi tiga obat untuk pasien dengan PPOK dan dengan eksaserbasi yang sering. 3 regimen obat telah dites pada asma, tapi modifier leukotrien ditambah sedikit dengan kombinasi ICS-LABA (74). Dalam 12 minggu ujicoba pada 40 pasien PPOk, Yildiz dan teman-teman menambahkan budesonite dosis tinggi pada kombinasi ipreprotium dan formoterol, yang telah digunakan 3 bulan lebih dulu (51). Tidak ada perubahan signifikan pada nilai spirometri atau analisa gas darah. Proporsi pasien yang menerima perubahan klinis minimal pada versi Turki yang dilakukan St. George’s Respiratory Questionnere, bagaimana pun, 70% berada pada grup menggunakan tripel terapi dan 22% pada grup yang melanjutkan terapi ipraprotiun dan formoterol tanpa ICS.
Uji kecil pada fluticasone, salmeterol, dan tiotropium selama 1 minggu menghasilkan perubahan yang lebih besar pada FEV1 dengan tripel terapi dari pada yang hanya menggunakan fluticasone atau tiotropiun, atau salmeterol (preinhalation FEV1 1.32 [0.56]L, [p < 0.03 pada kedua perbandingan]; postinhalasi FEV1 1.49 [0.68]L, [p < 0.001 pada kedua perbandingan]) (75).
Terapi optimal pada orang kanada yang dilakukan terus-menerus pada uji PPOK< yang didanai oleh Canadian Institudes of Health, termasuk pengobatan 3 obat dan penelitian pertama untuk membandingkan fliticasone dan salmeterol dengan tiotropium (76). Penalitian double-blind yang dilakukan selama 1 tahun, dengan uji control plasebo delakukan untuk menemukan apakah kombinasi obat inhalasi menurunkan eksaserbasi dan mengoptimiskan kualitas hidup. Ketiga obat tersebut adalah tiotropiun ditambah fluticasone dan salmeterol, tiotropiun dan plasebo.
PERBANDINGAN KOMBINASI BERBEDA
ICS dan LABA Dibandingkan Dengan Antikolonergik Kerja Singkat dan SABA
Pada perbandingan antara 3 kombinasi obat inhalasi berbeda, Kerstjens dan teman-teman mengevaluasi ipreprotium dan terbutalin, beclomethasone iprotium, dan plasebodan terbutalin (77). Beclomethasone dan terbutalin, tapi tidak ipraprotium dan terbutalin, secara substansial menurunkan mortalitas, hiperresponsif dan obstruktif saluran napas. Harus dicatat, bahwa penelitian populasi terdiri dari kedua individu dengan asma dan pasien PPOK. 56% memiliki riwayat alergi.
Donohue dan teman-teman membandingkan ipraprotium dan albuterol yang diberikan 4 kali sehari dengan yang menggunakan fluticasone dan salmeterol yang diberi 2 kali sehari selama 4 minggu pada penelitian double blind yang dilakukan pada 352 pasien dengan PPOK (78). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2A, perubahan rata-rata pada FEV1 pasien yang menggunakan fluticasone dan salmeterol. Kemajuan pada Transisional Dyspnue Index adalah 2,7 U dengan fluticasone dan salmeterol disbanding 1,2 U dengan ipraprotium dan albuterol (gambar 2B). jumlah pasien yang mendapat perubah 1 U, perubahan klinis penting pada Transisional Dyspnue Index adalah 64% untuk kombinasi fluticasone dan salmeterol disbanding 44% pasien yang menggunakan kombinasi ipreprotium dan albuterol. Temuan pada penelitian ini telah ditiru oleh penelitian yang sama dan tanpa memperhatikan karakteristik dasar, seperti reversibelitas, status merokok, usia, dan fungsi paru, peningkatan pada Transisional Dyspnea Index dan FEV1 lebih besar pada kombinasi fluticasone dan salmeterol dari pada ipraprotiun dan albuterol (79). Hal ini mengindikasikan keuntungan penggunaan fluticasone dan salmeterol 2 kali sehari dari pada penggunaan ipraprotium dan albuterol 4 kali sehari pada pasien rawat jalan yang stabil. Frekuensi di Amerika Serikat, bahwa kedua kombinasi diresepkan untuk pasien yang sama, dengan fluticasone dan salmeterol digunakan sebagai rumatan dan ipraprotium dan albuterol digunakan sebagai obat pelega. Tidak ada penelitian yang menggunakan secara bersamaan kedua kombinasi.
Budisonite dan Formoterol Dibangdingkan Dengan Fluticasone dan Salmeterol
Sebuah pertanyaan penting, apakah budisonite dan formoteroi memiliki keuntungan lebih dibanding kombinasi ICS-LABA, fluticasone dan salmeterol. Sebuah perbandingan pada dosis konvesional dari budisonite dan salmeterol (400 dan 12 mikrogram, secara resfektif) dengan fluticasone, 250 µg, dan salmeterol, 50 µg, Cazzola dan teman-teman meneliti 16 pasien PPOK menggunakan pola silang (80). FEV1 AUC adalah 2.83 L dengan kombinasi fluticasone dan salmeterol dan 2.57 L dengan kombinasi budisonite dan formoterol. Kemajuan maksimal pada FEV1 terlihat 300 menit dan 120 menit secara respektif. Pada menit ke 720, peningkatan FEV1 melebihi batas adalah 0.10 L untuk kedua regimen. Tidak ada perbedaan signifikan antara regimen dengan peningkatan denyut jantung. Investigasi menyimpulkan bahwa efikasi dan keselamatan pada kedua kombinasi adalah sama.
Penelitian pada asma terkontrol, tidak ada perbedaan efikasi antara dosis fluticasone dan salmeterol yang telah dicukupkan, dosis budisonite dan formoterol yang tellah dicukupkan, dan dosis busonite dan formoterol yang disesuaikan selama 4 minggu (81). Setalah 6 bulan, ada sedikit eksaserbasi dan penurunan penggunaan obat pelega dengan dosis budesonite dan formoterol yang disesuaikan. Pada tahun kedua penelitian multicenter di Kanada, dilaporkan bahwa dosis yang diperbaiki/disempurnakan dari fluticasone dan formoterol adalah 250 dan 50 µg, menunjukkan eksaserbasi yang lebih sedikit dari pada penggunaan dosis rumatan (82). Akan menarik membuat perbandingan ini pada PPOK.
ISU KHUSUS PADA TERAPI KOMBINASI
Penggunaan Bersamaan Dibandingkan Penggunaan Bertahap
Satu pertanyaan relevan adalah, apakah kombinasi bronkodilator sedikit efektif dibandingkan penggunaan 2 obat secara bertahap. Selama bertahun-tahun pada terapi asma, onset cepat dari SABA diberi lebih dahulu, diikuti dengan pemberian ICS sebagai pembuka jalan napas. Pasien PPOK dengan serangan yang mengancam jiwa, antikoliner gik diberikan sebelum β-agonis, karena antikolinergik memiliki efek lebih dalam membebaskan jalan napas dibandingkan dengan β-agonis yang dapat tersimpan jauh didalam paru. Sebagai contoh, publikasi 1979 oleh Douglas dan teman-teman melaporkan efek pemberian albuterol 3 jam setelah pemberian ipraprotium (83). Kedua obat tersebut sama dalam meningkatkan nilai spirometri pada pasien dengan bronchitis berat, tetapi kombinasi keduanya lebih baik dari pada penggunaan tunggal obat-obat tersebut.
Baru-baru ini, Newnham dan teman-teman melakukan 2 penelitian bertahap dengan dosis tinggi dan dosis rendah terbutalin dan ipraprotium pada pasien PPOK (84). Ketika terbutalin diberi lebih dulu, ada perbedaa signifikan antara respon FEV1 rata-rata pada pemberian dosis tenggi dengan rendah terbutalin, tetapi ketika ipraprotium diberi lebih dulu, tidak ada perbedaan respon pada pemberian terbutalin dosis rendah atau tian terbutalin dosis rendah atau tinggi. Peneliti menyimpulkanbahwa ketika ipraprotinggi. Peneliti menyimpulkanbahwa ketika ipraprotium diberi lebih dulu, tidak ada keuntungan menambahkan terbutalin dosis tinggi. Penelitian pada 16 pasien PPOK stabil, pemberian formoterol 24 µg, diikuti pemberian oxitropium sebelum formoterol (85). Perbedaannya kecil: perubahan maksimal pafa FEV1 adalah 28% dengan formoterol diikuti oxitropium disbanding 20.9% dengan pemberian bertahap. Tidak ada kejadian yang menunjukkan bahwa ada keuntungan penggunaan bronkodilator bertaahap, dan pengguhap, dan penggunaan simultan lebih disukai karena cocok.
Satu Inhaler Dibanding Inhaler Terpisah
Dengan penggunaan data United Health Care, Chrischilles dan teman-teman menganalisa rekaman 428 pasien yang menggunakan ipraprotium dan β-agonis pada satu inhaler dan 658 pasien yang menggunakan inhaler terpisah (86). Penggunaan inhaler two-in-one dihubungkan dengan resiko yang lebih rendah kunjungan ke IGD atau perawatan di RS (resiko relative, 0.58; 95% CI, 0.36-0.94); rendahnya kunjungan bulanan ke pusat kesehatan (p=0.015); penurunan jumlah rawatan di RS (2.05 dibandinf 4.61 d, p= 0.040); dan komplians yang lebig besar (rasio, 1.77; 95% CI, 1.46-2.14). Pada penelitian yang terbatas pada pasien PPOK, Benayoun dan teman-teman meninjau 1 tahun data administrative pada 641 individu dan menemukan bahwa seluruh biaya dari terapi ipraprotium dan β-agonis lebih rendah denganinhaler two-in-one disbanding dengan inhaler terpisah, walau pasien diresepkan kombinasi inhaler menggunakan obat lebih (87). Pada pasien asma, gabungan fluticasone dan salmeterol pada Advair Discuss Device (Glaxo Smith Kline, Researcg Triangle Park, NC)menghasilkan peningkatan kecil PEF pagi hari dibandingkan dengan penggunaan inhaler terpisah (88). Peneliti berspekulasi pengantaran dua obat dari satu alat lebih baik dan meningkatkan kesempatan untuk munculnya efek sinergis. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan pada PPOK, karena kombinasi inhaler pada asma lebih cocok digunakan, yakinkan bahwa ICS tidak dilanjutkan ketika bronkodilator digunakan, dan lebih efektif dari segi biaya.
