William MacNee
Edinburgh Lung dan Lingkungan Group Initiative / Colt Penelitian Laboratorium, Medical School, University of Edinburgh , Edinburgh, Skotlandia, Inggris Raya
Paradigma terbaru patogenesis penyakit paru obstruktif kronik adalah adanya hambatan aliran udara kronis hasil dari respon inflamasi abnormal akibat menghirup partikel dan gas kedalam paru-paru. Peradangan saluran udara tampak mencolok pada perokok dan melibatkan dominasi CD8 + T limfosit, neutrofil, dan makrofag. Penelitian terbagi peradangan disaluran napas perifer dalam berbagai tahap keparahan penyakit. Dua proses lain telah diterima sebagai penelitian. Pertama adalah ketidakseimbangan protease-antiprotease, yang dikaitkan dengan patogenesis emphysema. Namun, hipotesis adanya peningkatan protease berhubungan dengan inhibisi fungsional antiproteases sulit untuk dibuktikan dan sekarang dianggap sebagai suatu penyederhanaan yang berlebihan. Proses kedua,stress oksidatif , memiliki peran dalam banyak proses patogenesis penyakit paru obstruktif kronik dan mungkin menjadi salah satu mekanisme yang meningkatkan respon inflamasi. Selain itu, telah diusulkan bahwa perkembangan emfisema mungkin melibatkan hilangnya sel alveolar melalui apoptosis. Mekanisme ini mungkin melibatkan faktor pertumbuhan endotel vaskular dan stress oksidatif.
Key Words: apoptosis • emfisema • peradangan • stres oksidatif • ketidak seimbangan protease-antiprotease
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kondisi progresif perlahan yang ditandai oleh aliran udara yang terbatas, yang sebagian besar bersifat ireversibel (1). Merokok merupakan faktor etiologi utama dalam kondisi ini, melebihi faktor risiko lainnya. Oleh karena itu patogenesis PPOK sangat terkait dengan efek asap rokok terhadap paru-paru. Ada hubungan antara riwayat merokok dan keparahan hambatan aliran udara, namun terdapat variasi yang besar terhadap individu . Fletcher dan Peto (2), dalam sebuah penelitian prospektif selama 8 tahun terhadap laki-laki bekerja di London Barat, menunjukkan bahwa penurunan rata-rata FEV1 pada perokok lebih cepat (60 ml / yr) dibandingkan dengan bukan perokok (30 ml / yr). Namun, perokok yang berkembang menjadi PPOK memiliki penurunan FEV1 rata rata lebih besar dari 60 ml / tahun, dan hanya 15 sampai 20% dari perokok memiliki gejala klinis PPOK. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa perokok rentan berkembang menjadi PPOK.
SUBTIPE PPOK
Bronkhitis kronik.
Batuk dan produksi sputum yang mendefinisikan bronkhitis kronik adalah respon imun terhadap inhalasi partikel toksik dan gasa gas terhadap asap tembakau. Pada bronkitis kronik juga terdapat Inflamasi epitel saluran pernapasan dan kelenjar mukosa (3). Inflamasi saluran napas dikaitkan dengan meningkatnya dengan produksi mukus,penurunan mukusialiari clerance,dan peningkatan permeabilitas epitel saluran napas.
Pengaruh dari hipersekresi mukus terhadap hambatan aliran udara pada PPOK masih belum pasti. Tampak sedikit pengaruh pada stage awal dari PPOK karena produksi mukus pada perokok dengan fungsi paru yang normal tidak memperlihatkan perkembangan ke arah PPOK. Meskipun demikian, hipersekresi mukus berpengaruh pada PPOK stage selanjutnya karena peningkatan resiko eksaserbasi yang dapat meningkatkan hilangnya FEV1. Hipersekresi mukus yang kronik dapat memberikan respon inflamasi pada kelejar submukosa(2). Respon inflamasi melepaskan serine protease yang merupakan sekretagoge potensial terhadap mukus (5). Oksidan yang berasal dari tembakau dan pelepasan leukosit juga menyebabkan produksi mukus berlebihan yang diinduksi oleh gen MUC5AC(6).