Efek Dari Tipe Alat
Kassner dan teman-teman baru-baru ini meringkas penelitian pivotal pada Respimat Soft Mist Inhaler, propellant-free inhaler (90). Semua laporan mereka, dua fase penelitian II dan dua fase penelitian III pada pasien asma, dan sebuah penelitian fase III pada pasien PPOK telah dievaluasi efikasi dan keselamatan dari penggunaan kombinasi ipraprotium dan foneterol (Berodual: Boehringer Ingelheim, Ingelheim, Jerman) oleh respiran atau oleh kandungan kloroflourokarbon menekan dosis inhaler. Sebuah alat batu dapat menurunkan dosis nominal dari ipraprotium dan foneterol karena perubahan posisi paru. Pada laporan terpisah, Kilfeather dan teman-teman menggambarkan hasil penelitian yang hampir sama, yang melibatkan 892 pasien dengan PPOK sedang hingga berat (91). Pada hati ke 85, efikasi dan keselamatan dari Berodual adalah sama, apakah obat ini dihantarkan Respimat atao kloroflourokarbon menekan dosis inhaler, dan menukar dari dosis inhaler Respimat ditoleransi baik.
Penelitian 38 pasien PPOK mendomonstrasikan terapi ekivalen dari Berodual diinhalasi sebagai bubuk kering atau dengn menekan dosis inhaler (92).
Efek Rute Pemberian
Bukti biopsi belakangan ini dari inflamasi dan obstruksi persisten dari saluran napas kecil pasien PPOK (93) memunculkan pertanyaan pemberian bronkodilator sistemik. Pada pasien dengan penyakit yang lebih parah, banyak obat aerosol disimpan yang berpengaruh kuat pada jalan napas yang lebih besar dan sedikit mengendap pada bronkus kecil. Pada penelitian baru-baru ini, efikasi terpi bronkodilator oral dengan aminofilin (400 mg) dan terbutalin (5mg) dibandingkan dengan inhalasi albuterol pada 17 pasien PPOK (94). Pada manit ke 30, 60, dan 120 setelah pemberian, albuterol memperbaiki FEV1 secara signifikan disbanding dengan terepi oral. Efek samping tercatat pada 13 dari 17 pasien setelah terapi oral dan tidak ditemukan efek samping pada pasein yang mneggunakan albuterol. 14 pasien, bronkodilatasi maksimal terjadi pada penggunaan albuterol tunggal; penambahan terapi oral tidak bermanfaat. Ketika menggunakan bronkodilator pada PPOK, rute pemberian inhalasi lebih disukai dari pada rute oral karena lebih banyak efikasi dan keselamatan. Obat oral tidak menunjukkan efek lebih kecuali untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi. Penggunaan kecil, formula baru yang mengandung hidrifluoroalkalin yang memberikan tekanan terhadap dosis inhaler, secara teori disimpan lebih perifer, tetapi belum dikonfirmasi karena penelitian yang sulit dijalan napas kecil.
Efek Terhadap Jenis Kelamin
Wanita lebih rentan terhadap progesivitas PPOK dari pada laki-laki, dengan hiperresponsif yang lebih besar terhadap metakolin, lebih banyak kematian, dan penurunan yang lebih besar pada FEV1 jika merokok. Adapun beberapa penelitian telah mengekplorasi perbedaan jenis kelamin pada respon terapi PPOK. Vestbo dan teman-teman mengevaluasi efek jenis kelamin terhadap respon terapi fliticasone dan salmeterol padaa penelitian TRISTAN (uji coba inhalasi steroid dan β-agonis kerja lama) (95). Dibandingkan dengan plasebi, terapi kombinasi terhadap kenaikan FEV1 sebelum terapi adalah 152 ml (95% CI, 95-208) pada wanita dan 127 ml (95% CI, 94-159) pada laki-laki, menurunkan eksaserbasi sebanyak 31% (95% CI, 9-48%) pada wanita dan 23 %(95% CI, 8-35%) pada laki-laki; dan peningkatan status kesehatan, mengubah nilai -2,3 poin (95% CI, -4.6 hingga -0.1)pada wanita dibanding -2 poin (95% CI, -3.5 hingga -0.8) pada laki-laki pada St. George’s Respiratory Quessionnaire. Fluticasone dan salmeterol sama efektifnya pada kedua jenis kelamin. Tidak ada perbedaan terjadinya efek samping pada kedua jenis kelamin.
Penurunan Tahunan Pada FEV1
Data yang tersedia tentang efek terapi kombinasi pada penuruna rata-rata FEV1 tahunan, karena penelitian 3 tahun atau lebih pada durasi dibutuhkan. Penghentian merokok menurunkan penurunan rata-rata dari 60% ke 30% ml/tahun (96). Ipraprotium, ICS, dan N-asetilsistein tidak mempengaruhi penuruan rata-rata FEV1 (96). Efek tambahan terapi α1-antitripsin tidak meyakinkan, pada National Hesrt, Lung, and Blood Instnstitutee Registy menu Registy menunjukkan efek hasil study control adaalah negative (97). Tiotropium debandingkan dengan plasebo pada uji coba selama 3 tahun (UPLIFT) (98). Penelitian TORCH yang dilakukan terus-menerus akan member informaso penting tentang efek fluticasone dab salmeterol padaa FEV1. (66).
KESIMPULAN
Diketahui bahwa klasifikasi kombinasi obat, khususnya bronkodilator, berguna pada terapi PPOK. Kombinasi bronkodilator menambah efektivitas, menambah komplians, dan menurunkan biaya tanpameningkatkan efek samping. Sebagai tambahan, kombinasi ICS-LABA terlihat lebih baik disbanding plasebo terhadap respon fungsi paru, eksaserbasi, dan kualitas hidup. Ada hasil bertentangan ketika kombinasi ICS-LABA dibandingakan dengan komponen individu, kecuali fungsi paru. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk membandingakan dosis yang lebih tinggi dan perbedaab klasifikasi, seperti ICS-LABA dibandingkan dengan antikolinergik dan theofilin, dan ICS-LABA dibandingkan dengan antikolonergik dan fosfodiesterase 4 inhibitor.
Data lebih lanjut dibutuhkan tentang:
•Terapi kombinasi yang paling aman
•Efek dari hasil kombinasi yang berguna bagi pasien, seperti sesak napas yang disebabkan hiperinflasi
•Apah efek keuntungan ICS-LABA berkurang pada pasien yang lebih tua dengan penyakit yang lebih parah (contohnya prediksi FEV1<50%), seperti satu penelitian yang ditunjukkaan (99), atau pada eksaserbasi yang sering.
•Apakah ada kombinasi optimal (contohnya antikolinergik dan LABA, ICS-LABA, antikolinergik-ICS-LABA, ICS dan theofilin, antikolinergik,LABA dan fosfodiesterse 4 inhibitor.
•Peran obat-obat baru dalam kombinasi terapi (contohnya, ciclesonite, R*R1, formoterol, QAB 149).
•Perbandingan kombinasi inhaler two-in-one dengan pemberian dua obat terpisah.
•Efek kombinasi terapi terhadap pasien yang bertahan hidup.
•Efek kombinasi terapi terhadap inflamasi jalan napas, termasuk jalan napas kecil.
•Keuntungan jangka panjangkombinasi terapi.
•Efek farmakoekonomi pada kombinasi terapi.
Penelitian kombinasi terapi untuk PPOK adah suatu hal yang dinamis yang memerlukan ketertarikan dan keantusiasan dokter untuk mengembangkannya ke masa depan.
Kata kunci : β agonis, kortikosteroid inhalasi; theophilin
Hasil dari terapi untuk PPOK adalah untuk mencegah progesifitas penyakit, mengobati gejala, status kesehatan yang lebih baik, mencegah dan mengobati komplikasi dan eksarserbasi, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah atau meminimalisir efek merugikan dari pengobatan (1). Pada artikel ini menjelaskan bagaimana kombinasi terapi farmakologi yang baik untuk hasil yang sempurna.
Dua skema kombinasi yang lebih sering digunakan untuk pengobatan PPOK adalah anti kolinergik kerja singkat plus short-acting β agonis (SABA), dan kortikosteroid inhalasi (ICS) plus long-acting β agonist (LABA) dua kombinasi ini disetujui oleh Food and Drug Administration untuk COPD, ipratropium dan albuterol, dan fluticasone dan salmeterol, adalah masing-masing contoh. Pada artikel ini menjelaskan penelitian seperti kombinasi dan banyak tipe lainnya dari kombinasi yang dicoba, termasuk teophilin plus antikolinergik short-acting bronkodilator atau LABA, antikolinergik short-acting plus LABA, dan anti kolinergik plus SABA atau LABA.
Petunjuk The American Thorachis Society/ Eouropean Respiratory Sosiety (2) dan petunjuk the Global Iitiative for Chronic Obstructive Lung Disease (1) direkomendasikan sebagai gejala COPD yang progress, pasien dapat menerima pengobatan secara regular dengan satu atau lebih bronkodilator long-acting, dan pada ICS jika pasien dengan esaserrbasi berulang. Ketetapan nonfarmakologik, disetujui penawaran dengan terapi kombinasi, adalah hal-hal yang perlu untuk penanganan COPD pada semua staging dari penyakit. Termasuk berhenti merokok, menghidari factor pencetus yang menyebabkan alergi
SHORT-ACTING ANTICHOLINERGIC PLUS SABA
Antikolinergik dan β agonis memiliki mekanisme yang berbeda untuk mengurangi brokokonstiksi, dan ada suatu rangkaian cerita yag panjang dari terapi kombinasi dengan kelas obat . pengunaan dari kombinasi yang bias dizinkan dengan dosis yang rendah dan dengan cara memperbaiki secara aman. Nilai dari kombinasi dosis rendah dari antikolinergik short-acting dan SABA mempunyai hubungan, penggunaan ipratropium atau oxitropium seperti antikolinergik dan albuterol,metaproterenol, fenoterol, atau terbutalin seperti β agonis . dimana agen yang dikombinasikan pada tekananan udara yang diukur dari inhalasi campuran aerosol. Sin dan rekan kerjanya mempunyai data yang lengkap dari percobaan terhadap antikolinergik short-acting dan kombinasi-kombinasi SABA dimana lebih dari 3 mo pada durasi dan secara kolektif terhadap 1,399 pasien (3). Hasil terapi kombinasi sebanyak 32 % (95 % interval kepercayaan [CI],9-49%) berkurang pada esaserbasi dibandingkan monoterapi, tapi tidak ada perbedaan pada angka kematian.
Ukuran Tekanan Dosis Inhalasi
Terapi kombinasi inhalasi pertama didahului pada United States was Combivent ( Boehringer- Ingelheim, Ridgefield,CT), kombinasi dari ipratropium , 21µg, diberikan 2 semprotan dari suatu dosis inhalasi dengan tekanan udara yang telah terukur 4 kali sehari. Pada 85-d percobaan multicenter dari 534 pasien COPD dibandingkan kombinasi dengan tiap agennya sendiri (4). Kombinasi paling baik diatas pada efek puncak, pada efek selama empat jam pertama setelah dosis dierikan, dan pada total area dibawah FEV1 curva wakturespon (FEV1AUC) gambar 1). Rata-rata persentasi meningkat lebih dari garis dasar dimana 31-33% untuk kombinasi. 24-25% untuk ipratropium sendiri, dan 24 sampai 27 % untuk albuterol sendiri. Skore gejala tidak ada termasuk bila lewat waktu. Keuntungan dari kombinasi lebih pada lebih besar komponen individual menjadi lebih baik pada 4 jam pertama setelah administrasi. Seperti yang diperlihatkan pada gambar 1, biasanya , terapi kombinasi seperti short-acting dan monoterapi; perbaikan pada FEV1memotong dibawah 155 oleh 5 jam administrasi dari ketiga regimen.
Ikeda dan rekan kerjanya setelah itu memperlihatkan pada studi banding tentang kombinasi dosis standar dari ipratropium dan albuterol (masing-masing 40 µg dan 200µg) hasil bronkodilator yang lebih besar pada 26 pasien dengan COPD stabil dan dosis standar dari ipratropium (5) . pada studi banding dari 20 pasien, ipratropium dan albuterol, tapi bukan pada masing-masing agen. Superior pada placebo untuk mengobati dypneu, menghilangkan gejala mayor pada COPD, selama 12 menit saat test berjalan (6). Tidak ada perubahan yang signifikan yang diperlihatkan dari 3 regimen.biasanya, keepakatan terhadap gejala harian atau komponen dyspneu dari Chronic Respiratory Disease Questionnaire. Pada yang didapat dalam 29 hari studi dari 357 pasien dengan COPD. Ipratropium dan albuterol diatas terhadap albuterol sendiri dengan respek terhadap puncak FEV1 dan rata-rata FEV1. tapi mamfaat tidak ada pada akhir setelah 4 jam(7). Score gejala secara luas lebih baik dengan kombinasi, tetapi perbedaan secara statistik tidak signifikan. Sesuai klinis dari yang kecil tapi perubahan yang signifikan pada puncak FEV1dan FEV1AUC adalah tidak hilang (8).
Terapi kmbinasi dengan Ipratropium dan albuterolbisa memperoleh keuntungan farmakoekonomik. Friedmen dan rekan kerjanya membandingkan dengan ipratropium itu sendiri atau albuterol itu sendiri, Ipratropium dan albuterol ada perbaikan FEV1 dan FEV1AUCdan mengurangi esaserbasi dan lama rawatan di rumah sakit,dengan cara menurunkan biaya keseluruhan (9).
Fenoterol, suatu SABA yang tidak dibolehkan di United States, kombinasi dengan ipratropium (Duovent[ipratropium, 80 µg, dan fenoterol ,200 µg]; Boehringer- Ingelheim, Ingelheim,Germany) dengan meningkatkan efek bronkodilator. Angka studi dibandingkan antara ipratropium dan fenoterol dengan monoterapi dengan tiap agen mempunyai nilai keefektifan bronkodilator lebih besar dengan kombinasi. Biasanya kombinasi suatu substansi bronkodilator memiliki efek yang lebih pada 3- jam pertama, dan pada suatu studi ditemukan . masa kerja 7 jam, dengan 6 jam untuk albuterol plus fenoterol, dengan tidak meningkatkan efek yang merugikan (10).Huhti dan poukkula mengobservasi efek subjektif yang merugikan dimana lebih sering dengan fenoterol,400µg, dibandingkan dengan Duovent atau 80 µgipratropium itu sendiri (11). Ketika dibandingkan dengan albuterol,200µg, pada 24 pasien dengan COPD,ipratroium, 40 µg, plus fenoterol,100µg, diproduksi sebanding dengan peningkatan maksimal pada FEV1(32 dengan 31% albuterol)dan sebanding dengan penurunan pada khususnya jalan nafas yang resistan (24 dengan 21% albuterol)(12). Pada 8 jam ipratropium dan fenoterol secara signifikan lebih baik dibandingkan placebo, dan pada pasien yang respon terhadap ipratropium pada dasarnya, fenoterol selanjutnya lebih ke bronkodilatasi (12). Pada suatu studi dari 20 pasien dengan COPD, Grassi dan rekan kerjanya memasukan ipratropium,40µg,plus fenoterol,100µg, yang paling banyak terbutalin 250µg, dengan inhalasi pada hari ke 7 dan 14 termasuk dari bronkodilatasi yang persisten (13). Seperti β agonis lainnya, fenoterol secara perlahan merangsang ventilasi selama bekerja, tapi itu efek pada jantung dan pengambilan oksigen adalah tidak berbeda dari placebo, pada masa istirahat atau selama kurang maksimal atau maksimal bekerja (14).
Kemungkinan lain penggunaan terapi kombinasi pada COPD adalah untuk test reversibility bronkodilator. Pada dua multicenter, 3 mo,percobaan yang dikontrol secara acak, 1,067pasien dimana di evaluasi respon terhadap ipratropium,albuterol, atau kombinasi. (15). Itu diperlihatkan pada analisis retrospektif, penggunaannya meningkat 12 atau 15 % pada FEV1 menurunkan suatu respon yang positif, kombinasi superior (p<05) terhadap agen individual dan < 80% dari respon pasien terhadap kombinasi dalam 30 menit. Studi lebih lanjut diperoleh hasilnya adalah penting untuk menilai determinan dari terapi selanjutnya.karena berisi chlorofluorocarbon dengan tekanan dosis inhalasi adalah pada fase terakhir menghasilkan konsentrasi yang aman bagi lingkungan, studi banding dengan inhalasi bubuk kering yang baru dan mengandung hydrofluoralkane dengan tekanan dosis inhalasi.
TERAPI KOMBINASI DIBANDINGKAN DENGAN OBAT TUNGGAL BERDOSIS MAKSIMAL
Walaupun bronkodilatasi yang maksimal bisa dicapai dengan dosis tinggi dari agen single, kombinasi dua kelompok brokodilator diizinkan penggunaan dengan dosis yang rendah, dengan keefektifan yang sama dan efek baru yang merugikan (table 1). Studi Serra dan rekan kerjanya secara gradual peningkatan dosis dari fenoterol (dosis komulatif 100,200,400,800 dan 1600µg), ipratropium (40,80,160,320 dan 640µg) dan kombinasi (100/40,200/80, dan seterusnya)pada Sembilan pasien dengan obstruksi jalan nafas segian (16). Rata-rata dengan tiga produk , efek bronkodilator memperlihatkan suatu korelasi yang linier dengan logaritma dari dosis yang diberikan. Efek-efek yang merugikan, buktinya tremor dimana hilang dengan kombinasi dibandingkan dengan fenoterol itu sendiri . curva respon terhada tiga dosis diungkapkan pada saat memasukan dari perbaikan pada FEV1, dan semprotan ipratropium dan fenoterol 100/40 sama dari fenoterol (200µg) dan memasukan empat dari ipratropium (160µg) agen kombinasi itu berasal paling mungkin pada efek pemeliharaan bronkodilator untuk memperbaiki nilai terapeutik.
Pada studi dari 20 pasien dengan COPD , Eastn dan rekan kerjanya memberikan albuterol atau ipratropium dengan dosis maksimal, kemudian dibandingkan efek dari kelanjutan obat lainnya dengna efek dari penambahan placebo (17). Ketika digunakan sendiri , dua agen menurunkan hiperinflamasi dan meningkatkan aliran udara yang sama lebihnya. Ketika kedua agen dilanjutkan, dimana tidak ada penambahan yang bermamfaat , mungkin dari penggunaan dosis yang tinggi . biasanya, pengelompokannya adalah dikombinasikan untuk memperoleh keuntungan dari suatu profil keefektifan dan keamanan yang lebih baik.
LARUTAN AEROSOL
Ipratropium dan albuterol adalah juga tersedia dalam bentuk larutan inhalasi dengan mamfaat yang lebih dari tiap komponen dengan tidak meningkatkan efek yang merugikan. Dengan kombinasi dimana suatu peningkatan pada respon akut spirometri dan saat PEF dasar pada pasien dengan COPD pada 1 hari, dan seperti perbaikan-perbaikan terhadap 85 d. lama dibandingkan dengan mamfaat dari komponen individual(18). Pada hanya 12 –wk perbandingan, pada 652 pasien dengan COPD, kombinasi meningkatkan puncak FEV1 oleh 26% albuterol itu sendiri,28% lebih ipratropium itu sendiri, dan FEV1 AUC lebih meningkatkan ipratropium itu sendiri dan albuterol (p<001)(19). Secara mengejutkan, pada suatu studi dari pasien dengan eksaserbasi akut dari COPD. Dimana tidak bermamfaat dari nebul ipratropium dan albuterol kelebihan albuterol itu sendiri dengan respek terhadap hasil spirometri itu sendiri atau rata-rata meningkatkan rawatan dirumah sakit (20).
Ipratropium juga dikombinasikan dengan nebul larutan inhalasi metaproterenol, perubahan pruduk yang sama pada FEV1 (21). pada suatu study dari 213 pasien dengan COPD, rata-rata FEV1 dan FVC dimana lebih tinggi secara signifikan dengan ipratropium dan metaproterenol dibandingkan dengan metaproterenol itu sendiripada tes hari pertama ,43,dan 85, dan dimana tidak ada peningkatan pada efek merugikan . durasi dari aksi secara signifikan lebih lama terhadap terapi kombinasi pada tes hari pertama dan 43. Tiap regimen , biasanya, mempunyai efek yang cukup besar pada pagi dengan PEF dasar, gejala respiratori, atau kualitas hidup.