Empisema
Empisema didefenisikan sebagai pembesaran saluran napas distal sampai bronkiolus terminalis. Yang disebabkan karena destruksi dinding saluran napas(7). Destruksi paru empisematus menurunkan kemampuan ekspirasi maksimal yang disebabkan oleh menurunnya tekanan elastic recoil yang mengeluarkan udara dari paru. Centrilobuler atau centriasiner bronkiolus respiratorius menjadi dilatasi atau destruksi pada empisema sangat erat kaintannya dengan tembakau. Panlobuler dan panasiner pada emipema menjadi dilatasi dan destruksi pada seluruh asinus karena defisiensi enzim alfa 1 anti tripsin. Hal ini terjadi pada satu atau lebih pada tipe predominan dari pada kasus berat yaitu tipe centrilobular denagn obstruksi saluran napas kecil yang berat.
Adanya hubungan antara derajat empisema dengan merokok pack-tahun. Tetapi tidak kuat.Hanya 40% dari perokok berat menderita empisema dengan destruksi paru ,dan empisema juga dapat diderita oleh orang yang memilki paru normal (3).
Penyakit pada saluran napas kecil
Lokasi utama obstruksi saluran napas pada PPOK adalah saluran udara kecil (<2 mm diameter) (9). Penelitian tmenunjukkan bahwa ada kelainan struktur saluran napas kecil pada perokok dengan dan tanpa PPOK (10). Ada hubungan antara tingkat keparahan PPOK dan sejauh mana oklusi lumen jalan napas karena peradangan mukosa yang disebabkan oleh eksudate. Peradangan dan fibrosis peribronchial berpengaruh terhadap obstruksi saluran napas kecil pada PPOK, dan peradangan menyebabkan kerusakan alveolar pada dinding luar saluran udara kecil juga berpengaruh.
Inflamasi Paru Pada PPOK
Penelitian paru atau biopsi bronchus dan induksi sputum menunjukkan bukti inflamasi paru pada semua perokok. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan atau respon inflamasi abnormal saat menghisap partikel atau udara, selain respon inflamasi protektif normal pada paru yang merupakan gambaran khas PPOK dan berpotensi menyebabkan kerusakan paru. Kedua respon imun bawaan dan inflamasi yang di dapat terlibat dalam inflamasi paru pada perokok dan pasien dengan PPOK. Penelitian dimulai dengan mengelompokkan inflamasi paru pada PPOK berdasarkan tipe, lokasi dan derajat dan hubungan keparahan penyakit.
Penelitian terhadap spesimen biopsi bronkhus dari pasien dengan PPOK ringan sampai sedang menunjukkan peningkatan infiltrasi sel inflamasi pada saluran nafas sentral bila di bandingkan dengan yang bukan perokok atau pada perokok yang tidak menunjukkan penyakit. Pada mukosa bronkus pasien dengan PPOK limfosit T banyak dijumpai, terutama sel CD8+ dan makrofag (sel CD68+; tabel 1) diduga peningkatan limfosit T berbeda antara perokok dengan dan tanpa PPOK dan terdapat hubungan antara jumlah sel T, jumlah kerusakan alveolus dan derajat keparahan hambatan jalan nafas. Perokok dengan fungsi paru normal juga menunjukkan, pada kasus yang jarang, peningkatan jumlah sel CD 8 bila dibandingkan dengan yang bukan perokok sebagai kontrol. Terdapat penurunan infiltrasi sel limfosit T pada spesimen biopsi bronkus dari pasien dengan PPOK berat.
Mekanisme sel imfosit T CD8+ terakumulasi pada saluran nafas paru pada PPOK tidak begitu di mengerti. Sel T pada saluran nafas tepi pasien dengan PPOK menunjukkan peningkatan ekspresi CXCR3, suatu reseptor yang di aktifasi oleh protein 10 yang diinduksi oleh interferon, dan ekspresi dari protein 10 yang diinduksi oleh interferon ini sendiri meningkat pada sel epitel bronkiolus. Hal ini menyebabkan akumulasi sel-sel CD8+ yang kemudian mengekspresikan CXCR3. sel-sel CD8+ yang bersirkulasi juga meningkat pada pasien dengan PPOK yang tidak merokok, dan terdapat peningkatan sel CD4 pada pasien dengan PPOK sebagai akibat perkembangan penyakit. Hal ini menunjukkan stimulasi imunitas kronik. Hal ini mungkin karena kolonisasi bakteri dan virus patogen pada saluran nafas bawah pada pasien dengan PPOK yang menyebabkan timbulnya respon inflamasi. Penelitian menunjukkan suatu peningkatan limfosit B dan pada jaringan limfoid bronkial pada saluran nafas kecil sebagai akibat perkembangan penyakit. Bisa jadi bahwa asap rokok menyebabkan kerusakan sel-sel saluran nafas, menciptakan autoantigen baru yang menyebabkan respon imun terhadap inflamasi.