KOMPONEN LARUTAN AEROSOL
Terbaru , dimana memiliki suatu peningkatan pada komponen dari larutan aerosol ( formulasi dari produk off-brand) oleh pharmacies dan lainnya, yang mana faktanya target terhadap pasien dengan COPD dimana terdaftar pada medicare. Praktek ini adalah berjalan pada bagian dalam untuk konsumen melalui iklan di televise dan industry kesehatan rumah lainnya. Petunjuk pabrikasi secara tegas adalah sebagai berikut, karena PH, osmolariti, dan stabilitas dari campuran ipratropium dan albuterol hilang dengan membatasi parameter. Qualitas dari agen yang diproduksi oleh komponen yang tidak diregulasi yang dipertanyakan. Terutama karena beberapa kombinasi adalah tidak dipubrikasi dalam keadaaan streril yang rendah. Dan beberapa hubungan tidak terbuka untuk memecahkan atau bukan tes campuran. Food and Drug Administration mengirim surat peringatan terhadap beberapa perusahaan . Food and Drug Administration-menyetujui formulasi ipratropium dan albuterol. , DuoNeb (Dey LP,Napa,CA). adalah tersedia , dan pada suatu studi dilaporkan pada 24% perbaikan yang lebih besar pada puncak PEF1 dibandingkan yang diperlihatkan dengan albuterol itu sendiri (p<001),dan besarnya 37% dibandingkan ipratropium itu sendiri (p<001) (22). Pada yang dilampirkan dari FEV1AUC, DuoNeb melaporkan pada 30% lebih baik terlihat dengan albuterol itu sendiri(p<001)dan 32% lebih dibandingkan dengan ipratropium itu sendiri(p<001). Hasil itu adalah sama dengan yang ditemukan dari percobaan pivotal dari combivent. Kesehatan fisik terhadap pasien dengan COPD dibutuhkan untuk secara tertutup merupakan komponen awal dari Food and Drug Administrationdan kelompok professional untuk hasil yang menguntungkan bagi pasien dengan terpi kombinasi aerosol yang aman.
THEOPHILIN ORAL PLUS BRONKODILATOR KERJA SINGKAT
Theophilin oran, suatu bronkodilator long-acting , dikombinasikan dengan SABA atau antikolinergik short-acting pada pengobatan COPD pada beberapa tahun berikut. Efek dari thophilin pada esarsebasi dan angka kematian adalah masih controversial, karena banyak studi yang sudah lama tidak memperoleh kekuatan secara adekuat untuk evaluasi pada point terakhir. Theophilin meningkat pada FEV1 dan memperbaiki gas darah arteri, tapi meningkatkan mual (3,23). Antikolinergik adalah bronkodilator yang lebih poten dibandingkan theophilin pada COPD, peningkatan FEV1 31 pada 17% untuk thophilin (24).
Ram dan rekan kerjanya (23) baru saja melengkapi secara sistematik dari keefektifan dari theophilin oral pada COPD. FEV1 dan FVCdiperbaiki dengan theophilin (beratnya rata-rata perbedaannya 0,10 L,95%CI, 0,04-0,16: dan berat rata-ratanya dengan perbedaan 0,21L:95% CI, 0,10-0,32) mamfaat dari theophilin dapat ada aditif.
Pada suatu studi banding 16 pasien dengan COPD yang berat dengan dosis tinggi albuterol berikut melalui theophilin dosis tinggi, dan regimen berbeda (25 ). Meningkat pada FEV1 dengan albuteron itu sendiri adalah 24% dari hasil awal, 17% dengan theophilin itu sendiri, respon terhadap dua agen dimana tanpa ada bahan tambahan dari obat yang pertama diberikan. Dengan menarik pasien dengan reversibility terhadap albuterol memperlihatkan peningkatan besar pada FEV1 ketika theophilin diteruskan (32% dari dasar), dimana lebih sedikit obstruksi berulang yang diperlihatkan tidak ada mamfaat tambahan ketika theophilin ditambahkan dari observasi didapatkan pertanyaan dari rasio resiko-mamfaat dari terapi theophilin terhadap pasien dengan jarang kambuh obstruksi. Rekomendasi lainnya berbeda : theophilin diberikan untuk pasien dengan bronkodilator yang ireversibel(26).
Pada suatu studi banding 16 pasien dengan COPD, ipratropium dan theophilin produknya meningkat lebih besar pada FEV1,maksimal konsumsi oksigen,,maksimal waktu ventilasi, dan rasio dyspneu yang lebih luas dibandingkan dengan placebo(27). Suatu kelompok studi parallel dari 236 pasien dengan COPD memperlihatkan oxitropium, dan oxitropium dan theophilin, dimana lebih efektif dibandingkan theophilin itu sendiri pada perbaikan FEV1.PEF rate dan total skor dan total gejala pada St.George’s Respiratory Questiionnaire, pada petunjuk untuk evaluasi status kesehatan dan kwalitas hidup(28). Perbedaan dimana tidak signifikan secara statistic kecuali untuk PEF rate. Nishimura dan rekan kerjanya seterusnya theophilin sampai pengobatan ipratropium dan albuterol dari 24 pasien dengan COPD stabil(29)theophilin memiliki sedikit efek bronkodilator selama 60 menit tapi tidak mengurani gejala , walaupun delapan pasien dilakukan penelitian secara subjektif bermamfaat dengan theophilin. Karpal dan rekan kerjannya membandingkan ipratropium itu sendiri,theophilin dan albuterol dan tiga agen pada 48 pasien dengan COPD(30). Tiga kombinasi teratas pada efek bronkodilator terhadap dua regimen lain. Tapi tiga kombinasi dan albuterol dan theophilin secara signifikan meningkatkan laju jantung dibandingkan dengan ipratropium itu sendiri.
Banyak dari studi dari regimen termasuk theophilin terlihat hanya sedikit perbaikan pada bronkodilator seperti mahalnya, meningkatnya efek yang merugikan. Mungkin lebih menjanjikan adalah potensial dari theophilin untuk menurunkan ICS resisten oleh histone deacetylatyion inhibition (31).
KOMBINASI-KOMBINASI TERMASUK SUATU LABA ATAU ANTIKOLINERGIK KERJA LAMA
Antikolinergik long-acting (glycopyrrolate, yang mana bekerja diatas 24 jam pada arus formulasi, dan tiotropium) dan LABA (salmeterol dan formoterol) dibandingkan dengan long-acting dan agen long-acting dari kelas lainnya.
Antikolinergik Long-Acting Plus LABA
Salmeterol, ketika dilanjutkan untuk melakukan terapi antikolinergik pada percobaan selama 6 bulan termasuk 408 pasien COPD, secara signifikan memperoleh perbaikan FEV1 dibandingkan dengan placebo pada 4,8 dan 16 minggu(32). Kelompok salmeterol juga memperlihatkan perbaikan signifikan pada pagi hari PEF rate lebih dari 24 minggu, dan pasien baru pada kelompok salmeterol mempunyai esaserbasi dari COPD dibandingkan dengan kelompok placebo. Pada percobaan dosis tunggal dari 144 pasien, salmeterol menghasilkan peningkatan yang signifikan pada FEV1(puncak dari 7% yang diperkirakan) dan ipratropium dan salmeterol menimbulkan respon bronkodilator yang lebh besar (meningkat 11%)dibandingkan salmeterol sendiri selama 6 jam pertama (33). Cazzola dan rakan kerjanya mendirikan suatu studi kecil setelah pretreatment dengan salmeterol, satu dosis rendah dari ipratropium dihasilkan efek yang tidak berkelanjutan. Tapi dosis tinggi dari oxiTROPIUM (600 µg) yang diberi 2 jam kemudian meningkatkan FEV1 0.152 L (95% CI, 0.124-0,180L) (34).
Formoterol juga telah dikombinasikan dengan antikolinergik kerja singkat. Sebelum pemberian obat formoterol, oxitropium dosis tinggi (600 µg) meningkatkan FEV1 dari 0.082 ke 0.087 L (35). Ipraprotium dan formoterol meningkatkan FEV1 menjadi 335.2 ml (SE 24.6), lebih baik dari pada penggunaan tunggal ipraprotium (p<0.05) (36). Secara terpisah, ipiraprotium dan formoterol secara signifikan lebih efektif dari pada kombinasi ipratropium dan albuterol pada 172 pasien yang yang masih meninggalkan gejala pada penggunaan tunggal ipratropium, dengan pengingkatan laju PEF (p<0.0003), FEV1auc (p<0.0001), dan nilai gejala total rata-rata (p<0.0042) (37).
Antikolinergik Kerja Lambat dengan β-Agonis
Glycopyrrolate telah dibandingkan dengan metoproterenol atau dalam bentuk kombinasi keduanya. Pada 11 pasien dalam penelitian dengan PPOK, efek brongkodilatasi dari glycopyrrolate hamper sama dengan meteproterenol hanya lebih lama sedikit (8 jam dengan 5 jam) (38). Efek metoproterenol den glycopyrrolate lebih besar dibanding dengan penggunaan monoterapi dari obat-obat tersebut ( kemajuan persentasi puncak rata-rata FEV1 adalah lebih dari 35% dengan kombinasi dibandingkan 25% pada penggunaan monoterapi). Pada IGD diperkotaan, kombinasi glycopyrrolate dan albuterol lebih efektif dibanding penggunaaan albuterol saja pada pasien dengan PPOK eksaserbasi( kemajuannya 56 banding 19% pada FEV1 dari nilai sebelum terapi, p=0.008) (39).
Cazzola dan coworker membandingkan tiotropium, salmetarol, dan kombinasi pada penelitian 20 pasien dengan PPOK (40). Peningkatan maksimal rata-rata FEV1 adalh 0.165 L ( 95% CI, 0.0098 – 0.232) untuk tiotropium; 0.241 L ( 95% CI, 0.151 – 0.332) untuk salmeterol; dan 0.290 L (95% CI, 0.228 – 0.353) untuk kombinasi. Setelah 12 jam terjadi peningkatan rata-rata FEV1 dari nilai sebelum terapi 0.071 L (95% CI, 0.001 – 0.141; p= 0.010) untuk tiotropium; 0.069 L ( 95% CI, 0.018 – 0.120; p= 0.010) untuk salmeterol; dan 0.108 L ( 95% CI, 0.047 – 0.170; p= 0.001) untuk kombinasi. FEV1 AUCs untuk 0- 12 jam dan 0-24 jam pada kombinasi. Perubahan klinis ini kecil, bagaimanapun, dan salmeterol masih perlu diberi dosis dua kali sehari. Penemuan abstrak pada dua uji terpisah pada tioprotium dan formeterol oleh van Noord dan teman kerjanya menemukan substansial lebih secara statistic efek aditif pada kedua FEV1 dan FVC (41, 42).