Peranan sel T dalam patogenesis PPOK tidak begitu dimengerti. Sel-sel CD8 berpotensi melepaskan tumor nekrosis faktor alfa, perforin dan granzim, yang menyebabkan aktifasi jalur apoptosis ligan fas-fas. Suatu hubungan ditunjukkan antara sel-sel CD8 dan apoptosis pada sel epetel alveolus pada pasien emfisema.
Meningkatnya jumlah netrofil yang teraktifasi ditemukan pada sputum pasien dengan PPOK. Peningkatan jumlah netrofil yang kurang signifikan pada parenkim paru mungkin berdasarkan fakta bahwa sel-sel ini melewati saluran nafas nafas dan parenkim paru. Netrofil berpotensi mensekresikan proteinase serum, mencakup elastase netrofil, katepsin G dan proteinase sebaik matriks metaloproteinase-8 (MMP-8) dan MMP-9. protease ini menyebabkan destruksi alveolus dan juga berpotensi merangsang sekresi mukus.
Peranan bahwa netrofil terlibat dalam patogenesis PPOK tidak terlalu jelas. Terdapat hubungan yang ditunjukkan antara netrofil dalam sirkulasi dan penurunan FEV1. Jumlah netrofil pada spesimen biopsi bronkus dan induksi sputum menunjukkan keparahan penyakit dan derajat penurunan fungsi paru.
Merokok diketahui dapat meningkatkan jumlah leukosit netrofil dalam sirkulasi dan menyebabkan akumulasi netrofil pada kapiler paru. Asap rokok juga memberikan efek langsung perangsangan produksi granulosit pada sum-sum tulang yang diperantarai oleh faktor koloni granulosit makrofag dan faktor stimulasi koloni granulosit yang dilepaskan oleh makrofag. Hal ini mungkin karena neutrofil diaktifasi dalam mikrosirkulasi paru untuk melepaskan spesies oksidan dan protease yang menyebabkan efek langsung kerusakan.
Saat terakumulasi, neutrofil menempel pada sel endotel, dan molekul adhesi E-selektin meningkat pada sel epitel saluran nafas pasien dengan PPOK. Neutrofil kemudian bermigrasi ke saluran nafas dibawah kontrol faktor kemotaktik seperti leukotrien B4, IL8 dan kemokin CXC yang berhubungan dengan onkogen alfa untuk pertumbuhan dan netrofil yang diperoleh dari sel epitel atractan 78. faktor kemotaktik ini meningkat pada saluran nafas pasien dengan PPOK.
Terdapat peningkatan 5-10 kali lipat jumlah makrofag pada saluran nafas parenkim paru dan cairan bilasan bronko alveolus atau BALF pada pasien dengan PPOK. Jumlah makrofag pada saluran nafas berhubungan dengan beratnya PPOK. Asap rokok mengaktifasi makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL8 dan kemokin CXC lain, monosit kemotaktik peptida 1, leukotrin B4, dan oksigen reaktif. Makrofag juga mensekresi protease seperti MMP2.MMP9 dan MMP12; katepsin K, L dan S; dan netrofil elastase dari neutrofil. Bila dibandingkan dengan makrofag pada perokok normal, pasien-pasien dengan PPOK makrofag lebih teraktifasi, mensekresi lebih banyak protein inflamasi dan mengalami aktifitas elastolitik yang lebih besar, yang diakibatkan karena keterpaparan terhadap asap rokok. Peningkatan jumlah makrofag pada paru pasien PPOK dan pada paru perokok merupakan akibat dari meningkatnya aktifitas monosit dari sirkulasi sebagai akibat jawaban atas kemokin kemotaktik seperti monosit kemotaktikpeptida 1, yang meningkat pada sputum dan BALF pada pasien dengan PPOK. Kemokin CXC juga bertindak sebagai pencetus kemotaktik terhadap monosit. Konsentrasi onkogen alfa yang berhubungan dengan hormon pertumbuhan meningkat pada sputum dan BALF dari pasien dengan PPOK. Monosit dari pasien dengan PPOK menunjukkan respon kemotaktik yang lebih besar terhadap onkogen alfa yang terkait dengan hormon pertumbuhan daripada sel-sel dari perokok normal dan yang bukan perokok.