Saat dikombinasikan dengan tiotropium, LABAs memberi tambahan efek bronkodilator. Apakah pemberian sekali sehari sudah cukup belum jelas hingga saat ini. Hal tersebut mungkin akan diperdebatkan, karena new ultra-LABA, seperti carmeterol, indacaterol, dan R-R’ formoterol, sangat jauh dari perkembangan. Obat-obat ini harus membuat dosis lebih cukup dan menurunkan gejala-gejala ketika dibandingkan dengan β-agonis kerja cepat.
Theophilin dengan LABA
Theophilin telah dikombinasikan dengan salmeterol pada dua penelitian pasien PPOK. Ketika theophillin dan salmeterol dibandingkan dengan komponen individu, pada ketiga grup. Kombinasi keduanya menghasilkan kemajuan lebih besar pada fungsi paru dan menurunkan gejala-gejala tanpa banyak meningkatkan efek samping (43). Dibandingkan dengan fluticasone dan salmeterol, bagaimanapun, kombinasi theophilin dan salmeterol kurang menghasilkan kemajuan pada FEV11 (44).
ICS dengan LABA
ICS awalnya dikombinasikan dengan LABA pada pengobatan pasien asma (45). Dibandingkan dengan monoterapi dengan komponen individu, kombinasi ICS dengan LABA menghasilkan kemajuan signifikan pada semua parameter FEV1, termasuk efek puncak, efek rata-rata, AUC, dan efek predosis. Pada asma, kombinasi ICS-LABA tidak lebih rendah untuk peningkatan dosis ICS duakali lipat (46) atau bahkan peningkatan hingga empat kali lipat.
Pada pasien dengan PPOK, kombinasi fluticasonen dan salmeterol meningkatkan FEV1, FEV1 puncak, FEV1 rata-rata, dan FEV1 AUC dibandingkan dengan monoterapi (48-50). Kombinasi fluticasone, 500 mikrogram, dan salmeterol 50 mikrogram, menyebabkan kemajuan pada transisional Dyspnue Index (50), tapi tidak meningkatkan FEV1 ke tingkat yang lebih besar dengan fluticasone 250 mikrigran dan salmeterol 50 mikrogram (49), jadi tampaknya tidak ada hubungan pada respon dosis. ICS dosis tinggi, ketika ditambahkan pada bronkodilator, menghasilkan status kesehatan tanpa peningkatan signifikan pada fungsi paru (51). Dal Negro dan rekan kerjanya melaporkan penurunan eksaserbasi pada pasien dengan PPOK yang sebelumnya diterapi dengan theophilin yang diganti dengan kombinasi fluticasone dan salmeterol, salmeterol, dal placebo (52). Kombinasi obat tersebut bekerja cepat, dengan pengingkatan pada PEF dan berkurangnya sesak napas pada hari kedua dengan salmeterol dan kombinasi dengan plasebo.
Formeterol digunakan untuk obat penyelamat, karena efeknya secepat albuterol. Dengan memiliki respon dosis, jadi dosis yang lebih tinggi atau dosis lebih dari normal dapat diberi jika pasien memburuk (54). Prinsip fleksibelitas atau dosis rumatan yang sesuai telah membuat budesonide dan formeterol pilihan popular untuk kombinasi terapi dengan Turbuheler atau sebagai inhaler pada asma. Pada pasien PPOK, Szafranski dan rekan kerjanya mengobservasi kemajuan langsung pada FEV1 dengan konbinasi dibandinga dnegan budesonide saja, tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan (55). Penelitian Calverley dan rekan kerja nya mengkonfirmasi penemuan ini (56). Dua uji yang berbeda pada penelitian Calverly melibatkan pengobatan dnegan prednisone(30 mg OD) dan formeterol selama 2 minggu.
Review sistemik dari ICS dan LABA
Nannini dan rekan kerjanya membuat review sistemik dari 6 penelitian, secara kolektif yang melibatkan 4,118 peserta dengan PPOK, yang membandingkan budesonite dan formeterol atau fluticasone dan salmeterol dengan monoterapi berkomponen individu dan plasebo (57). Mereka menganggap kedua kombinasi lebih baik dari pada plasebo dan menghasilkan kemajuan klinis yang berarti pada fungsi paru, eksaserbasi rata-rata, dan kualitas hidup. Sin dan para koleganya memiliki kesimpulan yang sama ketika menganalisa 3 pengujian (2,951 pasien) (3).
Secara spesifik, berhubungan dengan fungsi paru, kedua kombinasi menyebabkan perbedaan signifikan kecil ketika membandingkan dengan monoterapi ICS (3,57). Fluticasone dan salmeterol menyebabkan kemajuan kecil daripada penggunaan salmeterol tunggal, tetapi budesonite dan formeterol tidak lebih baik dari pada penggunaan formeterol tunggal(3,57). Kombinasi terapi lebih efektif dalam peningkatan FEV1 dari plasebo (34 ml/yr; 95% CI, 76-126 ml/yr); monoterapi LABA (50ml/yr; CI, 11-57 ml/yr); atau monoterapi ICS (50ml/yr; 95% CI, 26-75 ml/yr) (3). Perbedaan klinis minimal penting pada FEV1 belum dapat ditegakkan secara pasti, tetapi gambaran pada 100 ml correlate peningkatan pada sesak napas dan eksaserbasi dan dalam batas nilai yang ditemukan oleh administrasi obat dan makanan pada obat-obat kerja lama.
Nannini dan rekan kerja menemukan bahwa eksaserbasi jadi berkurang dengan penggunaan kombinasi dari pada penggunaan plasebo atau LABA, tetapi tidak ketika dibandingkan dengan ICS. Efek klinis adalah pencegahan pada satu eksaserbasi selama 2-4 tahun pada terapi kombinasi (57). Sin dan rekan kerja memasukkan kombinasi ICS dan LABA dihubungkan dengan eksaserbasi signifikanyang lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi LABA
Nannini meta-analisis memasukkan bahwa perbandingan fluticasone dan salmeterol dengan fluticasone tunggalmenghasilkan data yang berbeda pada kualitas hidup, dimana tidak ada perbedaan ketika fluticasone dan salmeterol dibandingkan dengan salmeterol (57). Budesonite dan formoterol menunjukkan gejala-gajala dibandingkan dengan monoterapi budesonite tanpa moneterapi formoterol, dan perbandingan menghasilkan data berbeda pada kualitas hidup (table 2). Pada penelitian Sin dan teman-teman, kemajuan rata-rata pada nilai kuesioner St. George’s Respiratory dengan kombinasi terapi, dibandingkan dengan plasebo, adalah -2.4 (95% CI, -3.4 hingga -1.4), yang menghasilkan perbedaab klinis untuk alat ini, -4 poin (3).
Fluticasone dan serevent
Hasil Plasebo Fluticasone Serevent
Fungsi paru + + +
Eksaserbasi + - +
Kualitas hidup + +/_ -
Gejala-gejala + - -
Budesonite dan Formoterol
Hasil Plasebo Fluticasone Serevent
Fungsi paru + + -
Eksaserbasi + - +
Kualitas hidup + +/- +/-
Gejala-gejala + + -
Tabel 2. Kombinasi vs Plasebo dan Monoterapi
+= kombinasi terapi memiliki efek positf; +/-= data berlawanan; -= tidak ada perubahan
Efek Samping ICS dan LABA
Pasien dengan PPOK mudah terkena efek samping. Walaupun satu uji dari ICS menunjukkan peningkatan resiko fraktur dengan triansinolon (58), secara kuantitif gambaran sistemik menemukan peningkatan kecil pada fraktur vertebra dari 1,2 menjadi 1,6 kali dan peningkatan fraktur pinggul 1,6 kali (59). Johanes tidak menemukan peningkatan resiko pada data.(60). Kombinasi ICS dengan LABA mungkin menurunkan dosis ICS. LABA sepertinia aman bagi pasien PPOK, tetapi dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Contoh, beberapa uji SMART pada salmeterol pada asma tidak dilanjutkan karena faktor keselamatan(61). Tiga pendekatan observasi berbeda telah menunjukkan secara konsisten bahwa dosis SABA yang lebih tinggi dihubungkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada PPOK (62). Sebuah metaanalisa pada uji multiple pada asma dan PPOK menjelaskan bahwa penggunaan β-agonis meningkatkan resiko efek samping pada jantung (63). Selanjutnya ketiga uji tersebut seperti tidak ada perbedaan antara kedua kombinasi ICS dan LABA ( fluticasione dan salmeterol. Dan budesonide dan formoterol) pada efek samping (64).
Efek samping ICS dan LABA pada Pasien yang bertahan hidup
ICS tidak mempengaruhi penurunan FEV1 yang khas pada PPOK. Beberapa penelitian observasi retrospektif berdasarkan data administrative telah menunjukkan efek pada pasien yang bertahan hidup, tetapi ada juga yang tidak (65,66). Suissa telah mengajukan bahwa keuntungan pada pasien yang bertahan hidup dengan pengobatan ICS pada PPOK disebabkan waktu bias immortal, dimana waktu insiden bebas dapat digunakan sebagai definisi pada penelitian, bukan obat itu sendiri (65, 66).
Belum jelas apakah kombinasi ICS-LABA memiliki keuntungan bertahan hidup. Sin dan teman-teman menyimpulkan bahwa efek dari kedua kombinasi pada mortalitas adalah tidak tentu (resiko relative vs plasebo, 0.52; 95% CI, 0.20-1.34) (3). Dengan penggunaan data dari UK General Practice Research database, Sorino dan teman-teman menunjukkan bahwa pasien yang bertahan hidup selama 3 tahun pada pasien PPOK yang menggunakan fluticasone dan salmeterol lebih banyak dari pada yang menggunakan fluticasone dan salmaterol tunggal (64). Lebih banyak resep fluticasone atau fluticasone dan salmeterol yang diisi pasien, akan lebih banyak paseian yang bertahan hidup. Ada kontroversi tentang review retrospektif dari data dasar administrative, bagaimanapun, akan menarik melihat data pasien yang bertahan hidup pada penelitian TORCH (revolusi kedepan pada kesehatan pasien PPOK, perbandingan prospektif dari fluticasone, salmeterol, dan kombinasi keduanya) (67).
Penyakit jantung dan pembuluh darah masih menjadi penyebab tertinggi kematian pada pasien dengan PPOK. Proses inflamasi pada PPOK dan hubungannya dengan plak koroner yang tidak stabil karena sirkulasi sitokin dan penanda lainnya yang telah diinvestigasi. CRP adalah penyebab kategori sedang pada penyakit jantung koroner (rasio berlawan, 1.45) pada penelitian case control yang dilakukan di Islandia (68). Pada penelitian singkat, fluticasone dan prednisone menurunkan CRP sekitar 30-40% pada 41 pasien PPOK (69). Penggunaan CRP sebagai pengganti untuk faktor resiko, fluticasone dan salmeterol telah dipelajari secara prospektif pada percobaan luas di Kanada.
KOMBINASI DUA OBAT LAINNYA
Karena obstruksi aliran udara pada PPOK disebabkan banyak faktor, sangat logis untuk menginvestigasi golongan obat selain bronkodilator dan antiinflamasi. N-asetilsistein adalah antioksidan farmakologis yang mempengaruhi beberapa aspek dari stress oksidatif, termasuk hipersekresi mucus. Obat inidikombinasikan dengan terbutalin inhalasi pada penelitian 22 pasien PPOK (70). 17 pasien mengalami batuk, sedikit kesulitan dalam mengeluarkan sputum, dan perbaikan umum ketika mereka menggunakan N-asetilsistein dan terbutalin disbanding ketika mereka menggunakan terbutalin atau plasebo. Perubahan FEV1, bagaimana pun sangat minimal. Pada percobaan yang hampir lengkap selama 3 tahun, penambahan N-asetilsistein rupanya tidak mengubah rerata tahunan pada penurunan FEV1 atau menurunkan eksaserbasi pada mereka yang tidak menggunakan obat ini (71).
Kombinasi antiinflamasi oral, seperti phosphodiesterase 4 inhibitor, dengan LABA atau antikolinergik kerja lama secara teori tidak menawarkan keuntungan. Sedikit keuntungan tambahan diperoleh, bagaimana pun, ketika antagonis leukotrien ditambah dengan LABA (72). Celik dan teman-teman menemukan kemajuan sedikit pada tes fungsi paru, sesak napas, dan kualitas hidup ketika montelucast ditambah dengan ipraprotium dan formoterol (73)
KOMBINASI TIGA OBAT
Banyak ahli telah mengajukan terapi tiga obat untuk pasien dengan PPOK dan dengan eksaserbasi yang sering. 3 regimen obat telah dites pada asma, tapi modifier leukotrien ditambah sedikit dengan kombinasi ICS-LABA (74). Dalam 12 minggu ujicoba pada 40 pasien PPOk, Yildiz dan teman-teman menambahkan budesonite dosis tinggi pada kombinasi ipreprotium dan formoterol, yang telah digunakan 3 bulan lebih dulu (51). Tidak ada perubahan signifikan pada nilai spirometri atau analisa gas darah. Proporsi pasien yang menerima perubahan klinis minimal pada versi Turki yang dilakukan St. George’s Respiratory Questionnere, bagaimana pun, 70% berada pada grup menggunakan tripel terapi dan 22% pada grup yang melanjutkan terapi ipraprotiun dan formoterol tanpa ICS.
Uji kecil pada fluticasone, salmeterol, dan tiotropium selama 1 minggu menghasilkan perubahan yang lebih besar pada FEV1 dengan tripel terapi dari pada yang hanya menggunakan fluticasone atau tiotropiun, atau salmeterol (preinhalation FEV1 1.32 [0.56]L, [p < 0.03 pada kedua perbandingan]; postinhalasi FEV1 1.49 [0.68]L, [p < 0.001 pada kedua perbandingan]) (75).
Terapi optimal pada orang kanada yang dilakukan terus-menerus pada uji PPOK< yang didanai oleh Canadian Institudes of Health, termasuk pengobatan 3 obat dan penelitian pertama untuk membandingkan fliticasone dan salmeterol dengan tiotropium (76). Penalitian double-blind yang dilakukan selama 1 tahun, dengan uji control plasebo delakukan untuk menemukan apakah kombinasi obat inhalasi menurunkan eksaserbasi dan mengoptimiskan kualitas hidup. Ketiga obat tersebut adalah tiotropiun ditambah fluticasone dan salmeterol, tiotropiun dan plasebo.
PERBANDINGAN KOMBINASI BERBEDA
ICS dan LABA Dibandingkan Dengan Antikolonergik Kerja Singkat dan SABA
Pada perbandingan antara 3 kombinasi obat inhalasi berbeda, Kerstjens dan teman-teman mengevaluasi ipreprotium dan terbutalin, beclomethasone iprotium, dan plasebodan terbutalin (77). Beclomethasone dan terbutalin, tapi tidak ipraprotium dan terbutalin, secara substansial menurunkan mortalitas, hiperresponsif dan obstruktif saluran napas. Harus dicatat, bahwa penelitian populasi terdiri dari kedua individu dengan asma dan pasien PPOK. 56% memiliki riwayat alergi.
Donohue dan teman-teman membandingkan ipraprotium dan albuterol yang diberikan 4 kali sehari dengan yang menggunakan fluticasone dan salmeterol yang diberi 2 kali sehari selama 4 minggu pada penelitian double blind yang dilakukan pada 352 pasien dengan PPOK (78). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2A, perubahan rata-rata pada FEV1 pasien yang menggunakan fluticasone dan salmeterol. Kemajuan pada Transisional Dyspnue Index adalah 2,7 U dengan fluticasone dan salmeterol disbanding 1,2 U dengan ipraprotium dan albuterol (gambar 2B). jumlah pasien yang mendapat perubah 1 U, perubahan klinis penting pada Transisional Dyspnue Index adalah 64% untuk kombinasi fluticasone dan salmeterol disbanding 44% pasien yang menggunakan kombinasi ipreprotium dan albuterol. Temuan pada penelitian ini telah ditiru oleh penelitian yang sama dan tanpa memperhatikan karakteristik dasar, seperti reversibelitas, status merokok, usia, dan fungsi paru, peningkatan pada Transisional Dyspnea Index dan FEV1 lebih besar pada kombinasi fluticasone dan salmeterol dari pada ipraprotiun dan albuterol (79). Hal ini mengindikasikan keuntungan penggunaan fluticasone dan salmeterol 2 kali sehari dari pada penggunaan ipraprotium dan albuterol 4 kali sehari pada pasien rawat jalan yang stabil. Frekuensi di Amerika Serikat, bahwa kedua kombinasi diresepkan untuk pasien yang sama, dengan fluticasone dan salmeterol digunakan sebagai rumatan dan ipraprotium dan albuterol digunakan sebagai obat pelega. Tidak ada penelitian yang menggunakan secara bersamaan kedua kombinasi.
Budisonite dan Formoterol Dibangdingkan Dengan Fluticasone dan Salmeterol
Sebuah pertanyaan penting, apakah budisonite dan formoteroi memiliki keuntungan lebih dibanding kombinasi ICS-LABA, fluticasone dan salmeterol. Sebuah perbandingan pada dosis konvesional dari budisonite dan salmeterol (400 dan 12 mikrogram, secara resfektif) dengan fluticasone, 250 µg, dan salmeterol, 50 µg, Cazzola dan teman-teman meneliti 16 pasien PPOK menggunakan pola silang (80). FEV1 AUC adalah 2.83 L dengan kombinasi fluticasone dan salmeterol dan 2.57 L dengan kombinasi budisonite dan formoterol. Kemajuan maksimal pada FEV1 terlihat 300 menit dan 120 menit secara respektif. Pada menit ke 720, peningkatan FEV1 melebihi batas adalah 0.10 L untuk kedua regimen. Tidak ada perbedaan signifikan antara regimen dengan peningkatan denyut jantung. Investigasi menyimpulkan bahwa efikasi dan keselamatan pada kedua kombinasi adalah sama.
Penelitian pada asma terkontrol, tidak ada perbedaan efikasi antara dosis fluticasone dan salmeterol yang telah dicukupkan, dosis budisonite dan formoterol yang tellah dicukupkan, dan dosis busonite dan formoterol yang disesuaikan selama 4 minggu (81). Setalah 6 bulan, ada sedikit eksaserbasi dan penurunan penggunaan obat pelega dengan dosis budesonite dan formoterol yang disesuaikan. Pada tahun kedua penelitian multicenter di Kanada, dilaporkan bahwa dosis yang diperbaiki/disempurnakan dari fluticasone dan formoterol adalah 250 dan 50 µg, menunjukkan eksaserbasi yang lebih sedikit dari pada penggunaan dosis rumatan (82). Akan menarik membuat perbandingan ini pada PPOK.
ISU KHUSUS PADA TERAPI KOMBINASI
Penggunaan Bersamaan Dibandingkan Penggunaan Bertahap
Satu pertanyaan relevan adalah, apakah kombinasi bronkodilator sedikit efektif dibandingkan penggunaan 2 obat secara bertahap. Selama bertahun-tahun pada terapi asma, onset cepat dari SABA diberi lebih dahulu, diikuti dengan pemberian ICS sebagai pembuka jalan napas. Pasien PPOK dengan serangan yang mengancam jiwa, antikoliner gik diberikan sebelum β-agonis, karena antikolinergik memiliki efek lebih dalam membebaskan jalan napas dibandingkan dengan β-agonis yang dapat tersimpan jauh didalam paru. Sebagai contoh, publikasi 1979 oleh Douglas dan teman-teman melaporkan efek pemberian albuterol 3 jam setelah pemberian ipraprotium (83). Kedua obat tersebut sama dalam meningkatkan nilai spirometri pada pasien dengan bronchitis berat, tetapi kombinasi keduanya lebih baik dari pada penggunaan tunggal obat-obat tersebut.