Terdapat peningkatan jumlah sel dendrit pada saluran nafas dan pada dinding alveolus perokok. Peranan sel dendrit pada PPOK belum diketahui, namun mereka mungkin memberikan fungsi penting dalam respon imunitas bawaan dan yang didapat pada PPOK.
Sel epitel saluran nafas dapat diaktivasi oleh asap rokok untuk menghasilkan mediator inflamasi, seperti TNF-alfa, IL-1beta, faktor stimulasi koloni makrofag-granulasi, dan IL-8. Epitel pada saluran nafas kecil merupakan sumber penting TGF-beta, yang meningkatkan induksi terjadinya fibrosis lokal. Sel epitel juga dapat mensekresikan antioksidan, antiprotease, dan mentranspor immunoglobulin-alfa, dan ini terlibat dalam imunitas yang didapat. Asap rokok dapat mengganggu respon imunitas bawaan dan yang didapat pada epitel saluran nafas dan meningkatkan respon terhadap infeksi.
Banyak mediator inflamasi yang dijumpai pada PPOK yang dikontrol oleh faktor transkripsi faktor nuklear (NF)-KB, yang meningkatkan makrofag alveolus pada pasien PPOK dan pada sel-sel saluran nafas pada pasien dengan PPOK ringan sampai sedang bila dibandingkan dengan yang bukan perokok sebagai kontrol. Peningkatan NF-KB pada sel-sel paru pada pasien dengan PPOK merupakan kunci mekanisme molekuler terlibat proses inflamasi yang sedang berlangsung dalam saluran nafas.
Pada umumnya, dengan meningkatnya keparahan penyakit PPOK juga dijumpai adanya peningkatan respon imunitas terhadap inflamasi. Bila dibandingkan dengan penyakit PPOK derajat ringan atau sedang, ada suatu peningkatan ekspresi protein inflamasi seperti protein inflamasi makrofag 1α, suatu kemokin yang terlibat dalam aktivasi sel mononuklear dan granulosit. Juga dijumpai peningkatan jumlah neutrofil dan makrofag pada penyakit PPOK berat dan penurunan sel limfosit T (Sel CD3+). Terlihat adanya pergeseran tipe selular pada penyakit yang berat terhadap sel-sel yang berperan dalam fagositik dan proteolitik pada jaringan bronkhiolus (Tabel 1-3).
Suatu perbandingan pada saluran nafas sental dan perifer menunjukkan suatu peningkatan total sel inflamasi pada saluran nafas perifer (diameter >3 mm) pada pasien dengan bronchitis kronik dengan fungsi paru normal, bila dibandingkan dengan perokok sebagai kontrol (Tabel 2). Beberapa penelitian menunjukkan suatu peningkatan dalam jumlah sel inflamasi dan peningkatan sel-sel CD8+ pada saluran nafas perifer dari pasien dengan PPOK ringan/sedang bila dibandingkan dengan perokok sebagai kontrol.
Respon inflamasi pada saluran nafas perifer berperan dalam proses fibrosis yang menunjukkan saluran nafas kecil pada pasien dengan PPOK sedang/berat. Penelitian yang telah menilai jaringan yang diperoleh dari pembedahan untuk mengurangi volume paru pada pasien dengan PPOK berat menunjukkan suatu peningkatan total leukosit dan limfosit CD4+ dan CD8+ pada kedua saluran nafas perifer dan parenkim paru. Sebaliknya, perokok dengan fungsi paru normal menunjukkan peningkatan jumlah makrofag dan limfosit T pada parenkim paru bila dibandingkan dengan kelompok yang bukan perokok sebagai kontrol, tanpa perubahan jumlah sel CD4+ dan CD+. Pada pasien dengan PPOK ringan sampai sedang, dijumpai peningkatan jumlah sel CD8+ pada septum alveolus bila dibandingkan dengan yang bukan perokok sebagai kontrol, dan tidak ada perubahan jumlah neutrofil, makrofag atau sel CD4+.
PROTEASE DAN ANTIPROTEASE
Suatu literatur tentang tubuh telah dikumpulkan untuk menilai hipotesis bahwa ketidakseimbangan protease-antiprotease, menyebabkan kerusakan komponen jaringan ikat, terutama elastin, yang merupakan mekanisme kritis dalam patogenesis emfisema pada perokok. Konsep ini berkembang dari banyak penelitian tentang emfisema onset dini pada pasien dengan defisiensi α1-AT. Elastin merupakan target yang penting untuk enzim-enzim proteolitik, dan kerusakannya menyebabkan hilangnya elastisitas parenkim paru.
Elastin merupakan komponen utama serabut elastik dan disekresikan dari beberapa tipe sel sebagai suatu prekrusor, tropoelastin. Molekul tropoelastin menjadi sejajar pada ruang ekstrasel pada mikrofibril. Karena kerja dari Lysil Oksidase, Residu lysin pada tropoelastin berubah, yang menyebabkan monomer tropoelastin bersilangan dan membesar, menjadi polimer elastin yang tidak larut. Karena bersilangan, atau disebut juga dengan Desmossin, merupakan elastin khusus, yang digunakan sebagai marker pada degradasi elastin. Desmossin dan Peptida elastin meningkat pada perokok dan pasien PPOK. Bagaimanapun, masih terdapat kontroversi tentang spesifisitas pengukuran peptida di dalam urin, terutama sebagai suatu refleksi dari degradasi elastin paru tunggal, karena durasi puncak dari elastin paru. Terdapat perubahan kadar elastin minimal pada pasien normal, sehingga produk akhi ini sulit dideteksi. Namun, penelitian menunjukkan bahwa angka penurunan FEV1 setiap tahun pada kelompok perokok berhubungan secara positif dengan kadar desmossin dalam urin. Validitas penggunaan desmossin atau peptida elastin sebagai marker terjadinya elastolysis tidak dapat diputuskan.
Bersamaan dengan destruksi elastin, inaktivasi dari antiprotease merupakan pusat dari hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease. Penelitian awal menunjukkan bahwa fungsi α1-AT berkurang sekitar 40% pada perokok, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok. “Defisiensi fungsional α1-AT” diyakini akibat dari inaktivasi α1-AT oleh oksidan pada asap rokok. Bagaimanapun, kebanyakan α1-AT pada perokok masih aktif dan masih mampu memberi perlindungan melawan protease yang meningkat. Hanya dijumpai penurunan yang sementara dan tidak signifikan pada aktivitas α1-AT pada BALF 1 jam setelah merokok. Dengan demikian, penelitian yang menilai fungsi α1-AT pada perokok akut atau kronik tidaklah pasti. Jelas bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa penyebab utama adalah ketidakseimbangan antara peningkatan elastase pada paru dan ”defisiensi fungsional” α1-AT, karena inaktivasinya, sebagai suatu penyederhanaan.
Sebagaimana didiskusikan di atas, terdapat bukti yang mendasar bahwa jumlah neutrofil dan makrofag meningkat pada saluran nafas perokok lama. Meningkatnya elastase pada perokok karena degranulasi yang terjadi dan melepaskan elastase. Terdapat beberapa bukti yang mendukung teori ini, karena neutrofil yang diisolasi dari pasien emfisema menunjukkan elastase yang lebih besar yang menginduksi degradasi fibronektin in vitro daripada yang dilakukan oleh subjek kontrol yang sesuai menurut umur dan riwayat merokok.
Hipotesis lain tentang peran kontribusi antiprotease, seperti antileukoprotease, atau perubahan yang lebih samar, sebagai contoh, suatu penurunan dalam hubungan angka konstan α1-AT untuk neutrofil elastase, yang berperan dalam degradasi elastin.