Baru-baru ini, Newnham dan teman-teman melakukan 2 penelitian bertahap dengan dosis tinggi dan dosis rendah terbutalin dan ipraprotium pada pasien PPOK (84). Ketika terbutalin diberi lebih dulu, ada perbedaa signifikan antara respon FEV1 rata-rata pada pemberian dosis tenggi dengan rendah terbutalin, tetapi ketika ipraprotium diberi lebih dulu, tidak ada perbedaan respon pada pemberian terbutalin dosis rendah atau tian terbutalin dosis rendah atau tinggi. Peneliti menyimpulkanbahwa ketika ipraprotinggi. Peneliti menyimpulkanbahwa ketika ipraprotium diberi lebih dulu, tidak ada keuntungan menambahkan terbutalin dosis tinggi. Penelitian pada 16 pasien PPOK stabil, pemberian formoterol 24 µg, diikuti pemberian oxitropium sebelum formoterol (85). Perbedaannya kecil: perubahan maksimal pafa FEV1 adalah 28% dengan formoterol diikuti oxitropium disbanding 20.9% dengan pemberian bertahap. Tidak ada kejadian yang menunjukkan bahwa ada keuntungan penggunaan bronkodilator bertaahap, dan pengguhap, dan penggunaan simultan lebih disukai karena cocok.
Satu Inhaler Dibanding Inhaler Terpisah
Dengan penggunaan data United Health Care, Chrischilles dan teman-teman menganalisa rekaman 428 pasien yang menggunakan ipraprotium dan β-agonis pada satu inhaler dan 658 pasien yang menggunakan inhaler terpisah (86). Penggunaan inhaler two-in-one dihubungkan dengan resiko yang lebih rendah kunjungan ke IGD atau perawatan di RS (resiko relative, 0.58; 95% CI, 0.36-0.94); rendahnya kunjungan bulanan ke pusat kesehatan (p=0.015); penurunan jumlah rawatan di RS (2.05 dibandinf 4.61 d, p= 0.040); dan komplians yang lebig besar (rasio, 1.77; 95% CI, 1.46-2.14). Pada penelitian yang terbatas pada pasien PPOK, Benayoun dan teman-teman meninjau 1 tahun data administrative pada 641 individu dan menemukan bahwa seluruh biaya dari terapi ipraprotium dan β-agonis lebih rendah denganinhaler two-in-one disbanding dengan inhaler terpisah, walau pasien diresepkan kombinasi inhaler menggunakan obat lebih (87). Pada pasien asma, gabungan fluticasone dan salmeterol pada Advair Discuss Device (Glaxo Smith Kline, Researcg Triangle Park, NC)menghasilkan peningkatan kecil PEF pagi hari dibandingkan dengan penggunaan inhaler terpisah (88). Peneliti berspekulasi pengantaran dua obat dari satu alat lebih baik dan meningkatkan kesempatan untuk munculnya efek sinergis. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan pada PPOK, karena kombinasi inhaler pada asma lebih cocok digunakan, yakinkan bahwa ICS tidak dilanjutkan ketika bronkodilator digunakan, dan lebih efektif dari segi biaya.
Efek Dari Tipe Alat
Kassner dan teman-teman baru-baru ini meringkas penelitian pivotal pada Respimat Soft Mist Inhaler, propellant-free inhaler (90). Semua laporan mereka, dua fase penelitian II dan dua fase penelitian III pada pasien asma, dan sebuah penelitian fase III pada pasien PPOK telah dievaluasi efikasi dan keselamatan dari penggunaan kombinasi ipraprotium dan foneterol (Berodual: Boehringer Ingelheim, Ingelheim, Jerman) oleh respiran atau oleh kandungan kloroflourokarbon menekan dosis inhaler. Sebuah alat batu dapat menurunkan dosis nominal dari ipraprotium dan foneterol karena perubahan posisi paru. Pada laporan terpisah, Kilfeather dan teman-teman menggambarkan hasil penelitian yang hampir sama, yang melibatkan 892 pasien dengan PPOK sedang hingga berat (91). Pada hati ke 85, efikasi dan keselamatan dari Berodual adalah sama, apakah obat ini dihantarkan Respimat atao kloroflourokarbon menekan dosis inhaler, dan menukar dari dosis inhaler Respimat ditoleransi baik.
Penelitian 38 pasien PPOK mendomonstrasikan terapi ekivalen dari Berodual diinhalasi sebagai bubuk kering atau dengn menekan dosis inhaler (92).
Efek Rute Pemberian
Bukti biopsi belakangan ini dari inflamasi dan obstruksi persisten dari saluran napas kecil pasien PPOK (93) memunculkan pertanyaan pemberian bronkodilator sistemik. Pada pasien dengan penyakit yang lebih parah, banyak obat aerosol disimpan yang berpengaruh kuat pada jalan napas yang lebih besar dan sedikit mengendap pada bronkus kecil. Pada penelitian baru-baru ini, efikasi terpi bronkodilator oral dengan aminofilin (400 mg) dan terbutalin (5mg) dibandingkan dengan inhalasi albuterol pada 17 pasien PPOK (94). Pada manit ke 30, 60, dan 120 setelah pemberian, albuterol memperbaiki FEV1 secara signifikan disbanding dengan terepi oral. Efek samping tercatat pada 13 dari 17 pasien setelah terapi oral dan tidak ditemukan efek samping pada pasein yang mneggunakan albuterol. 14 pasien, bronkodilatasi maksimal terjadi pada penggunaan albuterol tunggal; penambahan terapi oral tidak bermanfaat. Ketika menggunakan bronkodilator pada PPOK, rute pemberian inhalasi lebih disukai dari pada rute oral karena lebih banyak efikasi dan keselamatan. Obat oral tidak menunjukkan efek lebih kecuali untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi. Penggunaan kecil, formula baru yang mengandung hidrifluoroalkalin yang memberikan tekanan terhadap dosis inhaler, secara teori disimpan lebih perifer, tetapi belum dikonfirmasi karena penelitian yang sulit dijalan napas kecil.
Efek Terhadap Jenis Kelamin
Wanita lebih rentan terhadap progesivitas PPOK dari pada laki-laki, dengan hiperresponsif yang lebih besar terhadap metakolin, lebih banyak kematian, dan penurunan yang lebih besar pada FEV1 jika merokok. Adapun beberapa penelitian telah mengekplorasi perbedaan jenis kelamin pada respon terapi PPOK. Vestbo dan teman-teman mengevaluasi efek jenis kelamin terhadap respon terapi fliticasone dan salmeterol padaa penelitian TRISTAN (uji coba inhalasi steroid dan β-agonis kerja lama) (95). Dibandingkan dengan plasebi, terapi kombinasi terhadap kenaikan FEV1 sebelum terapi adalah 152 ml (95% CI, 95-208) pada wanita dan 127 ml (95% CI, 94-159) pada laki-laki, menurunkan eksaserbasi sebanyak 31% (95% CI, 9-48%) pada wanita dan 23 %(95% CI, 8-35%) pada laki-laki; dan peningkatan status kesehatan, mengubah nilai -2,3 poin (95% CI, -4.6 hingga -0.1)pada wanita dibanding -2 poin (95% CI, -3.5 hingga -0.8) pada laki-laki pada St. George’s Respiratory Quessionnaire. Fluticasone dan salmeterol sama efektifnya pada kedua jenis kelamin. Tidak ada perbedaan terjadinya efek samping pada kedua jenis kelamin.
Penurunan Tahunan Pada FEV1
Data yang tersedia tentang efek terapi kombinasi pada penuruna rata-rata FEV1 tahunan, karena penelitian 3 tahun atau lebih pada durasi dibutuhkan. Penghentian merokok menurunkan penurunan rata-rata dari 60% ke 30% ml/tahun (96). Ipraprotium, ICS, dan N-asetilsistein tidak mempengaruhi penuruan rata-rata FEV1 (96). Efek tambahan terapi α1-antitripsin tidak meyakinkan, pada National Hesrt, Lung, and Blood Instnstitutee Registy menu Registy menunjukkan efek hasil study control adaalah negative (97). Tiotropium debandingkan dengan plasebo pada uji coba selama 3 tahun (UPLIFT) (98). Penelitian TORCH yang dilakukan terus-menerus akan member informaso penting tentang efek fluticasone dab salmeterol padaa FEV1. (66).
KESIMPULAN
Diketahui bahwa klasifikasi kombinasi obat, khususnya bronkodilator, berguna pada terapi PPOK. Kombinasi bronkodilator menambah efektivitas, menambah komplians, dan menurunkan biaya tanpameningkatkan efek samping. Sebagai tambahan, kombinasi ICS-LABA terlihat lebih baik disbanding plasebo terhadap respon fungsi paru, eksaserbasi, dan kualitas hidup. Ada hasil bertentangan ketika kombinasi ICS-LABA dibandingakan dengan komponen individu, kecuali fungsi paru. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk membandingakan dosis yang lebih tinggi dan perbedaab klasifikasi, seperti ICS-LABA dibandingkan dengan antikolinergik dan theofilin, dan ICS-LABA dibandingkan dengan antikolonergik dan fosfodiesterase 4 inhibitor.
Data lebih lanjut dibutuhkan tentang:
•Terapi kombinasi yang paling aman
•Efek dari hasil kombinasi yang berguna bagi pasien, seperti sesak napas yang disebabkan hiperinflasi
•Apah efek keuntungan ICS-LABA berkurang pada pasien yang lebih tua dengan penyakit yang lebih parah (contohnya prediksi FEV1<50%), seperti satu penelitian yang ditunjukkaan (99), atau pada eksaserbasi yang sering.
•Apakah ada kombinasi optimal (contohnya antikolinergik dan LABA, ICS-LABA, antikolinergik-ICS-LABA, ICS dan theofilin, antikolinergik,LABA dan fosfodiesterse 4 inhibitor.
•Peran obat-obat baru dalam kombinasi terapi (contohnya, ciclesonite, R*R1, formoterol, QAB 149).
•Perbandingan kombinasi inhaler two-in-one dengan pemberian dua obat terpisah.
•Efek kombinasi terapi terhadap pasien yang bertahan hidup.
•Efek kombinasi terapi terhadap inflamasi jalan napas, termasuk jalan napas kecil.
•Keuntungan jangka panjangkombinasi terapi.
•Efek farmakoekonomi pada kombinasi terapi.
Penelitian kombinasi terapi untuk PPOK adah suatu hal yang dinamis yang memerlukan ketertarikan dan keantusiasan dokter untuk mengembangkannya ke masa depan.
Posts by : Admin
PERANAN OKSIDAN DAN ANTIOKSIDAN PADA PPOK YANG DICETUSKAN OLEH MEROKOK
Asap rokok merupakan campuran kompleks lebih dari 4,700 senyawa kimia, meliputi radikal bebas dalam konsentrasi tinggi dan oksidan lainnya. Sumber lain dari oksigen reaktif dimunculkan melalui proses selular normal pada paru, seperti yang dihasilkan oleh respirasi sel normal atau oleh inhalasi polutan udara seperti polusi partikel.
Keseimbangan yang ada antara toksisitas oksidan dan efek protektif sistem perlawanan intra dan ekstrasel antioksidan, sangat penting untuk memelihara fungsi sel paru normal. Pergeseran keseimbangan aksidan/antioksidan dimana oksidan lebih dominan dikenal sebagai stress oksidatif. Saat ini terdapat anggapan bukti bahwa terjadi peningkatan stress oksidatif pada perokok dan pada pasien dengan PPOK.
Asap rokok mengandung radikal bebas pada udara dan bentuk tar. Radikal yang hidup singkat pada bentuk udara asap rokok dapat mematikan segera epitel paru sepanjang cairan; reaksi redoks pada asap rokok menghasilkan oksigen reaktif selam waktu tertentu.
Peningkatan oksidan pada paru dapat meningkat pada perokok dengan meningkatnya jumlah neutrofil dan makrofag pada ruang alveolus. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa leukosit alveolus perokok secara spontan melepas peningkatan jumlah oksidan seperti O2 dan H2O2, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Komponen matriks paru (contohnya elastin dan kolagen) dapat langsung dirusak oleh oksidan pada asap rokok. Asap rokok juga dapat mengganggu sintesis elastin dan perbaikannya, yang secara potensial menyebabkan emfisema.
Semua jaringan memiliki kerentanan terhadap oksidan, namun berdasarkan kontak langsung dengan lingkungan, permukaan epitel paru tertama lebih rentan. Kerusakan pada epitel, yang ditunjukkan sebagai suatu peningkatan permeabilitas epitel, penting pada kejadian awal setelah terpapar asap rokok. Glutation pada intra dan ekstrasel, suatu antioksidan, penting dalam memelihara integritas epitel setelah terpapar asap rokok. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian dimana terjadi peningkatan permeabilitas sel epitel lapisan tunggal secara in vitro, dan pada paru tikus secara in vivo, setelah terpapar gumpalan asap rokok, yang berhubungan dengan perubahan yang ditemukan pada homeostasis dari glutation.
Penelitian secara in vitro dan pada hewan dibandingkan dengan penelitian pada manusia menunjukkan peningkatan permeabilitas epitel pada perokok lama dibandingkan dengan yang bukan perokok, dengan peningkatan permeabilitas epitel yang bermakna setelah merokok akut. Dengan demikian asap rokok memiliki efek merusak fungsi sel epitel alveolus, yang diperantarai oleh oksidan.
Lokasi serangan radikal bebas ialah pada asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel yang memproduksi peroksidasi lemak, suatu proses yang berlanjut sebagai suatu rantai reaksi untuk menghasilkan hidroperoksida dan aldehida yang tahan lama. Kadar produk peroksidase lipid dalam plasma dan BALF meningkat signifikan pada perokok sehat dan pada pasien dengan PPOK eksaserbasi akut, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok dan sehat.
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar oksidan pada udara ekspirasi atau nafas, meskipun pengukuran hembusan nafas yang diekspirasi memiliki masalah yang menetap dan standarisasi ini masih harus dilengkapi. Terdapat peningkatan H2O2 pada uadara yang diekspirasi pada pasien PPOK. Konsentrasi produk lipid peroksidosa pada udara yang diekspirasi meningkat meskipun pada pasien yang bekas perokok (gambar 1). Terdapat bukti bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan lipid peroksidasi pada jaringan paru pasien PPOK bila dibandingkan dengan perokok yang memiliki riwayat perokok yang sama namun tidak menyebabkan penyakit. Pada penelitian itu, kadar lipid peroksidase berhubungan dengan derajat hambatan saluran napas (gambar 2).
besi bebas merupakan elemen penting dalam berbagai proses oksidatif. Makrofag dari perokok mengandung lebih banyak besi daripada yang bukan perokok, dan melepaskan lebih banyak besi. Dengan demikian berpotensi meningkatkan kadar oksidan pada perokok.
Antioksidan utama pada saluran napas mencakup musin, glutation yang rendah, asam urat, protein (terutama albumin), dan asam askorbat. Hanya ada informasi tentang antioksidan pada epitel saluran napas pada perokok dan lebih sedikit pada passien PPOK. penelitian menunjukkan bahwa glutation meningkat pada BALF dari perokok lama. Glutation juga tidak dijumpai dalam jumlah yang cukup dengan oksidan banyak selama merokok akut, dimana asap keterpaparan dengan asap rokok mengurangi dosis glutation dan waktu sirkulasi.
Berkurangnya kadar vitamin E dijumpai pada BALF perokok dibandingkan dengan /yang bukan perokok. Sebaliknya penelitian lain menemukan peningkatan vitamin C pada BALF perokok, dibandingkan dengan yang bukan perokok. Ketidaksesuain ini disebabkan karena perbedaan riwayat merokok pada perokok lama terutama pada waktu merokok terakhir dalam mengambil sampel BALF.
Ekspresi glutation peroksidase dan superoksida dismutase, enzim antioksidan lain meningkat pada paru tikus yang terpapar dengan asap rokok.
Keseimbangan yang ada antara toksisitas oksidan dan efek protektif sistem perlawanan intra dan ekstrasel antioksidan, sangat penting untuk memelihara fungsi sel paru normal. Pergeseran keseimbangan aksidan/antioksidan dimana oksidan lebih dominan dikenal sebagai stress oksidatif. Saat ini terdapat anggapan bukti bahwa terjadi peningkatan stress oksidatif pada perokok dan pada pasien dengan PPOK.
Asap rokok mengandung radikal bebas pada udara dan bentuk tar. Radikal yang hidup singkat pada bentuk udara asap rokok dapat mematikan segera epitel paru sepanjang cairan; reaksi redoks pada asap rokok menghasilkan oksigen reaktif selam waktu tertentu.
Peningkatan oksidan pada paru dapat meningkat pada perokok dengan meningkatnya jumlah neutrofil dan makrofag pada ruang alveolus. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa leukosit alveolus perokok secara spontan melepas peningkatan jumlah oksidan seperti O2 dan H2O2, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Komponen matriks paru (contohnya elastin dan kolagen) dapat langsung dirusak oleh oksidan pada asap rokok. Asap rokok juga dapat mengganggu sintesis elastin dan perbaikannya, yang secara potensial menyebabkan emfisema.
Semua jaringan memiliki kerentanan terhadap oksidan, namun berdasarkan kontak langsung dengan lingkungan, permukaan epitel paru tertama lebih rentan. Kerusakan pada epitel, yang ditunjukkan sebagai suatu peningkatan permeabilitas epitel, penting pada kejadian awal setelah terpapar asap rokok. Glutation pada intra dan ekstrasel, suatu antioksidan, penting dalam memelihara integritas epitel setelah terpapar asap rokok. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian dimana terjadi peningkatan permeabilitas sel epitel lapisan tunggal secara in vitro, dan pada paru tikus secara in vivo, setelah terpapar gumpalan asap rokok, yang berhubungan dengan perubahan yang ditemukan pada homeostasis dari glutation.
Penelitian secara in vitro dan pada hewan dibandingkan dengan penelitian pada manusia menunjukkan peningkatan permeabilitas epitel pada perokok lama dibandingkan dengan yang bukan perokok, dengan peningkatan permeabilitas epitel yang bermakna setelah merokok akut. Dengan demikian asap rokok memiliki efek merusak fungsi sel epitel alveolus, yang diperantarai oleh oksidan.
Lokasi serangan radikal bebas ialah pada asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel yang memproduksi peroksidasi lemak, suatu proses yang berlanjut sebagai suatu rantai reaksi untuk menghasilkan hidroperoksida dan aldehida yang tahan lama. Kadar produk peroksidase lipid dalam plasma dan BALF meningkat signifikan pada perokok sehat dan pada pasien dengan PPOK eksaserbasi akut, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok dan sehat.
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar oksidan pada udara ekspirasi atau nafas, meskipun pengukuran hembusan nafas yang diekspirasi memiliki masalah yang menetap dan standarisasi ini masih harus dilengkapi. Terdapat peningkatan H2O2 pada uadara yang diekspirasi pada pasien PPOK. Konsentrasi produk lipid peroksidosa pada udara yang diekspirasi meningkat meskipun pada pasien yang bekas perokok (gambar 1). Terdapat bukti bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan lipid peroksidasi pada jaringan paru pasien PPOK bila dibandingkan dengan perokok yang memiliki riwayat perokok yang sama namun tidak menyebabkan penyakit. Pada penelitian itu, kadar lipid peroksidase berhubungan dengan derajat hambatan saluran napas (gambar 2).
besi bebas merupakan elemen penting dalam berbagai proses oksidatif. Makrofag dari perokok mengandung lebih banyak besi daripada yang bukan perokok, dan melepaskan lebih banyak besi. Dengan demikian berpotensi meningkatkan kadar oksidan pada perokok.
Antioksidan utama pada saluran napas mencakup musin, glutation yang rendah, asam urat, protein (terutama albumin), dan asam askorbat. Hanya ada informasi tentang antioksidan pada epitel saluran napas pada perokok dan lebih sedikit pada passien PPOK. penelitian menunjukkan bahwa glutation meningkat pada BALF dari perokok lama. Glutation juga tidak dijumpai dalam jumlah yang cukup dengan oksidan banyak selama merokok akut, dimana asap keterpaparan dengan asap rokok mengurangi dosis glutation dan waktu sirkulasi.
Berkurangnya kadar vitamin E dijumpai pada BALF perokok dibandingkan dengan /yang bukan perokok. Sebaliknya penelitian lain menemukan peningkatan vitamin C pada BALF perokok, dibandingkan dengan yang bukan perokok. Ketidaksesuain ini disebabkan karena perbedaan riwayat merokok pada perokok lama terutama pada waktu merokok terakhir dalam mengambil sampel BALF.
Ekspresi glutation peroksidase dan superoksida dismutase, enzim antioksidan lain meningkat pada paru tikus yang terpapar dengan asap rokok.
Langganan:
Postingan (Atom)