Sintesis dan Perbaikan Elastin
Terdapat beberapa bukti yang mendukung konsep bahwa abnormalitas pada sintesis elastin dan perbaikannya terlibat dalam paogenesis emfisema. Dengan memasukkan elastase melalui intratrakhea pada hewan, elastin paru berkurang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, diikuti dengan meningkatnya sintesis elastin selama beberapa minggu. Bagaimanapun, pada daerah emfisema pada percobaan ini, serat elastik alveolus menunjukkan gambaran abnormal dan menyerupai serat elastik aberan pada emfisema yang dialami manusia. Dengan demikian, meskipun sintesis elastin setelah kerusakan terjadi memperbaiki kandungan elastin paru, ini tidak memperbaiki bentuk paru kembali normal pada eksperimen ini.
Dengan menggunakan hewan yang diinduksi dengan elastase untuk menimbulkan emfisema, terapi dengan retinoic acid memperbaiki bentuk alveolus normal. Penelitian ini pada tikus jantan dewasa (yang mengalami pertumbuhan jaringan paru terus menerus sepanjang kehidupan saat dewasa, kebalikan seperti pada manusia) harus diuji, namun ini memberikan beberapa bukti yang menarik bahwa proses destruksi pada emfisema, yang selalu dianggap irreversibel, dapat diperbaiki.
Sebagai tambahan terhadap protease serum, protease cystin (Katepsin) berperan dalam PPOK. Katepsin C diinduksi pada tikus dengan ekspresi yang berlebihan dari IFN-α, yang menginduksi emfisema. Inhibitor Katepsin mengurangi emfisema yang diinduksi oleh ekspresi IL-13 yang berlebihan pada paru tikus. Katepsin L dideteksi pada BALF dari pasien dengan emfisema, dan makrofag alveolus pada pasien dengan PPOK yang mensekresikan protease cystein lebih banyak daripada makrofag dari perokok normal atau yang bukan perokok.
Para ahli tertarik tentang peranan MMP pada PPOK. Meningkatnya konsentrasi MMP-1 (Kolagenase) dan MMP-9 (Gelatinase B) pada BALF pasien dengan PPOK, dan meningkatnya aktivitas MMP-9 pada parenkim paru pasien dengan emfisema. Ekspresi MMP-1 juga meningkat pada paru pasien emfisema, terutama pada pneumosit tipe II. Makrofag alveolus dari perokok mengekspresikan MMP-9 lebih daripada pasien normal, dan meningkat lebih besar pada pasien dengan PPOK. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa asap rokok yang menginduksi emfisema tidak terlihat pada tikus yang memiliki defisiensi MMP-12. Pada tikus ini, emfisema yang diinduksi oleh ekspresi IL-13 atau IFN-γ juga berkurang, berhubungan dengan pengurangan yang bermakna dalam kadar monosit dalam paru. MMP juga diketahui mengaktivasi bentuk laten TGF-β menjadi bentuk aktifnya. Pada tikus yang mengalami defisiensi integrin αvβ6, terjadi kegagalan dalam mengaktivasi TGF-β, dan hewan tersebut tidak mengalami perkembangan emfisema terkait usia, yang dapat dicegah dengan ekspresi TGF- β1. Data ini menunjukkan bahwa TGF- β1 dapat menurunkan kadar MMP-12 di bawah kondisi normal dan ketiadaan TGF- β mengakibatkan peningkatan produksi MMP-12 dan emfisema.
Defisiensi MMP-9 menyebabkan tidak adanya perlindungan melawan emfisema karena asap rokok tetapi dapat terlindungi dari fibrosis saluran nafas kecil. TGF- β diaktivasi oleh MMP-9, dan mekanisme ini menciptakan hubungan antara aktivitas elastolitik oleh MMP-9 dan produksi fibrosis yang simultan oleh aktivasi TGF- β . Ini menunjukkan bahwa, meskipun MMP-12 merupakan protease penting pada tikus, ia tidak sepenting MMP-9 pada manusia. Makrofag dari pasien PPOK memberi respon yang terhadap stimuli untuk melepaskan inhibitor metalloproteinase jaringan, yang cenderung meningkatkan elastolisis.
Sabtu, 13 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar